Produk Unggulan Kami

Donut 1
Donut 2
Donut 3

Sunday, 13 November 2011

Makalah Studi Agama Islam

BAB I
PENDAHULUAN

Dalam studi keagamaan sering dibedakan antara kata religion dengan kata religiosity. Kata yang pertama, religion, yang biasa dialih-bahasakan menjadi “agama”, pada mulanya lebih berkonotasi sebagai kata kerja, yang mencerminkan sikap keberagamaan atau kesalehan hidup berdasarkan nilai-nilai ketuhanan. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya, religion bergeser menjadi semacam “kata benda”, ia menjadi himpunan doktrin, ajaran, serta hukum-hukum yang telah baku yang diyakini sebagai kodifikasi perintah Tuhan untuk manusia. Proses pembakuan ini berlangsung antara lain melalui proses sistematis nilai dan semangat agama, sehingga sosok agama hadir sebagai himpunan sabda Tuhan yang terhimpun dalam kitab suci dan literatur keberagamaan karya para ulama. Dalam Islam, umpamanya, telah terbentuk ilmu-ilmu keagamaan yang dianggap baku seperti ilmu kalam, fiqih dan tasawuf yang akhirnya masing-masing berkembang dan menjauhkan diri antara yang satu dengan lainnya.
Sedangkan religiositas lebih mengarah pada kualitas penghayatan dan sikap hidup seseorang berdasarkan nilai-nilai keagamaan yang diyakininya. Istilah yang tepat bukanr eligios itas , tetapis pir itualitas . Spiritualitas lebih menekankan substansi nilai-nilai luhur keagamaan dan cenderung memalingkan diri dari formalism keagamaan. Biasanya, orang yang merespon agama dengan menekankan dimensi spiritualitasnya cenderung bersikap apresiatif terhadap nilai-nilai luhur keagamaan
Meskipun berada dalam wadah agama lain. Sebaliknya, ia merasa terganggu oleh berbagai bentuk formalisasi agama yang berlebihan, karena hal itu, dinilai akan menghalangi berkembangnya nilai-nilai moral dan spiritual keagamaan1. Oleh karena itu, kita perlu mengetahui kebenaran agama bukan hanya pada tataran ekoterik, melainkan juga pada tataran esoteris.
Kebenaran dapat diperoleh dari dua sisi, yaitu kebenaran filosofis dan kebenaran sosiologis. Secara filosofis, kebenaran yang sebenarnya adalah satu, tunggal dan tidak majemuk, yang sesuai dengan realitas. Tetapi, pencapai kebenaran pada setiap orang berbeda. Dalam konteks agama, semua agama; yahudi, Kristen, Islam, Budha, Hindu termasuk aliran kepercayaan semuanya ingin mencapai realitas tertinggi (the ultimate reality).
Sedangkan kebenaran sosiologis, ialah sebagai proses pencapaian dan penerjemahan realita tertinggi membuat klien tentang kebenaran menjadi berbeda, begitu juga Kristen, Yahudi, Budha, Hindu dan Aliran Kepercayaan menyatakan demikian. Padahal, perbedaan yang terjadi secara hakikat bukan terletak pada realitas tertinggi. Di sinilah mulai timbul kompliks kebenaran, baik ekstra agama maupun intra agama.
Kompliks keagamaan yang terjadi di Indonesia saat ini, bukan lagi kompliks antar agama melainkan yang sangat menyedih adalah kompliks komunitas sesama agama, realitas tersebut terlihat beberapa tahun belakangan ini. Adanya teror bom
1 Komaruddin Hidayat, Atas Nama Agama: Wacana agama dalam Dialog “bebas”
konflik.Dalam bukunya andito (Ed), Bandung: Pustaka Hidayah, 1998. Hal 41-42

yang mengatas namakan diri kelompok Islam dan membunuh sesame kelompok
Islam sendiri, sungguh ironis fenomena tersebut.
Dengan demikian, dari uraian di atas, setidaknya dapat menghantarkan tentang penjelasan urgensi studi Islam dalam konteks pemahaman dan penghayatan keagamaan Islam di Indonesia, asal usul dan pertumbuhan studi Islam di dunia Islam. Tentunya ketiga pokok bahasan ini akan menghantarkan kita dapat mengetahui dengan memberikan pemahaman tentang studi Islam.



 
BAB II
PEMBAHASAN
A. Urgensinya (penting) Studi Islam
Dari segi tingkatan kebudayaan, agama merupakan universal cultural. Salah satu prinsip teori fungsional menyatakan bahwa segala sesuatu yang tidak berfungsi akan lenyap dengan sendirinya. Karena sejak dulu hingga sekarang agama dengan tangguh menyatakan eksistensinya, berarti agama mempunyai dan memerankan sejumlah peran dan fungsi di masyarakat2. Oleh karena itu, secara umum studi Islam menjadi penting karena agama termsuk Islam memerankan sejumlah peran dan fungsi di masyarakat.
Menurut Harun Nasution dalam simposium3 menyatakan bahwa persoalan yang menyangkut usaha perbaikan pemahaman dan penghayatan agama terutama dari sisi etika dan moralitasnya kurang mendapat tempat memadai. Lebih lanjut, situasi keberagamaan di Indonesia cenderung menampilkan kondisi keberagamaan yang legalistic dan formalistic. Agama “harus” di manifestasikan dalam bentuk ritual- formal, sehingga muncul formalism keagamaan yang lebih mementingkan “bentuk” daripada “isi”. Kondisi seperti itu menyebabkan agama kurang dipahami sebagai perangkat paradigm moral dan etika yang bertujuan membebaskan manusia dari kebodohan, keterbelakangan dan kemiskinan. Di samping itu, formalism gejala
2 Djamari, Agama dalam Perspektif Sosiologi, Bandung: Alfabeta. 1993. Hal 25.
3 Dalam pengantar simposium Nasional yang diselenggarakan oleh Forum Komunikasi
Mahasiswa Pascasarjana (FKMP) IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tanggal 6 agustus 1998 di Pusat
Pengkajian Islam dan Masyarkat (PPIM).


keagamaan yang cenderung individualistic daripada kesalehan sosial mengakibatan
munculnya sikap kontra produktif seperti nepotisme, kolusi dan korupsi4.
Harun Nasution berpandangan bahwa orang yang bertaqwa adalah orang yang melaksanakan perintah Tuhan dan menjauhi cegahan-Nya. Dengan demikian, orang yang bertaqwa adalah orang yang dekat dengan Tuhan; dan dekat dengan yang Maha suci adalah “suci” orang-orang sucilah yang mempunyai moral yang tinggi5.
Gambaran yang dikemukakan oleh Harun Nasution di atas mendapat sambutan cukup serius dari Masdar F. Mas’udi menyatakan bahwa kesalahan kita sebagai umat Islam di Indonesia adalah mengabaikan agama sebagai sistem nilai etika dan moral yang relevan abgi kehidupan manusia sebagai makhluk yang bermartabat dan berakal busdi. Karena itulah kita tersentak ketika temuan memperlihatkan kepada dunia sesuatu yang sangat ironi; Negara Indonesia yang penduduknya 100% beragama, mayoritas beragama Islam (sekitar 80%), dan para pejabatnya rajin merayakan hari-hari besar agama, ternyata menduduki peringkat termuka di antara Negara-negara yang paling korup di dunia.6
Dari gambaran umat Islam Indonesia di atas, kita dapat mengetahui bahwa agama Islam di Indonesia belum sepenuhnya dipahami dan dihayati oleh umat Islam. Oleh karena itu, signifikansi studi Islam di Indonesia adalah mengubah pemahaman da penghayatan keislaman masyarakat Muslim Indonesia secara khusus, dan
4 Harun Nasution, Format Baru Gerakan Keagamaan, dalam Atang Abdul Hakim dan
Jaih Mubarok, Metodelogi Studi Islam, Bandung: Rosdakarya, 2002. Hal 8.
5 Ibid….. hal 9
6 Masdar F. Mas’udi, Agama sumber Etika Negara-negara Perlu Pemikiran Ulang,
dalam Atang Abdul Hakim dan Jaih Mubarok, Metodelogi Studi Islam, Bandung: Rosdakarya, 2002.
Hal 12
masyarakat beragama pada umumnya. Adapun perubahan yang diharapkan adalah format formalism keagamaan Islam diubah menjadi format agama yang substantif. Sikap enklusivisme, kita ubah menjadi sikap universalisme, yakni agama yang tidak mengabaikan nilai-nilai spiritualitas dan kemanusiaan karena pada dasarnya agama diwahyukan untuk manusia. Di samping itu, studi islam diharapkan dapat melahirkan suatu komunitas yang mampu melakukan perbaikan secara intern dan ekstern. Secara intern komunitas itu diharapkan mempertemukan dan dapat mencari jalan keluar dari konflik intra agama-Islam; tampaknya, komplik internal umat Islam yang didasari dengan organisasi formal keagamaan belum sepenuhnya final. Di samping itu, akhir- akhir ini kita dihadapkan pada krisis nasional salah satunya krisis kerukunan umat beragama; pengrusakan dan pembakaran rumah ibadah Kristen dan bahkan tempat ibadah masjid yang dimiliki komunitas Ahmadiyah di Bogor, Bandung, Kuningan dan Cirebon7. Studi Islam diharapkan melahirkan suatu masyarakat yang hidup toleran(tas am uh) dalam wacana pluralitas agama, sehingga tidak melahirkan Muslim ekstrim yang membalas kekerasan agama dengan kekerasan pula; pengrusakan dan pembakaran masjid dan tempat ibadah lainnya tidak perlu tampak kembali dalam bingkai pluralitas. Oleh karena itu, dalam situasi hidup keberagamaan di Indonesia, studi agama terutama Islam, karena merupakan agama yang dianut oleh mayoritas penduduk sangat penting diimplementasikan secara damai(peace).
B. Asal Usul dan Pertumbuhan Studi Islam

7 Lihat konflik keagamaan di wilayah III Cirebon pada tahun 2007-2009
Pendidikan Islam pada zaman awal dilaksanakan di masjid-masjid. Mahmud Yunus menjelaskan bahwa pusat-pusat studi Islam klasik adalah Mekah dan Madinah (hijaz), Basrah dan Kufah (Irak), Damaskus dan Palestina (Syam) dan Fistat (Mesir). Madrasah Mekah dipelopori oleh Mu’as bin Jabal; madrasah Madinah dipelopori oleh Abu Bakar, Umar, Ustman; madrasah Basrah dipelopori oleh Abu Musa al-Asy’ari dan Anas bin Malik; madrasah Kufah dipelopori oleh Ali bin Abi Thalib dan Abdullah bin Mas’ud; madrasah Damaskus (Syiria) dipelopori oleh Ubadah dan Abu Darda; sedangkan madrasah Fistat (Mesir) dipelopori Abdullah bin Amr bin Ash8.
Pada zaman kejayaan Islam, studi Islam dipusatkan di ibu kota Negara Irak yaitu Bagdad. Di istana Dinasti Bani Abbas pada zaman al-Ma’mun (813-833), putra Harun al-Rasyid di dirikan Bait al-Hikmah, yang dipelopori oleh Khalifah sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan dengan wajah ganda; sebagai perpustakaan serta sebagai lembaga pendidikan (sekolah) dan penerjemahan karya-karya Yunani kuno ke dalam bahasa arab untuk melakukan akselerasi pengembangan ilmu pengetahuan9.
D samping itu di Eropa, terdapat pusat kebudayaan yang merupakan tandingan Bagdad, yaitu Universitas Cordova yang didirikan oleh abdul al-Rahman III (929-961 M), dari Dinasti Umayah di Spanyol. Di Timur Islam, Bagdad juga didirikan Madrasah Nizamiyah yang didirikan oleh Perdana Menteri Nizham al- Muluk; dan di Kairo Mesir didirikan Universitas al-Azhar yang didirikan oleh Dinasti
8 Zaini Muchtarom,Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Depag RI. 1986. Hal 71-75
9 Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek Jilid I, Jakarta: UI Press. 1985.
Hal 68
Fatimah kalangan Syi’ah. Dengan demikian pusat-pusat kebudayaan yang juga merupakan pusat studi Islam pada zaman kejayaan Islam adalah Bagdad, Mesir dan Spanyol. Untuk lebih jelas lihat table 1 berikut :
Tabel 1
Pusat Studi Islam Zaman Kejayaan Islam Klasik
NO
KOTA
LEMBAGA
PENDIRI
1.
Bagdad
Bait Al Hikmah
Al Amir (Abbas)


Madrasah Nizamiyah
Nizham Al Mulk)
2.
Mesir
Universitas Al Azhar
Fatimah (Syi’ah)
3.
Spanyol
Universitas Cordova
Abd. Abdurrahman III
(Umayyah)


Studi Islam sekarang ini berkembang hampir diseluruh Negara di dunia, baik di dunia Islam maupun bukan Negara Islam. Di dunia Islam terdapat pusat-pusat studi Islam seperti Universitas al-azhar di Mesir dan Universitas Ummul Qura di Arab Saudi. Di Teheran didirikan Universitas Teheran. Di Universitas ini studi Islam dilakukan dalam satu fakultas yang di sebut Kulliyat Illahiyyat (fakultas agama). Di Universitas Damaskus (Syiria), studi Islam ditampung dalam Kulliyat al-Syariah (fakultas syariah) yang di dalamnya terdapat program studi Ushuludin, tasawuf, dan sejenisnya10.
Universitas al-Azhar (Mesir dapat dibedakan menjadi dua periode;
pertama, I periode sebelum tahun 1961, dan kedua periode setelah tahun 1961. Pada

10 Ibid……hal 72

periode pertama fakultas-fakultas yang ada di IAIN, sedangkan setelah tahun 1961 di
Universitas ini diselenggarakan fakultas-fakultas umum di fakultas agama.
Di Indonesia, studi Islam (pendidikan Islam tinggi) dilaksanakan di 11 Institut agama Islam Negeri (IAIN) dan 39 Sekolah Tinggi Agama Islam negeri (STAIN). Ada juga sejumlah perguruan tinggi swasta yang secara khusus menyelenggarakan pendidikan Islam tinggi sebagai salah satu bagian studinya, seperti fakultas agama di Universitas Muhamadiyah Jakarta dan Universitas Islam Bandung (UNISBA).
Studi Islam di Negara-negara non-Islam diselenggarakan di beberapa Negara antara lain; di India, Chicago, Los angles, London dan Kanada. Di Algrach Universitas India studi Islam di bagi dua; Islam sebagai doktrin dikaji di fakultas Ushuludin yang mempunyai dua jurusan, yakni jurusan mazhab ahli Sunnah dan jurusan mazhab Syi’ah. Sedangkan Islam dari aspek sejarah dikaji di fakultas Humaniora dalam jurusan Islamic Studies. Di Jamiah Millia Islamia, New Delhi, Islamic Studies program dikaji di fakultas Humaniora yang membawahi juga Arabic Studies, Persian Studies dan Political Sciense.
Di Cichago kajian Islam diselenggarakan di Cichago University. Secara organisatoris studi Islam berada dibawah pusat studi Timur Tengah dan jurusan Bahasa, dan Kebudayaan Timur Dekat. Di lemabaga ini Kajian Islam lebih mengutamakan kajian tentang pemikiran Islam, Bahasa Islam, naskah-naskah Klasik dan bahasa-bahasa Islam non-Arab.
Di Amerika studi-studi Islam pada umumnya mengutamakan studi sejarah Islam, bahasa-bahasa Islam selain bahasa Arab, sastra dan ilmu-ilmu sosial. Studi Islam di Amerika berada di bawah naungan Pusat Studi Timur Tengah dan Timur Dekat.
Di UCLA, studi Islam dibagi menjadi empat komponen;per tam a, doktrin dan sejarah Islam;kedua, bahasa Arab;ketiga, bahasa Islam non-Arab seperti Urdu, Turki dan Persia; dan keempat, ilmu-ilmu sosial, sejarah dan sosiologi. Di London studi Islam digabungkan dalam School of Oriental and African Studies (fakultas studi Ketimuran dan Afrika) yang memiliki berbagai jurusan bahasa dan kebudayaan di Asia dan Afrika11.
Demikian bahwa pertumbuhan studi Islam berkembang sangat cepat dan direspon oleh berbagai kalangan masyarakat, ternyata dalam perkembangannya tidak hanya berkembang di perguruan tinggi dan Negara-negara Islam saja. Jika melihat perkembangannya seperti itulah studi Islam sejak zaman awal pembentukan Islam hingga sekarang.
BAB III
KESIMPULAN
1. Mempelajari pendekatan studi Islam ini agar mengetahui persoalan yang
menyangkut usaha perbaikan pemahaman dan penghayatan agama terutama dari
11 M. Atho Mudzhar,Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar. 1998. Hal 25.
sisi etika dan moralitasnya selama ini masih kurang mendapat tempat yang
memadai.
2. Awal ada studi Islam itu sejak adanya pusat-pusat studi Islam klasik adalah Mekah da Madinah, Basrah dan Kufah, Damaskus dan Palestina dan Mesir. Madrasah Mekah dipelopori oleh Mu’as bin Jabal; madrasah Madinah dipelopori oleh Abu Bakar, Umar, Ustman; madrasah Basrah dipelopori oleh Abu Musa al- Asy’ari dan Anas bin Malik; madrasah Kufah dipelopori oleh Ali bin Abi Thalib dan lain-lain.
3.Pertumbuhan studi Islam berkembang hampir diseluruh negara di dunia, baik di
dunia Islam maupun bukan negara Islam. Di dunia Islam terdapat pusat-pusat studi Islam seperti Universitas al-azhar di Mesir dan Universitas Ummul Qura di Arab Saudi. Di Teheran didirikan Universitas Teheran. Di Universitas ini studi Islam dilakukan dalam satu fakultas yang di sebut Kulliyat Illahiyyat (fakultas agama) dan sebagainya.




DAFTAR PUSTAKA
Djamari, Agama dalam Perspektif Sosiologi, Bandung: Alfabeta. 1993.
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek Jilid I, Jakarta: UI Press. 1985.
Harun Nasution, Format Baru Gerakan Keagamaan, dalam Atang Abdul Hakim dan Jaih Mubarok, Metodelogi Studi Islam, Bandung: Rosdakarya, 2002.
Komaruddin Hidayat, Atas Nama Agama: Wacana agama dalam Dialog “bebas”
konflik.Dalam bukunya andito (Ed), Bandung: Pustaka Hidayah, 1998.
Masdar F. Mas’udi, Agama sumber Etika Negara-negara Perlu Pemikiran Ulang, dalam Atang Abdul Hakim dan Jaih Mubarok, Metodelogi Studi Islam, Bandung: Rosdakarya, 2002.
M. Atho Mudzhar,Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar. 1998.
Zaini Muchtarom,Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Depag RI. 1986


A. Penelitian Agama
(a). Pengertian Penelitian Agama
Penelitian berasal dari kata teliti yang artinya cermat, seksama atau pemeriksaan yang dilakukan secara seksama dan teliti dan dapat pula bearti penyelidikan. Selanjutnya penelitian (Research) adalah upaya sistematis dan obyektif untuk mempelajari suatu masalah dan menemukan prinsip-prinsip umum, juga berarti upaya pengumpulan informasi yang bertujuan menambah pengetahuan. Dengan demikian, pada hakikatnya penelitian dapat dirumuskan sebagai penerapan pendekatan ilmiah pada pengkajian suatu masalah.
Sedangkan pengertian agama, yakni telah banyak ahli antropologi, psikologi dan lain-lain yang mencoba mendifinisikan agama tetapi banyak juga hasilnya yang tidak memuaskan, karena tidak dapat diperoleh definisi yang seragam.
Menurut harus nasution, guru besar filsafat dan teologi islam berdasarkan analisnya terhadap berbagai kata yang berkaitan dengan agama yaitu Ad-din atau religi dan kata agama itu sendiri sampai pada kesimpulan bahwa intisari yang terkandung dalam istilah-istilah diatas adalah ikatan. Selanjutnya harun nasution menyebutkan adanya empat unsur penting yang terdapat dalam agama, yaitu :
1. Unsure kekuatan ghoib yang dapat mengambil bentuk dewa/tuhan dan sebagainya.
2. Unsure keyakinan manusia.
3. Unsure respon yang bersifat emosional dari manusia.
4. Unsure faham apa adanya yang kudus dan suci.
Adapun agama juga mengandung dua kelompok ajaran :
1. Ajaran dasar yang diwahyukan tuhan melalui rasul-Nya kepada masyarakat manusia yang bersifat absolute, mutlak, benar, kekal, tidak berubah dan tidak bisa dirubah.
2. Ajaran dasar yang hanya merupakan penjelasan dan hasil pemikiran yang bersifat relative, nisbi, brubah dan dapat diubah sesuai dengan perkembangan zaman.
(a). Tujuan Penelitian
Tujuan pokok adalah mencari kebenaran-kebenaran objektif yang disimpulkan melalui data-data yang terkumpul. Kebenaran-kebenaran objektif yang diperoleh tersebut, kemudian digunakan sebagai dasar atau landasan untuk pembaharuan, perkembangan atau perbaikan dalam masalah-masalah teoritis dan prektis bidang-bidang pengetahuan yang bersangkutan.
(b). Macam-macam Penelitian
Jika dilihat dari segi metode dasar dan rancangan penelitian yang digunakan, maka penelitian dapat dibagi lagi menjadi 8 macam:
1. Penelitian Historis (Historical Research)
Tujuan penelitiannya adalah untuk memberi rekonstruksi masa lampau secara sistematis dan obyektif, dengan cara mengevaluasi, menverifikasi serta mensistematisasikan bukti-bukti untuk menegakkan fakta dan memperoleh kesimpulan yang kuat.
2. Penelitian Survai
Adalah informasi yang dikumpulkan dari responden dan dengan menggunakan koesioner, yang bersifat kuantitatif.
3. Penelitian Research
Adalah informasi yang dikumpulkan dengan menggunakan wawancara bebas, dimana para peneliti tidak memulai penelitiannya dengan teori ataus hipotesa yang akan diuji, melainkan bertolak dari kata yang dikumpulkan, yang bersifat kualitatif.
4. Penelitian Tindakan (Action Research)
Adalah mengembangkan ketrampilan-ketrampilan baru atau cara pendekatan baru dan untuk memecahkan masalah dengan penerapan langsung di dunia kerja atau dunia actual yang lain.
5. Penelitian Eksperimental Sungguhan
Adalah menyelidiki kemungkinan saling hubungan sebab-akibat dengan cara mengenakan kepada satu atau lebih kelompok eksperimental dan memperbandingkan hasilnya dengan satu atau lebih kelompok control yang tidak dikenal kondisi perlakuan.
6. Penelitian Kasual-Komparatif
Adalah menyelidiki kemungkinan hubungan sebab-akibat dengan cara berdasar atas pengamatan terhadap akibat yang ada mencari kembali faktor yang mungkin menjadi penyebab melalui data tertentu.
7. Penelitian Korelasional (Co relational Research)
Adalah mendeteksi sejauh mana variasi-variasi pada suatu faktor berkaitan dengan variasi-variasi pada satu atau lebih faktor lain berdasarkan koefisiensi korelasi.
8. Penelitian Kasus dan Penelitian Lapangan
Adalah mempelajari secara intensif tentang latar belakang keadaan sekarang dan interaksi lingkungan sesuatu unit sosial: individu, kelompok, lembaga/masyarakat.
(c). Penelitian Agama
Para ilmuwan sendiri beranggapan bahwa agama juga merupakan objek kajian penelitian yang sudah lama diperdebatkan karena agama merupakan bagian dari kehidupan sosial kultur, jadi penelitian agama bukanlah meneliti hakikat agama dalam arti wahyu melainkan meneliti manusia yang menghayati, meyakini dan memperoleh pengaruh dari agama. Penelitian agama bukanlah meneliti kebenaran teologi atau filosofis tetapi bagaimana agama itu ada dalam kebudayaan dan sistem sosial berdasarkan fakta atau realitas sosial-kultur. Misalnya dapat meneliti tingkat keimanan dan ketaqwaan yang dianut masyarakat. Kita dapat meneliti apakah ajaran zakat, puasa dan haji misalnya, sudah dilaksanakan sesuai ketentuan Allah dan Rasul-Nya. Selanjutnya kita juga dapat meneliti seberapa jauh tingkat kepedulian umat Islam terhadap penanganan masalah-masalah sosial sebagai panggilan ajaran agamanya.

B. Kedudukan Penelitian Agama diantara Penelitian-Penelitian Lainnya
Pada dasarnya penelitian agama sejajar atau sebanding dengan penelitian-penelitian Non-Agama. Yang membedakan hanyalah objek kajian yang ditelitinya, yakni bahan referensi penelitian itu sendiri baik agama maupun non-agama dan ruang lingkup diantara keduanya. Contoh model penelitian agama seperti penelitian sejarah Islam, Antropologi dan sosiologi agama, pemikiran modern dalam Islam, politik Islam dan lain-lain. Sedangkan penelitian Non-Agama seperti penelitian lingkungan masyarakat, ilmu pengetahuan (sains) kesehatan dan lain-lain. Dengan demikian kedudukan penelitian agama adalah sejajar dengan penelitian-penelitian Non-Agama


URGENSI PENDEKATAN ANTROPOLOGI UNTUK STUDI AGAMA DAN STUDI ISLAM
14 Januari 2011 oleh Amin Abdullah
Pengantar
Seperti  yang biasa  saya sampaikan dalam beberapa tulisan bahwa agama selalu mencakup dua entitas yang tidak dapat dipisahkan tetapi dapat dibedakan, yaitu normativitas (teks, ajaran, belief, dogma) dan juga  historisitas (praktik dan pelaksanaan ajaran, teks, belief, dogma  tersebut dalam kehidupan konkrit di lapangan, seperti di lingkungan kehidupan komunitas  (organisasi sosial keagamaan;  organisasi profesi),  masyarakat pedesaan (rural) atau  perkotaan (urban),  situasi konteks politik (regim pemerintahan order lama, orde baru, dan orde reformasi),  jaman yang berbeda (abad tengah, modern, postmodern), tingkat  pendidikan yang berbeda ( Pesantren, MI, Mts, Aliyah, atau SD, SMP, dan SMA dan lebih-lebih S 1, 2 dan 3 di perguruan tinggi dan otodidak), pelatihan atau training (halaqah, tarbiyah,  pengajian majlis taklim), pendidikan umum dan pendidikan agama, pesantren kilat dan begitu seterusnya. Bahkan sekarang ada yang merasa cukup  lewat internet, situs-situs, e book dan begitu seterusnya.Studi Agama dan Studi Islam kontemporer perlu memperhatikan dua entitas tersebut dengan cermat, sehingga para dosen, mahasiswa dan peminat studi agama dan studi Islam tidak terkejut-kejut dan tidak perlu kecewa , apalagi marah-marah meluapkan emosi , jika terjadi dan menjumpai  “perbedaan tafsir keagamaan”  pada  level historisitas, meskipun  idealnya memang  tak perlu adanya perpecahan karena bersumber dari sumber ajaran normative yang sama, yaitu teks-teks atau nash-nash al-Qur’an and al-Sunnah.  Realitas seperti ini berlaku untuk semua penganut agama-agama besar dunia, baik yang Abrahamik  ( Yahudi, Kristen, Islam) maupun  agama-agama non Abrahamik (Hindu, Budha, Konghucu, Sikh, Bahai dan lain-lain), serta tradisi-tradisi  atau agama lokal yang lain selain yang  disebut diatas.
Lantaran rumit dan kompleknya situasi yang dihadapi maka pendekatan antropologi terhadap   agama    diperlukan   untuk   memberi  wawasan  keilmuan  yang lebih  komprehensif tentang entitas dan substansi  agama   yang  sampai  sekarang  masih  dianggap  sangat  penting untuk membimbing  kehidupan umat  manusia baik untuk kehidupan pribadi, komunitas, sosial, politik  maupun budaya para penganutnya. Diperlukan ‘peta’ wilayah yang cukup jelas sebelum masuk ke jantung kota yang sangat kompleks, minimal untuk mengetahui jalan-jalan protokol supaya tidak tersesat jalan,  shukur kalau dapat diperoleh dan dilengkapi peta yang lebih detil sampai menjangkau ke  jalan-jalan kecil, gang-gang, nomor rumah yang dituju  dan begiutu seterusnya.  Pendekatan antropologi terhadap entitas keberagamaan  dan entitas keilslaman adalah ibarat pembuatan peta yang dimaksud. Pendekatan antropologi  bersikap deskriptif, melukiskan apa adanya dari realitas yang ada, dan bukannya normative , dalam arti tidak ada keinginan  dari  si pembuat peta untuk  mencoret, menutup atau tidak menggambar atau menampilkan alur jalan yang dianggap kira-kira tidak enak  atau berbahaya untuk dilalui. Pendekatan antropologi harus bersikap jujur, apa adanya, tanpa ada muatan interes-interes atau kepentingan tertentu (golongan, ras, etnis, agam,  gender, minoritas-mayoritas) untuk tidak membuat peta  (keagamaan manusia) apa adanya. Disini bedanya dari corak pendekatan Teologi (dalam Kristen) atau Kalam dan fikih (dalam islam) lama, yang kadang tidak ingin menampilkan gambar dan peta keagamaan apa  adanya karena adanya interes-interes golongan keagamaan  (sekte, madzhab, organisasi keagamaan)- seperti  penekanan pentingnya pada  sejarah penyelamatan (salvation history) yang ditawarkan oleh  agama tertentu dengan mengesampingkan agama- agama  lain-  sehingga peta atau gambar yang dibuat menjadi kabur dan tidak begitu jelas untuk melihat agama-agama secara  utuh-komprehensif. Jika memang begitu, lalu apa yang dimaksud dengan pendekatan antropologi terhadao agama, atau sebutlah pendekatan antropologi agama?
Ciri fundamendal cara kerja pendekatan antropologi
Setidaknya ada 4  (empat) ciri fundamendal  cara kerja  pendekatan antropologi terhadap agama. Pertama, bercorak descriptive, bukannya normatif.  Pendekatan antropologi  bermula dan diawali dari kerja lapangan  (field work),  berhubungan  dengan orang, masyarakat, kelompok  setempat yang diamati  dan diobservasi dalam jangka waktu yang lama dan mendalam.  Inilah yang biasa disebut dengan  thick description (pengamatan dan observasi di lapangan yang dlakukan secara serius, terstuktur , mendalam dan berkesinambungan).  Thick description dilakukan  dengan cara antara lain Living in , yaitu  hidup bersama masyarakat yang diteliti, mengikuti  ritme dan pola hidup sehari-hari mereka dalam waktu yang cukup lama. Bisa berhari-hari, berbulan-bulan, bahkan bisa bertahun-tahun, jika ingin memperoleh hasil yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkansecara akademik.  John R Bowen, misalnya, melakukan penelitian antropologi  masyrakat muslim Gayo,di  Sumatra, selama bertahun-tahun. [1] Begitu juga dilakukan oleh para antropolog kenamaan yang lain , seperti Clifford Geertz.  Field note research (penelitian melalui pengumpulan catatan  lapangan) dan bukannya  studi teks atau pilologi seperti yang biasa dilakukan oleh para orientalis adalah andalan utama antropolog. Talal Asad menggambarkan kerja antropologi sebagai berikut:
“Anthropologists who seek to describe rather than to moralize will consider each tradition in its own term-even as it has come to be reconstituted by modern forces – in order to compare and contrast it with others. More precisely, they will try to understand ways of reasoning characteristic of given traditions. Such anthropologists will also need to suppress their personal  distaste for particular traditions if they are to understand them. Beyond that, they should learn to treat some of their own Enlightenment assumptions as belonging to specific kinds of reasoning- albeit kinds of reasoning that have largely shaped our modern world- and not as the ground from which all understanding of non-Enlightenment traditions must begin”.[2]
Kedua, Yang terpokok dilihat oleh pendekatan antropologi  adalah local practices , yaitu praktik konkrit dan nyata di lapangan.[3] Praktik hidup yang dilakukan sehari-hari,  agenda mingguan, bulanan dan tahunan, lebih –lebih ketika manusia melewati hari-hari  atau peristiwa-peristiwa penting dalam menjalani  kehidupan. Ritus-ritus atau amalan-amalan apa saja yang dilakukan untuk melewati peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan tersebut  (rites de pessages) ? Persitiwa  kelahiran, perkawinan, kematian, penguburan .  Apa yang dilakukan oleh manusia ketika menghadapi dan menjalani ritme kehidupan yang sangat penting tersebut?
Ketiga, antropologi selalu mencari keterhubungan dan keterkaitan antar berbagai domain kehidupan  secara lebih utuh (connections across social domains). Bagaimana hubungan antara wilayah  ekonomi,  sosial, agama, budaya dan politik.  Kehidupan tidak dapat dipisah-pisah. Keutuhan dan kesalingterkaitan antar berbagai domain kehidupan manusia. Hampir-hampir tidak ada satu domain wilayah kehidupan yang dapat berdiri sendiri, terlepas dan  tanpa terkait dan terhubung dengan lainnya.
Keempat, comparative. Studi dan pendekatan antropologi memerlukan perbandingan dari berbagai tradisi, sosial, budaya dan agama-agama.  Talal Asad menegaskan lagi disini bahwa “What is distinctive about modern anthropology is the comparisons of embedded concepts (representation) between societies differently located in time or space. The important thing in this comparative analysis is not their origin (Western or non-Western), but the forms of life that articulate them, the power they release or disable.” [4] Setidaknya,  Cliffort Geertz pernah memberi contoh bagaimana dia membandingkan kehidupan Islam di Indonesia dan Marokko.  Bukan sekedar untuk mencari kesamaan dan perbedaan, tetapi yang terpokok adalah untuk memperkaya perspektif  dan memperdalam bobot kajian.  Dalam dunia global seperti saat sekarang ini, studi komparatif sangat membantu memberi perspektif baru  baik dari kalangan outsider maupun outsider.[5]
Meskipun menyebut local practices untuk era globalisasi sekarang adalah debatable, tetapi ada empat rangkaian tindakan  keagamaan yang perlu dicermati oleh penelitian antropologi. Pertama, adalah bagaimana  seseorang dan atau kelompok melakukan praktik-praktik lokal dalam mata rantai tindakan keagamaan  yang terkait dengan dimensi social, ekonomi, politik, dan budaya.  Sebagai contoh ada ritus baru yang disebut “walimah al-Safar”, yang biasa dilakukan orang  sebelum  berangkat haji. Apa makna praktik dan tindakan lokal ini dalam keterkaitannya dengan agama, sosial, ekonomi, politik dan budaya? Religious ideas yang diperoleh  dari teks atau ajaran pasti ada di balik tindakan ini. Bagaimana tindakan ini membentuk emosi  dan menjalankan  fungsi sosial dalam kehidupan yang luas?.  Bagaimana walimah safar yang tidak saja dilakukan di rumah tetapi juga  di laksanakan di pendopo kabupaten? Oleh karenanya, keterkaitan dan keterhubungan antara local practices, religious ideas, emosi  individu dan kelompok maupun kepentingan sosial – poilitik tidak dapat dihindari.  Semuanya membentuk satu tindakan yang utuh.
Dengan demikian, pendeka an antropologi dalam dalam studi Islam sangatlah diperlukan. Islam dimaksud disini adalah Islam yang telah dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari , Islam yang telah melembaga dalam kehidupan suku , etnis, kelompok atau bangsa  tertentu, Islam yang telah  terinstitusionalisasi dalam kehidupan organisasi sosial, budaya, politik dan agama . Islam yang terlembaga dalam kehidupan masyarakat yang menganut madzhab-madzhab,  pengikut  berbagai sekte,  partai-partai  atau  kelompok-kelompok kepentingan tertentu.  Hasil kajian antropologi terhadap realitas kehidupan konkrit di lapangan  akan dapat membantu tumbuhnya saling pemahaman antar berbagai  paham dan penghayatan keberagamaan yang sangat bermacam-macam dalam kehidupan riil masyarakat Islam baik pada tingkat lokal, regional, nasional maupun internasional.
Praktik kehidupan, Konteks dan keanekaragaman
Dalam kacamata antropologi agama, agama adalah ‘Ideas and practices that postulate reality beyod that which is immediuately available to the senses” [6] (Agama adalah sekumpulan ide-ide atau pemikiran dan seperangkat tindakan konkrit sehari-hari  yang didasarkan atas postulasi atau keyakinan kuat  adanya realitas yang lebih tinggi  berada di luar alam materi  yang biasa  dapat dijangkau langsung dalam kehidupan materi). Apa yang disebut agama, dalam praktiknya, memang sangat berbeda dari satu masyarakat pemeluk agama tertentu ke masyarakat pemeluk agama yang lain, baik yang menyangkut sistem kepercayaan yang diyakini bersama, tingkat praktik keagamaan yang dapat melibatkan emosi para penganutnya, serta peran sosial  yang dimainkannya. Agama-agama Abrahamik dan non-Abrahamik, dan lebih-lebih agama-agama lokal yang lain adalah sangat berbeda dalam penekanan aspek keberagamaan ysng dianggap paling penting dan  menonjol. Ada yang menekankan pentingnya sisi ketuhanan (deities  atau spirits), ada yang lebih menekankan kekuatan impersonal (impersonal forces)  yang dapat menembus dunia alam dan sosial, seperti yang dijumpai di agama-agama di Timur. Atau bahkan ada yang tidak memfokuskan pada sistem kepercayaan sama sekali, tetapi lebih mementingkan ritual.
Pada umumnya, hasil  field note research di lapangan dari berbagai kawasan, para antropolog hampir menyepakati bahwa agama melibatkan 6 dimensi : l) perform certain activities (Ritual), 2) believe certain things ( kepercayaan, dogma), 3) invest authority in certain personalities (leadership; kepemimpinan), 4) hallow certain text (kitab suci, sacred book), 5)  telling various stories (sejarah dan institusi) , dan 6) legitimate morality (moralitas). Ciri paling menonjol dari studi agama  – yang membedakannya  dari studi sosial dan budaya, adalah keterkaitan  keenam dimensi tersebut dengan  keyakinan  kuat dari para penganutnya  tentang adanya apa yang disebut dengan “non-falsifiable postulated alternate reality” (Realitas tertinggi yang tidak dapat difalsifikasi)[7] Keenam dimensi keberagamaan tersebut jika dikontekskan dengan agama Islam, maka kurang lebih akan menjadi sebagai berikut : 1) Ibadah,  2) Aqidah, 3) Nabi atau Rasul, 4) al-Qur’an dan al-Hadis 5) al- Tarikh atau al-Sirah dan 6) al-Akhlaq.  Keenam dimensi tersebut lalu dikaitkan dengan Allah (yang bersifat non-falsifiable alternate reality) juga.
Sebutlah ke enam dimensi tersebut – peneliti dan sarjana studi agama lain bisa menambah atau menguranginya – sebagai  General Pattern dari agama-agama dunia, tetapi begitu keenam dimensi keberagamaan  manusia  tersebut masuk ke wilayah praktik sehari-hari di lapangan, maka ia akan masuk ke wilayah Particular Pattern.[8] Wilayah Partcular Pattern dari agama-agama tersebut  adalah ketika  agama bergumul dan  masuk dalam dalam konteks  perubahan sosial, politik, ekonomi dan budaya, juga geografi, perbedaan iklim dan kondisi alam yang berbeda-beda.  Semuanya akan jatuh ke wilayah diversitas atau kepelbagaian. Dalam pandangan studi agama, lebih-lebih dalam perspektif antropologi agama, agama-agama di dunia tidak ada yang sama. Kepelbagaian ada disitu. Dalam local practices dari ke enam dimensi tersebut, yang ada hanyalah kepelbagaian dan keanekaragamaan. Tapi,  dengan muncul dan tumbuhnya kesadaran akan pentingnya  martabat kemanusiaan (human dignity), maka para  tokoh agama-agama tersebut  juga menggarisbawahi   pentingnya General Pattern (atau, dalam bahasa Islam : Kalimatun sawa)[9] yang ada di balik diversifikasi  Partcular Pattern tersebut.
Penelitian dan studi antropologi agama akan sangat membantu  memahami akar-akar kepelbagaian (diversity) dalam berbagai  hal : kepelbagaian dalam menginterpretasi  teks, perbedaan ritual peribadatan, model-model  kepemimpinan, perjalanan kesejarahan, perkembangan kelembagaan agama,  bagaimana pengetahuan dan ide-ide  ( gender, hak asasi manusia, kemiskinan, lingkungan)  didistribusikan  dan disebarluaskan  dalam masyarakat luas lewat organisasi sosial-keagamaan  dan  lembaga-lembaga pendidikan, bagaimana keadilan dan kesejahteraan diperbincangkan.  Akan dapat dijelaskan dan  direkonstruksi kembali bagaimana praktik keagamaan  (Local practices) pada tingkat lokal dalam keterkaitannya dengan pelbagai  macam penafsiran oleh para tokoh  (da’I, kyai, dosen, pemangku adat, tokoh agama, guru, dosen) dan pemangku kepentingan lainnya serta akibatnya  dalam  perbedaan kehidupan sosial.   Dengan bantuan pendekatan antropologi, semua kepercayaan agama  terbuka  untuk diperdebatkan dan ditransformasikan kearah yang lebih baik-humanis. Dan ketika semua aktor terlibat dalam perdebatan  dan penjelasan tersebut , maka akan membawa kepada pemahaman bahwa agama-agama  sangat  terbuka untuk kemungkinan-kemungkinan[10] baru yang lebih kondusif untuk kesejahteraan manusia di muka bumi.
Studi Islam dan antropologi
Apa yang dibicarakan diatas  menenui relevansinya dengan perkembangan terakhir studi hukum Islam dan usul fikih pada umumnya.  Adalah Jasser Auda yang membuka perspektif  baru tentang bagaimana sesungguhnya peran para jurist dan fakih dalam menentukan corak, perbedaan interpretasi  serta tingkat kedalaman  pemahaman keagamaan.[11] Diuraikan bahwa terjadi pergeseran pemahaman dan peran yang dimainkan oleh para fuqaha dalam setiap jaman.  Sebenarnya hal ini tidak baru, karena para fuqaha lama sudah menjelaskannya.  Yang penulis anggap baru adalah  cara menjelaskan dan perangkat keilmuan yang diikutsertakan yang berbeda dari  uraian terdahulu. Para pembaca semakin disadarkan betapa diversitas dan pluralitas pemahaman keagamaan itu adalah memang begitu adanya dan perbedaan tafsir keagamaan  adalah min lawazim al hayah. Jika realitasnya memang begitu, maka bagaimana cara para pemimpin agama menyikapi dan mengantisipasinya?  Bagaimana agama dijelaskan oleh para guru agama, para kyai, para dosen, para tokoh dan pimpinan organisasi sosial keagamaan di era global seperti sekarang ini ? Apakah fikih aghlabiyyah (fikih mayoritas) harus berlalu pada wilayah fikih aqalliyyah (minoritas), misalnya? Ada semacam living Qur’an dan living  Sunnah atau Hadis yang berbeda dari satu wilayah ke wilayah yang lain.
Pada era fikih era tradisional digambarkan bahwa peran fakih (para ahli agama) dianggap sederajat dengan Syariah, dan seolah-olah sederajat pula dengan al-Qur’an dan al Sunnah (Prophetic tradition).Bahkan apa yang disebut Prophetic tradition pun tidak atau belum dibedakan antar berbagai klasifikasi al-Hadis . Hadis-hadis misoginik, misalnya, dijadikan satu atau sederajat dengan hadis-hadis lain. (lihat ilustrasi dalam gambar 1).
Gambar 1
http://aminabd.files.wordpress.com/2011/01/gambar-11.jpg?w=500&h=368
Sedangkan pada era fikih  era modernitas, secara jelas sudah mulai dibedakan antara apa yang disebut Revealed Syariah, dengan al-Qur’an dan Prophetic tradition disatu sisi dan peran Fakih di sisi yang lain. Dalam wilayah Prophetic tradition juga sudah dapat dipilah-pilah, mana Hadis yang matan nya dapat diterima dan mana yang kiranya tidak dapat diterima, sesuai dengan perkembangan pengetahuan dan literacy umat manusia. Sedang Fikih (pemahaman  keagamaan Islam dan praktiknya di lapangan  oleh seorang fakih) pun sudah jelas dimana tempatnya. Dia sudah jelas berada di luar  wilayah apa yang disebut dengan Revealed Syariah. (lihat gambar 2).
Gambar 2
http://aminabd.files.wordpress.com/2011/01/gambar-2.jpg?w=500&h=374
Sedangkan para era pemahaman fikih era postmodernitas, selain menggarisbawahi  yang ada pada era Modernitas, tetapi peran fakih jauh lebih jelas lagi perannya dalam memahami agama. Yang baru disini adalah bahwasanya pemahaman para ahli hukum agama (jurist), selain terinspirasi oleh al-Qur’an dan al-Sunnah, tetapi dia sesungguhnya sangat dipengaruhi oleh pandangan hidupnya sendiri, lingkungan yang ada disekitarnya, bahkan tingkap ilmu pengetahuan yang dimiliki umat manusia saat itu. Faktor-faktor inilah yang ikut  membentuk pandangan hidupnya. (Competent Worldview). Sedang Competent worldview nya sangat dipengaruhi oleh tingkat penguasaan ilmu pengetahuan (Sciences), baik pengetahuan alam, sosial, budaya dan humanitas kontemporer yang mengelilinginya). Artinya penafsiran teks-teks kitab suci dan juga al-sunnah dan al-hadis  sangat bersifat lokal. Yaitu lokal dalam arti ditentukan oleh tingkat penguasaan ilmu pengathuan sang jurist itu sendiri. Dan Fikih tidak bisa tidak adalah sangat ditentukan oleh kondisi lokal (sosial, politik, budaya, ekonomi),  ilmu pengetahuan yang dikuasi oleh para ahli hukum agama (jurist) tersebut.   (Lihat gambar 3).






Gambar 3
http://aminabd.files.wordpress.com/2011/01/gambar-3.jpg?w=500&h=363
Dan sangat dimungkinkan munculnya diversifikasi dan kepelbagaian  interpretasi dalam beragama.  Dalam tingkat terakhir ini, menurut hemat penulis, pendekatan antropologi agama dapat membantu dan bahkan  bekerjasama dengan studi Islam untuk menjelaskan dan melerai berbagai isu yang sulit dipecahkan atau dijelaskan dengan hanya menggunakan salah satu pendekatan saja , apalagi pendekatan kekuasaan, pendekatan mayoritas – minoritas, tanpa mengaitkan dan mempertautkan antara  Fikih dan Usulnya dengan antropologi agama.
Cupuwatu, Yogyakarta, 12 Januari 2011

[1]John R. Bowen, Religions in Practice: An Approach to the Anthropology of Religion, Boston, Allyn and Bacon,2002, h. 2
[2]Talal Asad,  Genealogies of Religion: Discipline and Reasons of Power in Christianity and Islam. Baltimore and London, The Johns Hopkins University Press, l993, h.200. Garis bawah dari penulis.
[3]Ketika disebut local practices (praktik-praktik keagamaan lokal, sebagai hasil interpretasi para aktor di lapangan ketika berjumpa dengan tradisi dan adat setempat-lokal), maka  disinilah  masalah terbesar, untuk tidak menyebutnya denga ketegangan,  dalam studi Islam muncul. Dalam studi Islam, khususnya dari literatur hadis dikenal istilah “bid’ah” – baik yang hasanah maupun sayyiah.Dengan sedikit menyederhanakan, praktik lokal dianggap keluar dari ajaran Islam yang otentik, sedangkan menurut antropolog justru praktik lokal inilah yang harus diteliti dan dicermati dengan sungguh-sungguh untuk dapat mememahami tindakan dan kosmologi keagamaan manusia secara lebih utuh.
[4]Talal Asad, Formations of the Secular: Christianity, Islam, Modenity, Stanford, California, Stanford University Press, h.17, Cetak miring dari penulis.
[5]Fazlur Rahman, “Approaches to Islam in Religious Studies: Review Essay,” , dalam Richard C. Martin (Ed.), Approaches to Islam in Religious Studies, Tucson, The University of Arizona Press, l985, h. 196. Juga Kim Knott, “Insider/Outsider perspectives” dalam John R. Hinnells, The Routledge Companion to the Study of Religion, London and New York, Routledge, 2005, h.243-255.
[6]Sudah barang tentu banyak sekali definisi agama yang diajukan oleh para teolog maupun para ahli studi agama, dan lebih-lebih para antropolog agama. Definisi tersebut diatas diambil dari John R. Bowen, op.cit, h. 5
[7]James L. Cox, A Guide to the Phenomenology of Religion: Key Figures, Formative Influences and Subsequent Debates, London and New York,  The Continuum  International, Publishing Group, 2006, h.236.
[8]Diolah kembali dari tulisan Richard C. Martin, “Islam and Religious Studies: An Introductory Essay”, dalam Richard C. Martin (Ed.), ibid. , h. 7-8.
[9]Upaya baru yang digalakkan oleh para ulama dan muslim scholars di seluruh dunia untuk menggarisbawahi kembali  General Pattern Kalimatun Sawa’ (Common Word) tersebut.  Lebih lanjut Waleed El-Ansary and David K. Linnan (Ed.), Muslim and Christian Understanding: Theory and Application of “A Common Word”, New York, Palgrave Macmillan, 2010.
[10]Diolah kembali dari tulisan Richard C. Martin “Islam and Religious Studies: An Introductory Essay” dalam Richard C. Martin (Ed.),  ibid. h. 7-8.
[11]Jasser Auda, Maqasid al-Syariah as Philosophy of Islamic Law: A System Approach, London, The International Institute of Islamic Thought, 2008.

"KONSTRUKSI TEORI" PENELITIAN AGAMA

Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, W.J.S. Poerwadarminta Mengartikan konstruksi adalah cara membuat (menyusun) bangunan – bangunan (jembatan dan sebagainya); dan dapat pula berarti susunan dan hubungan kata di kalimat atau di kelompok kata. Sedangkan teori berarti pendapat yang dikemukakan sebagai suatu keterangan mengenai suatu peristiwa (kejadian); dan berarti pula asas-asas dan hukum-hukum umum yang dasar suatu kesenian atau ilmu pengetahuan. Selain itu, teori dapat pula berarti pendapat, cara-cara, dan aturan-aturan untuk melakukan sesuatu.

Selanjutnya, dalam ilmu penelitian teori-teori itu pada hakikatnya merupakan pernyataan mengenai sebab akibat atau mengenai adanya suatu hubungan positif antara gejala yang diteliti dari satu atau beberapa faktor tertentu dalam masyarakat, misalnya kita ingin meneliti gejala bunuh diri. sudah mengetahui tentang teori integrasi atau kohesi sosial dari Emile Durkheim (seorang ahli sosiologi Perancis kenamaan), yang mengatakan adanya hubungan positif antara lemah dan kuatnya integrasi sosial dan gejala bunuh diri dari pengertian – pengertian tersebut, kita dapat memperroleh suatu kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan Ksnstruksi teori adalah susunan atau bangunan dari suatu pendapat, asas-asas atau hukum – hukum mengenai sesuatu yang antara suatu dan lainnya saling berkaitan, sehuingga membentuk suatu banunan.
Adapun penelitian berasal dari kata teliti yang artinya cermat, seksama, pemeriksaan yang dilakukan secara saksama dan teliti, dan dapat pula berarti penyelidikan, tujuan pokok dari kegiatan penelitian ini adalah mencari kebenaran-kebenaran objektif yang disimpulkan melalui data-data yang terkumpul. Kebenaran – kebenaran objektif yang diperoleh tersebut kemudian digunakan sebagai dasar atau landasan untuk pembaruan, perkembangan atau perbaikan dalam masalah-masalah teoritis dan praktis bidang-bidang pengetahuan yang bersangkutan.
Dengan demikian, penelitian mengandung arti upaya menemukan jawaban atas sejumlah masalah berdasarkan data-data yang terkumpul.
Barikutnya, sampailah kita kepada pengertian agama. Telah banyak ahli-ahli ilmu pengetahuan seperti antropologi, psikologi, sosiologi, dan lain-lain yang mengcoba mendefinikan agama. R.R. Maret salah seorang ahli antropologi Inggris, menyatakan bahwa agama adalah yang paling sulit dari semua perkataan untuk didefinisikan karena agama adalah menyangkut lebih daripada hanya pikiran, yaitu perasaan dan kemauan juga, dan dapat memanifestasikan dari menurut segi-segi emosionalnya walaupun idenya kabur.Harun Nasution menyebutkan adanya empat unsur penting yang terdapat dalam agama, yaitu :1) unsur kekuatan gaib yang dapat mengambil bentuk Dewa, Tuhan, dan sebagainya; 2) unsur keyakinan manusia bahwa kesejahterahannya di dunia ini dan hidupnya di akhirat nanti amat tergantung kepada adanya hubungan baik dengan kekuatan gaib yang dimaksud; 3) unsur respond yang bersifat emosional dari manusia yang dapat mengambil bentuk perasaan takut, cinta, dan sebagainya; dan 4) unsur pahan adanya yang kudus (sacred) dan suci yang dapat mengambil bentuk kekuatan gaib.

Dari definisi-definisi tersebut, Harun Nasution selannjutnya menyebutkan adanya empat unsur penting yang terdapat dalam agama, yaitu:
1) Unsur kekuatan gaib yang dapat rnengambil bentuk dewa, atau Tuhan, dan sebagainya:
2) Unsur keyakinan manusia bahwa kesejahteraannya di dunia ini dan hidupnya di akhirat nanti amat bergantung kepada adanya hubungan baik dengan kekuatan gaib yang dimaksud :
3) Unsur respons yang bersifat emosional dari manusia yang dapat mengambil bentuk perasaan takut, cinta dan sebagainya dan
4) Unsur paham adanya yang kudus (Sacred) dan suci yang dapat mengambil bentuk kekuatan gaib, kitab yang mengandung ajaran-ajaran agama yang bersangkutan, dan dalam bentuk tempat-tempat tertentu.


MODEL-MODEL PENELITIAN AGAMA

Filed under: Uncategorized — awalbarri @ 6:58 am
Agama Sebagai Doktrin, Agama Sebagai Produksi Budaya, Agama Sebagai Produk Interaksi Sosial
• Agama Sebagai Doktrin
Doktrin bahwa sebuah agama yang mengoreksi atau bahkan menghapuskan agama sebelumnya, ini adalah yang disebut sebagai doktrin supersesionisme. Doktrin ini ertanam kuat dalam psike dan mindset umat Islam. Doktrin ini tak lain adalah cerminan sebuah keangkuhan sebuah agama. Kehadiran agama tidak terlalu dipandang penting negasi atas agama lain. Agama saling melengkapi satu terhadap yang lain. Kristen belajar dari Islam, Islam belajar dari Yahudi, yahudi bias belajar dari Negara-negara timur.
Doktrin bahwa mereka yang tidak mengikuti jalan islam atau agama yang bersangkuan adalah kafir. Ini mekanisme yang nyaris standar dalam sebuah agama. Semua agama cendrung memandang bahwa mereka yang ada diluar lingkaran penyelamatan adalah domba-domba sesat.
• Agama Sebagai Produksi Budaya.
Budaya menuru koenjaraningrat (1987:180) adalah keseluruhan system gagasan tindakan dan hasil kerja manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik manusia dengan belajar. Yojachem wach berkata tentang pengaruh agama terhadap budaya manusia yang immaterial bahwa mitologis hubungan kolektif tergantung pada pemikiran terhadap Tuhan.
Budaya yang digerakkan agama timbul dari proses interaksi manusia dengan kitab yang diyakini sebagai hasil daya kreatif pemeluk suatu agama tapi dikondisikan oleh konteks hidup pelakunya.yaitu faktor geografis, budaya dan beberapa kondisi yan objektif. Factor kondisi objektif menyebabkan terjadinya budaya agama yang berbeda-beda walaupun agama yang mengilhaminya adalah sama. Hal pokok bagi semua agama adalah bahwa agama berfungsi sebagai alat pengatur dan sekaligus membudayakannya dalam arti mengunkapkan apa yang ia percaya dalam bentuk budaya yaitu dalam bentuk etis, seni bangunan, struktur masyarakat dan adapt istiadat.
• Agama Sebagai Produk Interaksi Sosial
Pada penelitian agama sebagai gejala sosial, masalahnya agak sedikit lebih komplek dan diperlukan sistemaika yang lebih tinggi ketimbang pada saat kita melihat agama sebagai gejala budaya. Sebab seperti diketahui, penelitian ilmu sosial pada dasarnya meskippun bukan penelitian kealaman. Desain penelitian aama sebagai gejala sosial akan menekankan pentingnya penemuan keterulangan gejala yang diamati sebelum sampai pada kesimpulan.
Untuk lebih jelasnya kita ambil sebuah contoh sebuah agama sebagai gejala sosial. Misalnya, sebuah hasil penelitian yang berjudul “Pandangan Ulama Tentang Penggunaan Alat Kontrasepsi Sepiral (IUD) Dalam Program Keluarga Berencana.” Pertama-tama kita harus rumuskan persoalannya, kemudian persoalan itu akan dijabarkan apa yang disebut dengan pandanan. Misalnya dikatakan sebagai pandangan adalah sikap atau pendapat para ulama yang dikemukakan secara explicit dalam bentuk tulisan ataupun lisan. Sedangkan perbuatan dalam penelitian tidak bisa dijadikan dasar analisa.
ISLAM DAN KEBUDAYAAN
1. Apa Itu Kebudayaan
Dalam literature antropologi terdapat tiga istilah yang boleh jadi semakna dengan kebudayaan yaitu culture, civilizition, dan kebudayaan. Arti culture adalah memelihara, mengerjakan atau mengolah (S. Takdir alisyahbana, 1986:205). Istilah kedua yaitu sivilisasi (sivilization) berasal dari kata latin, yaitu civis. Arti kata civis adalah warga Negara (civitas = Negara kota, dan civilitas = kewarganegaraan)
Berikut beberapa pengertian kebudayaan menurut S. Takdir Alisyahbana (1986:207-8)
1. Kebudayaan adalah keseluruhan yang kompleks yang terjadi dari unsure-unsur yang berbeda-beda.
2. Kebudayaan adalah warisan sosial atau tradisi
3. Kebudayaan adalah cara, aturan dan jalan hidup manusia.
4. Kebudayaan adalah penyesuaian manusia terhadap alam sekitarnya dan cara-cara menyelesaikan persoalan.
5. Kebudayaan adalah hasil perbuatan atau kecerdasan manusia.
6. Kebudayaan adalah hasil pergaulan atau perkumpulan manusia.
Perasudi Suparlan (A. W. Widjaya (ed) 1986:65-6) menjelaskan bahwa kebudayaan adalah serangkaian auran-aturan, petunjuk-petunjuk, resep-resep, rencana-rencana, dan strategi-strategi yang terdiri atas serangkaian model-model kognitif yang dimiliki manusia dan yang digunakan secara selektif dalam menghadapi lingkungannya sebagaimana terwujud dalam tingkah laku dan tindakan-tindakannya.
Kebudayaan setiap bangsa atau masyarakat terdiri atas unsure-unsur besar dan unsure-unsur kecil yang merupakan bagian dari satu keutuhan yang tidak dapat dipisahkan. Unsure-unsur kebudayaan dalam pandangan Malinowki adalah sebagai berikut:
1. Sistem norma yang memungkinkan terjadinya kerja sama antar para anggota masyarakat dalam upaya menguasai alam sekelilingnya.
2. Organisasi Ekonomi
3. Alat-alat dan lembaga atau petugas pendidikan (keluarga merupakan lembaga pendidikan yang utama)
4. Organisasi kekuatan (Soerjono Soekanto, 1993:192)
Disamping itu terdapa kebudayaan yang bersifat universal (cultural universal) karena dapat dijumpai pada setiap kebudayaan yang ada di dunia ini. C. Kluckhohn, seorang antropolog, telah menguraikan alasan para sarjana mengenai hal itu yang disederhanakan menjadi tujuh. Tujuh unsur yang dianggapnya sebagai cultural universal adalah sebagai berikut:
1. Peralatan atau perlengkapan hidup manusia
2. Mata pencaharian hidup dan sistem ekonomi.
3. Sistem kemasyarakatan.
4. Bahasa (lisan atau tulisan)
5. kesenian.
6. Sistem pengetahuan
7. Religi (sistem kepercayaan)
A. Posisi dan Fungsi Hadist
Umat islam sepakat bahwa hadist merupakan sumber ajaran Islam kedua setelah Al-Qur’an, kesepakatan mereka didasarkan ada Nas, baik yang terdapat dalam Al-Qur’an maupun Hadist dalam Al-Qur’an maupun Hadist.
Keberadaan hadist sebagai sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an, selain ketetapan Allah yang dipahami dalam ayatnya secara tersirat, juga merupakan Ijma’ (konsensus) seperti yang terlihat dalam perlakuan para sahabat. Misalnya: Penjelasan Usman bin Affan mengenai etika makan cara duduk dalam shalat, umar bin khatab mencium hajar aswad karena mengikuti jejak rasul
IJTIHAD SEBAGAI SUMBER AJARAN ISLAM
A. Pengertian Ijtihad
Secara bahasa Ijtihad berasal dari kata jahada. Kata ini beserta variasinya menunjukkan pekerjaan yang dilakukan lebih dari biasa. Kata ini pun berarti kesanggupan (al-wus), kekuatan (al-thaqah), dan berat (al-masyaqqah). Dalam al-sumnah, kata ijtihad terdapat dalam sabda nabi yang artinya: pada waktu sujud, bersungguh-sungguhlah berdo’a (fatahidu fi al-du’a)
B. Dasar-Dasar Ijtihad
Adapun yang menjadi dasar hukum ijtihad ialah Al-Qur’am dam Al-sunnah, diantara ayat-ayat Al-Qur’an yang menjadi dasar ijtihad adalah sebagai berikut:
“Sesungguhnya kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena membela oraqng Khianat….” (Q.S. ak-Rum [30]: 21).
DOKTRIN KEPERCAYAAN DALAM ISLAM
A. Iman Kepada Allah
“Musa berkata : wahai Tuhanku, ajarkanlah sesuatu kepadaku yang dapat kupergunakan untuk memuji dan menyambutmu” Allah menjawab, “Wahai Musa, ucapkanlah Ia Ilahi Illa Allah” Musa berkata “ semua hambamu telah mengucapkannya” Tuhan berkata, “ tidak apa-apa”. Sekiranya tujuh lapis langit dan tujuh lapis bumi beserta isinya, selain aku, diletakkan pada satu sisi timbangan lainnya di letakkan kalimat Ia Ilahi Illa Allah, niscaya timbangan yang berisi kalimay Ia Ilhi Illa Allah akan lebih berat dengan yang satunya lagi. (Moehammad Tharir Badrie, 1984:110) ia merupakan bagian dari lafad syahadatin yang harus diucapkan oleh seseorang yang akan masuk dan memeluk agama islam.
B. Kemustahilan Menemukan Zat Allah
Allah adalah maha esa, baik dalam zat sifat maupun perbuatan, Esa dalam zat artinya, Allah itu tidak tersusun dari beberapa bagian yang terpotong-potong dan dia pun tidak mempunyai sekutu. Esa dalam sifat berarti bahwa tak ada seorang pun yang mempunyai sifat dimiliki oleh Allah.
Allah dengan sifat rahman dan rahim-nya, telah membekali manusia dengan akal dan pikiran untuk dapat dingunakan untuk menjalankan kehidupannya. Akal pikiran itu merupakan ciri keistimewaan yang dimiliki oleh manusia, sebagai faktor pembeda antara manusia demgan mahluk lainya. Dalam Al-Qur’an Allah berfirman, “ Allah tidak dapat dicapai dalam penglihatan mata, sedang dia dapat melihat segala penglihatan itu dan dialah yang maha halus lagi maha mengetahui.
C. Aggrumen Keberadaan Allah
Ada tiga yang menerangkan asal kejadia alam semesta yang mendukung keberadaan Tuhan, pertama, paham yang mengatakan bahwa alam semesta ini ada dari yang tidak ada (creatio ex-nihilo) ia terjadi dengan sendirinya. Kedua, paham dengan mengatakan bahwa alam semesta ini berasal dari sel (jauhar) yang merupakan inti. Ketiga, paham yang mengatakan bahwa alam semesta itu ada yang mencipatakan. (sayid syabiq, 1974:61)
Dalam Al-Qur’an terdapat beberapa ayat yang menjelaskan bahwa Tuhan itu benar-benar ada. Sebagi contoh, berikut ini dikemukakan ayat-ayat yang mendukung peryataan tersebut.
“Allah menciptakan segala sesuatu dan dia memlihara segala sesuatu kepunyaan-Nya-lah (perbendaharaan) langit dan bumi dan orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Allah, mereka itulah yang orang-orang yang merugi. (Q.S. al-Zumar [39]:62-63).
“Dia-lah Allah yang tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, yang maha mengetahui yang gaib dan yang nyata. Dia-lah yang maha pemurah maha penyayang. (Q.S.al-Hayr [59]:22).”
D. Iman Kepada Pesuruh Allah Dan Ketentuan Allah
1. Iman Kepada Malaikat Allah
2. Iman Kepada Kitab-Kitab Allah
• Kitab Al-Qur’an Al-karim
• itab Injil
• Kitab Taurat
• Kitab Zabur
3. Iman Kepada Rasul-Rasul Allah
4. Iman Kepada Alam Gaib
BAB II
ISLAM PADA MASA SEKARANG
A. ISLAM DI EROPA
Perkembangan Islam di Eropa
Selama 20 tahun terakhir jumlah kaum muslim di dunia telah meningkat secara perlahan. Angka statistik tahun 1973 menunjukkan bahwa jumlah penduduk Muslim dunia adalah 500 juta sekarang, angka ini telah mencapai 1,5 miliar. Kini, setiap empat orang salah satunya adalah Muslim. Bukanlah mustahil bahwa jumlah penduduk Muslim akan terus bertambah dan Islam akan menjadi agama terbesar di dunia. Peningkatan yang terus menerus ini bukan hanya dikaenakan jumlah mualaf yang baru memeluk Islam yang terus meningkat, suatu fenomena yang menonjol, terutama setelah serangan terhadap World Trade Center pada tanggal 11 September 2001. Serangan ini, yang dikutuk oleh setiap orang terutama orang Muslim, tiba-tiba saja telah mengarahkan perhatian orang (khususnya warga Amerika Serikat) kepada Islam. Demikianlah perkiraan yang umum terdengar pasca peristiwa 11 September 2001 bahwa “serangan ini akan mengubah alur sejarah dunia”. Dalam beberapa hal, telah mulai nampak kebenarannya. Proses kembali pada nilai-nilai agama dan spritual, yang dialamai dunia sejak lama, telah menjadi keberpalingan kepada Islam.
Kesadaran Beragama di Kalangan Muslim Meningkat di Eropa
Penelitian juga mengungkap bahwa seiring dengan menigkatnya jumlah Muslim di Eropa, terdapat kesadaran yang semakin besar dalam menjalankan agama dikalangan para mahasiswa.. Menurut survey yang dilakukan oleh surat kabar Prancis Le Monde di bulan Oktober 2001, dibandingkan data yang dikumpulkan di tahun 1994, banyak kaum Muslim terus melaksanakan sholat, pergi ke Mesjid dan berpuasa. Kesadaran ini mulai menonjol dikalangan mahasiswa universitas.
Dalam sebuah laporan yang didasarwkan pada media masa asing di tahun 1999, majalah Turki Akuel menyatakan,para peneliti Barat memperkirakan dalam 50 tahun kedepan Eropa akan menjadi salah satu pusat utama perkembangan Islam.
Islam adalah Bagian Tak Terpisahkan dari Eropa
Bersamaan dengan kajian dan demografis ini , kita juga tidak boleh melupakan bahwa Eropa tidak bersentuhan dengan Islam hanya baru-baru ini saja, akan tetapi Islam sesungguhnya merupakan bagian tak terpisahkan dari Eropa.
Eropa dan dunia Islam telah saling berhubungan dekat selama berabad-abad. Pertama, Negara Andalusia (756-1492) si Semenanjung Iberia dan kemudian selama masa Perang Salib (1095-1291) serta penguasaan wilayah Balkan oleh kekhalifahan Utsmaniyyah (1389) memungkinkan terjadinya hubungan timbal balik antara kedua masyarakat itu. Kini banyak pakar sejarah dan sosiologi menegaskan bahwa Islam adalah pemicu utama perpindahan Eropa dari gelapnya Abad Pertengahan menuju terang-benderangnya Masa Renasisans. Di masa ketika Eropa terbelakang di bidang kedokteran, astronomi, matematika dan banyak bidang lainnya,kaum Muslim memiliki perbendaharaan ilmu pengetahuan yang sangat luas dan kemampuan hebat dalam membangun.
Bersatu pada Pijakan Bersama : “ Monoteisme”
Perkembangan Islam juga tercerminkan dalam perkembangan dialog antar agama baru-baru ini. Dialog-dialog ini berawal dengan pernyataan bahwa tiga agama monoteisme (Islam,Yahudi dan Nasrani) memiliki pijakan yang sama dan dapat bertemu pada satu titik yang sama. Dalam Al Qur’an Allah memberitahukan pada kita bahwa kaumMuslim mengajak kaum Ahli Kitab (Nasrani dan Yahudi ) untukbersatu pada satu pijakan yang disepakati bersama
Katakanlah : “ Hai Ahli Kitab marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun dan tidak (pula) sebagian dari kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: “ Saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)” (QS. Ali’Imran : 3-4).
Ketiga agama yang meyakini satu Tuhan tersebut memiliki keyakinan yang sama dan nilai-nilai moral yang sama.Percaya kepada keberadaan dan keesaan Tuhan,malaikat, Nabi, Hari Akhir, Surga dan Neraka adalah ajaran pokok keimanan mereka. Di samping itu,pengorbanan diri,kerendahan hati, cinta, berlapang dada, sikap menghormati, kasih saying, kejujuran, menghindar dari berbuat dzalim dan tidak adil, serta berperilaku mengikuti suara hati nurani semuanya adalah sifat-sifat akhlak terpuji yang disepakati bersama. Jadi, karena ketiga agama ini berada pada pijakan yang sama,mereka wajib bekerja sama untuk menghapuskan permusuhan, peperangan dan penderitaan yang diakibatkan oleh ideologi-ideologi antiagama. Ketika dilihat dari sudut pandang ini, dialog antar-agama memegang peran yang jauh lebih penting. Sejumlah seminar dan konferensi yang mempertemukan para wakil dari agama-agama ini, serta pesanperdamaian dan persaudaraan yang dihasilkannya, terus berlanjut secara berkala sejak pertengahan tahun 1990-an.
AL-QUR’AN SEBAGAI SUMBER ISLAM
A. Fungsi Al-Qur’an
Menurut pendapat yang paling kuat, seperti yang di kemukakan oleh Subhi Shahih Al-qur’¬an berarti bacaan. la, merupakan kata turunan (mashdar) dari kata qara’a (fi’l madli) dengan arti ism al-maf ul yaitu maqru’ yang artinya artinya di baca ( Al-Qur’an dan terjemahannya, 1990: 15). Pengertian ini merujuk pada sifat Al-Qur’an (Q.S Al-Qiyamah [75]: 17-18) dalam ayat¬ tersebut, Allah berfirman:
” Scsungguhnya atas tanggungan kamil,111 111elIgUnipulkannya (di dadainu) dan (niettibunt kamu pandai) membacanya. Apabila kami telah telah selesai membacanya, maka ikutilah bacaan itu,” (Q.S Al-Qivamah [751:17-18).
Kata Al-Qur’an selanjutnya dipergunakan untuk menunjukkan kalam Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW (kalam Allah AL-Munazzah ila Nabi Muhammad SAW). Kalam Allah yang di wahyukan kepada nabi-nabi selain Nabi Muhammad SAW tidak di namai Al-Qur’an seperti Taurat yang di turunkan kepada Nabi Musa a.s, Zabor kepada Nabi Dawud a.s, dan Injil kepada Nabi Isa a.s.
Demikian fungsi Al-Qur’an yang diambil dari nama-namanya yang difirmankan Allah dalam Al-Qur’an. Sedangkan fungsi Al-Qur’an dari pengalaman dan penghayatan terhadap isinya bergantung pada kualitas ketakwaan fungsi individu yang bersangkutan. Karena bersifat personal, maka pengalaman tersebut hamper dipastikan berbeda-beda, meskipun persamaan-persamaan.
IJTIHAD SEBAGAI SUMBER AJARAN ISLAM
A. Jihad Sebagai Sumber Ajaran Islam
1. Pengertian Ijtihad
Ijtihad adalah sendi Islam yang ketiga, sesudah AI-Qur’an dan As-Sunnah. Menurut harfiah, ijtihad berasal dari kata ijtahada, artinya mencurahkan tenaga, memeras pikiran, berusaha sungguh-sungguh, bekerja semaksimal mungkin, Nicolas P. Aghides menyebut ijtihad itu sebagai ” The Exercise of Independent though ” ( penggunaan pendapat bebas ). Secara definisi umum adalah ” segala pekedaan yang mempergunakan segala kesanggupan daya rohaniyah untuk mengeluarkan hukum syara’, menyusun suatu pendapat dan suatu masalah hukum dasar Al-Qur’an dan Sunnah.”
2. Dasar-Dasar Ijtihad
Adapun yang menjadi dasar hukum ijtihad Al-Qur an dan Al-Sunnah. Diantara ayat AI-Qur’an yang menjadi dasar ijtihad adalah sebagai berikut.
” Sesungguhnya kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili anatara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang ( orang yang tidak bersalah ) karena ( membela ) orang-orang yang khianat. (Q.S AL-Nina 4 ; 105 )
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir ( Q.S Al-Rum: 21 )
Adapun unnah yang menjadi dasar ijtihad diantaranya oleh Imam Bukhari Muslim
dan Ahmad yang menyebutkan bahwa Nabi Muhammad bersabda :
Artinya : Apabila seorang hakim menetapkan hukum dengan berijtihad kemudian dia benar maka ia mendapatkan dua pahala. Akan tetapi jika la menetapkan hukum dalam ,ijtihad itu salah maka ia mendapatkan satu pahala. ( Muslim, H.tlh;62)
3. Syarat-syarat Mujtahid
Mujtahid adalah orang yang mampu melakukan ijtihad melalui cara istinbath mengeluarkankan hukum dari sumber hukum syariat dan tathoiq (penerapan hukum) Muhammad bin Ali Muhammad Al-Syaukani menyodorkan syarat-syarat mujtahid sebagai berikut:
1. Mengetahui Al-Qur’an dan Assunah yang tertalian dengan masalah, masalah hukum.
2. Mengetahui ijmah sehingga tidak berfatwa atau berpendapat yang menyalam ijmak utama.
3. Mengtahui bahasa arab karma Al-Quean dan As-Sunnah disusun dalam bahasa Arab
4. Mengetahui ilmu Ushul Fiqih
5. Wengetahui nasikh mansukh sehingga tidak berfatwa atau berpendapat berdasarkan dalil yang sudah mansukh.
B. ljtihad Sebagai Sumber Dinamika
Dengan ini umat islam dihadapkan kepada jumlah peristiwa kekinian yang menyangkut berbagai aspek kehidupan. Peristiwa-peristiwa itu memerlukan penyelesaian yang seksama. lebih-lebih untuk kasus yang tidak tegas di tunjuk oleh nas. Dibalik itu, kata Roter Garaudy yang dikutip oleh Jalaluddin Rakhmat ( 1989:39 ).
Tantangan umat sekarang ada dua macam, taklid kepada barat dan taklid kepada masa lalu. Taklid pertama muncul karena ketidakmampuan dalam membedakan antara medernisasi dan cara hidup barat sedangkan taklid model kedua muncul karena ketidakmampuan dalam membedakan antara syariat yang merupakan wahyu dan pandangan fuqaha masa lalu tentang syariat itu.
Melalui persoalan-persoalan di atas. umat islam dituntut untuk keluar dari kemelut itu, ljtihad menjadi sangat penting meskipun tidak biasa dilakukan oleh setiap orang. Adapun kepentingannya itu disebabkan oleh hal-hal berikut :
Ø Jarak antara kita dengan masa tarsi’ semakin jauh
Ø Syariat disampaikan dalam Al-Qur’an dan Sunnah secara konprehensip
ljtihad diperlukan untuk menumbuhkan kembali ruh ISlam yang dinamis menerobos kejemuhan dan kebekuan, memperoleh menfaat yang sebesar-besarnya dari ajaran islam, mencari pemecahan islami untuk masalah-masalah kehidupan kontemporer, ljtihad juga adalah saksi bagi keunggulan Islam atas agama-agama lainnya. ( Ya’lu wa la yula’alaih)
C. jtihad Sebagai Pembentuk Kebudayzan Islam
Tentang ljtihad, Dr. Muhainmad iqbal berkata ; “is the principle of momvement in the structure of islam” ( ljtihad itu merupakan prinsip gerakan di dalam stuktur Islam ). Ijtihad dalam rumusan lain ialah ” mengerahkan cipta, rasa dan karsa untuk menghasilkan suatu kreasi.
Ijtihad itulah yang menjadi kerakterisak manusia, merupakan keistimewaan yang membedakan dan manusia dari makhluk-makhluk lainnya di dunia ini. ljtihad yang merupaka, daya cipta manusia harta dimanfaatkan sebagai kekuatan dalam hidup dan kehidupan di humi. Maka dengan Ijtihadlah manusia dapat rnempelajari, Menganalisa dan mengeksploitis rahasia-rahasia alam.
Dimensi-Dimensi Dan Ritual Serta Insitusi
Dalam Islam
A. Dimensi-Dimensi Islam : Islam, Iman dan Ihsan
Dimensi Islam yang dimaksud disini adalah tentang sisi keislaman seseorang, yaitu iman, dan ihsan. Dimensi Islam berawal dari sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Imam Muslim dalam masing-Masing kitab shahihnya. Nurkholish Majid menyebutnya sebagai trilogy ajaran Ilahi.
Artinya :
“Nabi Muhammad SAW keluar dan (berada di sekitar sahabat) seseorang, datang menghadap beliau dun bertanya : “Hai Rasul Allah. apakah yang dimaksud dengan Iman? Beliau menjawab : “Iman engkau, percayaa kepada Allah, Malaikai-Nya. Kitabnya, pertenman denga-Nya pura utusan-Nya dan percaya kepada kebangkitan. Laki-laki itu kemudian bertanya lagi “apakah yang dimaksud dengan islam? Beliau inenjawah : “Islam adalah engkau menyembah Allah dan tidak musryik kepada-Nya engkau tegakkan sholat yang wajib dan engkau berpuasa pada bulan ramadhan”. Laki-laki itu kemudian bertaya lagi “ apakah yang dimaksud dengan ihsan? ” Nabi Muhammad SAW menjawab “Engkau sembah Tuhan seolah-olah engkau melihat-Nya apabila engkau tidak melihat-Nya maka(engkau berkeyakinan) bahwa Dia melihatmu. ‘ (HR. Bukhari dan Muslim).
Dari hadits di atas dapat diambil simpulan bahwa iman, islam, dan ihsan dapat di bedakan tetapi tidak dapat dipisahkan. Antar satu dengan lainnya memiliki keterikatan. Setiap pemeluk agama Islam mengetahui dengan pasti bahwa Islam tidak abash tanpa Iman dan iman tidak sempurna tanpa ihsan. Sebaliknya, ihsan mustahil tanpa iman, dan iman juga mustahil tanpa islam.
Ibnu Taimiah nenjelaskan bahwa din itu terdiri dari tiga unsur, yaitu islam, iman. dan ihsan. Dalam tiga unsur tersebut terselip makna tingkatan orang mulai dengan islam, kemudian berkembang kearah iman, dan memuncak dalam ihsan.
Imam Al-Syahrastani (t.th: 40-1) dalam kitabnya Al-Afinal wa At-Nihal Menjelaskan bahwa islam adalah menyerahkan diri secara lahir. Oleh karena itu, baik mukmin maupun munafik adalah muslim. Sedangkan iman adalah pembenaran terhadap Allah, para utusan-Nya. kitab-kitab-Nya, hari kiamat dan menerima Qadla dan qadar. Integrasi antara islam dan iman adalah kesempurnaan (aL-kamal). Atas dasar penjelasan tersebut Al-Syahrastani juga menunjukkan bahwa islam adalah mabda’ (pemula). Iman adalah wasath (menengah), dan ihsan adalah al-kamal (kesempurnaan).
11. Aliran-Aliran dalam Islam
Ø Syari’ah
Kata syariah adalah bahasa Arab yang diambil dari rumpun kata syara’ah. Dalam hahasa Indonesia artinya jalan raya. Kemudian bermakna jalannya hukum. Dengan kata lain jalannya perundang-undangan. Karena itu pula dalam istilah istilah Syariah Islam” adah memberi arti hidup yang harus dilalui atau undang-undang yanh harus dipatuhi oleh orang Islam
Seluruh hukum dan perundang-undangan yang terdapat dalam islam baik yang berhubungan dengan manusia dan Tuhan maupun antara manusia itu sendiri adalah Syari’ah islam dan segala hukum yang diciptakan oleh manusia sendiri adalah syari’ah buatan manusia.
Berdasarkan doktrin Islam, syari’ah itu dari Allah. Oleh karena itu sumber syari’ah ialah datangnya dari Allah, yang disampaikan Allah kepada manusia dengan perantaraan Rasul-Nya yang termaktub dalam kitab Al-Qur’an. Arti syari’ah juga telah dijelaskan dalam Al-Qur’an sehingga dengan demikian kita dapat menentukan langsung makanya yang asli. Firman Allah :
Artinya :
“Kemudian Kami jadikan engkau (Muhammad) menjalan. syariah (hukum) dalam seliap urusan, maka turutilah ketentuan itu dan janganlah turuti keinginan orang-orang yang tidak tabu (Al-jatsiah : 18)
Oleh karena syaria’ah itu adalah hukum Allah dan perundang-undangan dari Tuhan yang Maha Sempuma maka pasti pula hukum dan perundang-undangan-Nya sempurna pula. Pencipta perundang-undangan tersebut berkehendak agar manusia teratur tertib dalam kehidupannya dan tidak lain semata-mata hanyalah untuk kebahagiaan lahir dan batin manusia.
Adapun asas-asas svari’ah sebagai berikut
1. Tidak memberatkan Sesuai dengan missi Islam sebagai rahmat bagi manusia, maka Islam datang untuk membebaskan manusia dari segala hal yang memberatkan dan mengacaukan hidupnya. Manusia adalah makhluk dhai’if (lemah). memiliki kadar kemampuan yang terbatas. Sebab itu hukum Tuhan tidak akan memaksa manusia sampai melampaui batas kemempuannya
“Allah tidak membehani seseorang melainkan sesuai dengan kiemampuannya (AI-Baqarah: 286)
“Allah tidak menciptakan dalam islam itu suatu kesulitan ” (Al-Haj:78)
2. Sangat sedikit mengadakan kewajiban secara terperinci yaitu perintah dan larangan. Perintah-perintah dan larangan-larangan itu sangat sedikit sehubungan dengan perinsip pertama, karena banyak kewajiban berarti memberi beban dan memberatkan manusia. Maka hal-hal yang tidak disebut itulah menjadi mubah (boleh). Firman Allah SWT :
Artinya :”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu Tanya hal-hal yang jika diterangkan kepada kamu, menyusahkan kamu ” (At-Amaidah : 101)
3. Syari’ah datang dengan prinsip graduasi (berangsuran, secara sukaligus. Contohnya saja tentang masalah judi dan minum khamar, pekerjaan tersebut tidak dilarang sekaligus. Pertama kali Al-Qur’an menerangkan bahwa judi dan khamar itu mempunyai bahaya dan manfaat bagi manusia. hanya saja bahayanya lebih besar daripada manfaatnya (Al-¬Baqarah: 219). Kemudian dalam tahap kedua al-qur’an melarang orang melakukan shalat dalam keadaan mabuk (An-Nisa: 43) kemudian ,Al-Qur’an menetapkan voniss atas perbuatan itu. bahwa khamar dan Judi hukumnya haram. permainan syetan (Al-Maidah : 90)
Ø Tariqah
Thariqat menurut bahasa artinya jalan. cara. garis. kedudukan. keyakinan dan agama. Kamus “Modern Dictionary Arabic – English oleh El Elias Anthon dan Edward Elias, edisi IX. Kairo, tahun 1954 menyatakan bahwa thariqat ialah way (cara atau jalan). Method dan sistem of belief (methoda dan suatu sistem kepercayaan. Firman Allah SWT
Artinya :
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan melakukan kezdalimam Allah sekali-kali tidak akan mengampuni (dosa) mereka dan tidak (pula) akan menunjukkanjalan kepada mereka (An-Nisa: 168)
Artinya:
“Melainkan jalan ke neraka Jahannam, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Dan yang demikian itu adalah mudah bagi Allah”. (An-Nisa: 169)
Tharikat Nabi SAW yang diikuti oleh sahabat-sahabatnya dan diikuti pula oleh ulama-ulama syara’ dan tasawuf ialah mengamalkan hukum yang yang dibawa Rasul yang sekalian yang wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah.
Maka kewajiban yang mula-mula ialah mengetahui I’tikad terhadap Tuhan dan Rasul yang diterangkan dalam ilmu Tauhid. Kemudian mengetahui peraturan amalan yang berhubungan dengan ibadat yang diterangkan dalam ilmu Fiqih. Dan seterusnya mempelajari ilmu untuk membersihkan hati yang diterangkan dalam ilmu tasawuf.
Orang-orang yang mengamalkan ilmu yang tiga itu. menurut Ahmad Khatib ialah yang dinamakan mengamalkan thariqat Nabi SAW. thariqat sahabat ulama dan wali-wali
Ø Sufisme
beberapa defenisi dari kata sufi diantaranya:
1) Sebagian berkata para Sufi diberi nama sufi karena kesucian (safa’) hati mereka dan kebersihan tindakan mereka (athar) Bishr bin Al-Harith berkata: “Sufi adalah orang yang hatinya tulus kepada Allah. Tapi bila istilah sufi berasal dari Sala’ bentuk yang tepat seharsnya adalah safawi dan bukan Sufi.
2) Yang, lain berkata:”disebt Sufi karena mereka berada di baris pertama (saff) di depan Allah. melalui pengagkatan keinginan mereka kepadanya dan tetapnya kerahasiaan mereka di hadapan-Nya. Tapi bila istilah sufi mengacu kepada saff (tingkatan) maka seharusnya saffi dan bukan sufi.
3) Yang lain berkata : “Mereka disebut kaum sufi karena sifat-sifat mereka menyerupai orang-orang yang hidup pada masa Rasul. Tapi apabila istilah sufi diartikan suffah bentuk yang benar adalah suffi bukan sufi.
4) Terakhir adalah anggapan bahwa mereka disebut sufi karena kebiasaan mereka memakai suf (wol), karena mereka tidak memakai pakaian yang halus disentuh dan indah dilihat, untuk menyenangkan jiwa. Mereka memakai pakaian hanya untuk menutupi ketelanjangan mereka dengan bahan yang terbuat dari kain bulu dan wol kasar.
Bila sepintas anda melihat defenisi dari sufisme yang dinyatakan oleh orang sufi sendiri anda akan banyak mendapat keterangan tentang mereka. Tapi intisari dari beberapa defenisi ini dapat ditampilkan dengan defenisi yang dirimiskan Syaikh Al-Islamzakariyah Ansari: “Tasawuf mengajarka cara untuk menyucikan diri, meningkatkan moral dan membangun kehidupan jasmani dan rohani guna mencapai kebahagiaan abadi. Unsur utama tasawuf adalah panyucian jiwa, dan tujuan akhirnya adalah tercapainya kebahagiaan dan keselamatan abadi.
C. Ritual dan Istitusi Dalam Islam
Pembahasan tentang tema ini dibagi menjadi dua. yaitu : ritual dan intitusi.
1. Ritual Dalam Pcr%pektif Sosioligi
Semua agama mengenai ritual karena setiap agama memiliki ajaran tentang, hal yang sacral. Salah satu tujuan pelaksanaan ritual adalah penieliaharazin dan Pelestarian kesakralan. Disamping itu, ritual meruapakan tindakan yang memperkokoh hubungan pelaku dengan objek yang suci dan memperkuat solidaritas kelompok yang menimbulkan rasa aman dan kuat mental. Dan kesemuanya itu dilakukan berdasarkan kepercayaan.
Dalam analisasi Djamari (1993:36) ritual ditinjau dari dua segi : tujuan (makna) dan cara. Dari segi tujuan, ada ritual yang tujuannya untuk bersyukur kepada Tuhan, ada ritual yang bertujuan mendekatkan diri kepada Tuhan agar mendapat keselamatan dan rahmat dan ada juga tujuannya untuk meminta ampun atas kesalahan pang dilakukan.
Adapun dari segi Cara, ritual dapat dibedakan menjadi dua : individual dan kolektif. Sebagian ritual dilakukan secara perorangan, bahkan ada yang dilakukan dengan mengisolasi diri dari keramaian, seperti meditasi, betapa dan yoga. Ada pula ritual yang dilakukan secara kolektif (umum), seperti khotbah, shalat berjama’ah dan haji.
George Homans menyatakan ritual berawal dari kecemasan. Dan ia menjelaskan bahwa kecemasan primer dan kecemasan sekunder melahirkan ritual sekunder.
2. Ritual Islam
Ritual dalam islam dapat dibedakan menjadi 2: ritual yang berdalilkan melalui al¬qur’an dan hadits dan ritual yang tidak memiliki dalil dari al-qur’an dan hadits. Ritual ditinjau dari segi tingkatan : primer, sukunder dan tertier.
Dari sudut mukallaf, ritual Islam dapat dibedakan menjadi dua: ritual yang diwajibkan kepada setiap orang dan ritual yang diwajibkan pada setiap individu tetapi dapat diwakilkan. Sedangkan dilihat dari segi tujuan. ritual dapat dibedakan menjadi 2 pula: yaitu ritual yang bertujuan untuk mendapatkan ridha Allah yang bersifat ukhrowi jam ritual yang bertujuan mendapatkan balasan di dunia. seperti shalat istisqa yang dilaksanakan untuk meminta turunnya hujan.
Demikian ritual islam dikaji dari berbagai aspek dan segi. Kajian tersebut pada dasarnya dapat dilakukan secara bervariasi sehingga tidak mungkin untuk menutupi perbedaan antara satu dengan lainnya. Oleh karena itu, penempatan satu ritual pada posisi tertentu bias berbeda-beda, karena ajaran dasar agama kita tidak menyebutnya secara eksplisit.
3. Institusi
Dalam bahasa Inggris dijumpai dua istilah yang mengacu kepada pengertian institusi (lembaga), yaitu institute dan institution. Istilah pertama menekankan istilah institusi sebagai sarana atau organisasi untuk mencapai tujuan tertentu, sedangkan istilah kedua menekankan istilah institusi sebagai suatu system norma untuk memenuhi kebutuhan (Muhammad Daud Ali dan Habibah Daud, 1995:1).
Pengertian-pengertian sosial institution yang lain dikutip oleh Soerjono Soekanto, (1987:179) adalah sebagai berikut :
• Menurut Robert Mac Ivey Charles H. Page, so:aal institution ialah tata Cara atau prosedur yang telah diciptakan, untuk mengatur manusia yang berkelompok dalam satu kelompok kemasyarakatan.
• I loward Becker mengartikan sosial institution dari sudut fungsinya. Menurutnya ia merupakan jaringan dari proses hubungan antar manusia dan antar kelompok manusia yang berfungsi meraih dan memelihara kebutuhan hidup mereka.
• Sumner melihat sosial institution dari segi kebudayaan. Menurutnya sosial institution adalah perbuatan, cita-cita, sikap dan perlengkapan kebudayaan yang mempunyai sifat kekal yang bertujuan memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat.
Ada beberapa fungsi dari unsur-unsur institusi, diantaranya :
• Memberikan pedoman pada masyarakat dalam upaya melakukan pengendalian sosial berdasarkan system tertentu,yaitu system pengawasan tingkah laku
• Menjaga stabilitas dan keamanan masyarakat
• Memberikan pedoman kepada masyarakat tentang norma tingkah laku yang seharusnya dilakukan dalam memenuhi kebutuhan mereka.
Berdasarkan fungsi-fungsi institusi yang di ungkapkan di atas,seorang peneliti yang bermaksud mengadakan penelitian tingkah laku masyarakat selayaknya memperhatikan secara cermat institusi-institusi yang ada dalam masyarakat yang bersangkutan.
ISLAM DAN KEMANUSIAAN
1. Pengertian Agama Islam
Ada dua sisi yang dapat kita gunakan untuk memahami pengertian agama Islam, yaitu sisi kebahasaan dan sisi peristilahan. Kedua sisi pengertian tentang Islam ini dapat dijelaskan sebagai berikut.
Dari segi kebahasaan Islam berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata salima yang mengandung arti selamat, dan damai. Dari kata salima selanjutnya diubah menjadi bentuk aslama yang berarti berserah diri masuk dalam kedamaian.\
Senada, dengan pendapat di atas, cumber lain mengatakan bahwa Islam berasal dari bahasa Arab, terambil dari kata salima yang berarti selamat sentosa. Dari asal kata itu terbentuk kata aslama yang artinya memelihara dalam keadaan selamat sentosa dan berarti pula menyerahkan diri, tunduk, patuh dan taat. Kata aslama itulah yang menjaclikan kata Islam yang mengandung patuh, dan taat. Kate aslama itulah yang menjadikan kata Islam yang mengandung arti segala arti yang terkandung dalam arti pokoknya. Oleh sebab itu, orang yang berserah diri, patuh, dan taat disebut sebagai orang Muslim. Orang yang demikian berarti telah menyatakan dirinya taat, menyerhkan diri, dan patuh kepada Allah Swt. Orang tersebut selanjutnya akan dijamin keselamatannya di clunia, dan di akhirat.
Dari pengertian kebahasaan ini, kata Islam dekat dengan arti kata agama yang berarti menguasai, menundukkan, patuh, hutang, balasan, dan kebiasaan. Senada dengan itu.Nurcholis Madjid berpendapat bahwa sikap pasrah kepada Tuhan merupakan hakikat dari pengertian Islam. Sikap ini tidak saja merupakan ajaran Tuhan kepada hamba-Nya. Tetapi ia diajarkan oleh-Nya dengan disangkutkan kepada alam, manusia itu sendiri. Dengan kata lain ia diajarkan sebagai pemenuhan alam manusia, sehingga pertumbuhan perwujudannya pads manusia selalu bersifat dari dalam, tidak tumbuh, spa lagi dipaksakan dari luar, karena cars yang demikian menyebabkan Islam tidak otentik, karena kehilangan dimensinya yang paling mendasar dan mendalam, yaitu kemurniaan dan keikhlasan.
Dengan pendapatnya yang demikian itu, Nurcholis Madjid kelihatannya ingin mengajak pembaca untuk memahami Islam dari sisi manusia sebagia makhluk yang sejak dalam kandungannya sudah menyatakan kepatuhan dan ketundukan kepada Tuhan, sebagaimana yang demikian itu telah diisyaratkan dalam Surat Al-A’raf ayat 172 tentang kebutuhan rnanusia pads agama.
Pengertian Islam demikian itu, menurut Maulana Muhammad Ali dapat dipahami dari firman Allah yang terdapat pads ayat 2002 surat Al¬Baclarah yang artinya, hai orang-orang yang beriman, masuki.lah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turuti langkah¬langkah syaitan, sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu. Dan juga dapat dipahami dari ayat 61 surat Al-Anfal yang artinya: dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Tuhan Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Dari uraian di atas, kita sampai pads suatu kesimpulan bahwa kata Islam dari segi kebahasaan mengandung arti patuh, tunduk, taat, dan berserah diri kepada Tuhan dalam upaya mencari keselamatan dan kebahagiaan hidup, baik di dunia maupun di akhirat. Hal demikian dilakukan atas kesadaran dan kemauan diri sendiri, bukan paksaan atau berpura-pura, melainkan sebagia panggilan dari fitrah dirinya sebagai makhluk yang sejak dalam kandungan sudah menyatakan patuh dan tunduk kepada Tuhan.
Dengan demikian, secara antropologi perkataan Islam sudah menggambarkan kodrat manusia sebagai makhluk yang tunduk dan patuh kepada Tuhan. Keadaan ini membawa pads timbulnya pemahaman terhadap orang yang tidak patuh dan tunduk sebagai wujud dari penolakan terhadap fitrah dirinya sendiri. Demikianlah pengertian Islam dari segi kebahasaan sepanjang yang dapat kita pahami dari berbagai cumber yang dikemukakan pars ahli.
Adapun pengertian Islam dari segi istilah akan kita dapati rumusan yang berbeda-beda. Harun Nasution misalnya mengatakan bahwa Islam menurut istilah (Islam sebagai agama), adalah agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Tuhan kepada masyarakat manusia. melalui Nabi Muhammad saw. Sebagai Rasul. Islam pads hakikatnya membawa ajaran-ajaran yang bukan hanya mengenal satu segi, tetapi mengenai berbagai segi dari kehidupan manusia.
Sementara itu Maulana Muhammad Ali, mengatakan bahwa Islam adalah agama perdamaian, dan dua ajaran pokoknya, yaitu keesaan Allah dan kesatuan atau persaudaraan umat manusia menjadi bukti nyata, bahwa agama¬agama seluruh nabi Allah, sebagaimana tersebut pads beberapa ayat kitab suci Al-Qur’an, melainkan pula pads segala sesuatu yang secara tak sadar tunduk sepenuhnya kepada undang-undang Allah, yang kita saksikan pads alam semesta.
2. Peranan Manusia Sebagai Khalifah
Ajaran Islam tentang manusia samasekali berbeda dengan agama¬agama lainnya. Manusia diperkenalkannya dengan men.ielaskan fungsinya di dunia ini. Manusia itu adalah khalifah Allah di bumi. Makhluk yang bertuga mengurus bumi dengan seluruh isinya, dan berkewajiban memakmurkannya sebagai amanah dari Allah Swt.

Taufik (Piu) Hidayat

Imam Qira'ah Sab'ah

-->
QIRAAT AL QURAN DAN PARA AHLINYA
Oleh: Piu Taufik Hidayat

Qiraat adalah jamak dari qiraah, yang berarti bacaan , dan ia adalah masdar (verbal noun) dari qaraa. Menurut istilah ilmiah, qiraat adalah salah satu mazhab (aliran) pengucapan Quran yang dipilih oleh salah seorang imam ahli qiaraat sebagai suatu mazhab yang berbeda dengan mazhab lainnya.

Qiraat ini ditetapkan berdasarkan sanad-sanadnya sampai kepada Rasulullah. Periode qurra (ahli atau imam qiraat) yang mengajarkan bacaan Quran kepada orang-orang menurut cara mereka masing-masing adalah dengan berpedoman kepada masa para sahabat. Diantara para sahabat yang terkenal mengajar qiraat ialah Ubai ra, Ali bin Abi Thalib ra, Zaid ra, Ibn Masud ra dan Abu Musa al Ansary ra serta masih banyak lagi yang lainnya. Dari mereka itulah sebagian besar sahabat dan tabi`in di berbagai negeri belajar qiraat. Mereka itu semuanya bersandar kepada Rasulullah.

Az Zahabi menyebutkan di dalam kitab Tabaqatul Qurra, bahwa sahabat yang terkenal sebagai guru dan ahli qiraat Quran ada tujuh orang, yaitu :

1. ‘Usman bin Al-`Affan ra
2. Ali bin Abi Thalib ra
3. Ubai bin Kaab ra
4. Zaid bin Haritsah ra
5. Abu Darda ra
6. Abu Musa al Anshary ra.
7. Ibnu Mas`ud ra.

Lebih lanjut ia menjelaskan, segolongan besar sahabat mempelajari qiraat dari Ubai, diantaranya Abu Hurairah, Ibn Abbas, dan Abdullah bin Sa`id, Ibn Abbas belajar pula kepada Zaid. Kemudian kepada para sahabat itulah sejumlah besar tabi in disetiap negri mempelajari qiraat.

Diantara para tabi’in tersebut ada yang tinggal di Madinah yaitu Ibnul Musayyab, Urwah, Salim, Umar bin Abdul Aziz, Sulaiman dan Ata (keduanya putra Yasar), Muaz bin Haris yang terkenal dengan Muaz al Qari , Abdurrahman bin Hurmuz al Araj, Ibn Syihab az Zuhri, Muslim bin Jundab dan Zaid bin Aslam.

Yang tinggal di Mekkah ialah : Ubaid bin Umar, Ata , bin Abu Rabah, Tawus, Mujahid, Ikrimah dan Ibn Abu Malikah.

Tabi’in yang tinggal di Kuffah ialah : Alqamah, al Aswad, Masruq, Ubaidah, Amr, bin Syurahbil, al Haris bin Qais, Amr bin Maimun, Abu abdurahman as Sulami, Said bin Jubair, an Nakha’i, dan as Sya’bi.

Yang tinggal di Basyrah ialah : Abu Aliyah, Abu Raja , Nasr bin Asim, Yahya bin Ya’mar, al Hasan, Ibn Sirin dan Qatadah.

Sedang yang tinggal di Syam ialah : al Mughirah bin Abu Syihab al Makhzumi-murid Usman, dan Khalifah bin Sa’d (sahabat Abu Darda) .

Pada permulaan abad pertama Hijrah dimasa tabi’in, tampilah sejumlah ulama yang membulatkan tenaga dan perhatiannya terhadap masalah qiraat secara sempurna karena keadaan menuntut demikian, dan menjadikannya sebagai suatu disiplin ilmu yang berdiri sendiri sebagaimana mereka lakukan terhadap ilmu-ilmu syariat yang lainnya, sehingga mereka menjadi imam dan ahli qiraat yang diikuti dan dipercaya. Bahkan dari generasi ini dan generasi sesudahnya terdapat tujuh orang terkenal sebagai imam yang kepada mereka dihubungkanlah (dinisbahkanlah) qiraat hingga sekarang ini.

Para qiraat tersebut di madinah ialah : Abu Ja far Yazid bin Qa qa , kemudian Nafi bin Abdurrahman, ahli qiraat di mekkah ialah : Abdullah bin Kasir dan Humaid bin Qais al Araj. Di Kufah ialah : Asim bin Abu Najud, Sulaiman al A’masy, kemudian Hamzah dan kemudian al Kisai. Di Basrah ialah : Abdullah bin Abu Ishaq,, Isa Ibn Amr, , Abu Amar Ala , Asim al Jahdari dan Ya’kub al Hadrami. Dan di Syam ialah : Abdullah bin Amir, Ismail bin Abdullah bin Muhajir, kemudian Yahya bin Haris dan kemudian Syuraih bin Yazid al Hadrami.

Ketujuh orang yang terkenal sebagai ahli qiraat diseluruh dunia diantara nama-nama tersebut ialah Abu Amr, Nafi , Asim, Hamzah, al Kisa I, Ibn Amir dan Ibn Kasir.

Qiraat-qiraat itu bukanlah tujuh huruf- sebagaimana yang dimaksudkan dalam hadis pada bab diatas menurut pendapat yang paling kuat. Meskipun kesamaan bilangan diantara keduanya mengesankan demikian. Sebab qiraat-qiraat hanya merupakan madzhab bacaan quran para imam, yang secara ijma masih tetap exis dan digunakan umat hingga kini. Dan sumbernya adalah perbedaan langgam, cara pengucapan dan sifatnya, seperti : tafkhim, tarqiq, imalah, idgham, izhar, isyba , madd, qasr, tasydid, takhfif dan lain sebagainya. Namun semuanya itu hanya berkisar dalam satu huruf, yaitu huruf quraisy.

Sedangkan maksud tujuh huruf adalah berbeda dengan qiraat, seperti yang telah kita jelaskan. Dan persoalannya sudah berakhir sampai pada pembacaan terakhir ( al Urdah al Akhirah), yaitu ketika wilayah expansi bertambah luas dan ikhtilaf tentang huruf-huruf itu menjadi kekhawatiran bagi timbulnya fitnah dan kerusakan, sehingga para sahabat pada masa Usman terdorong untuk mempersatukan umat islam pada satu huruf, yaitu huruf quraisy, dan menuliskan mushaf-mushaf dengan huruf tersebut sebagaimana telah kita jelaskan.

Popularitas Tujuh Imam Qiraat Imam atau guru qiraat itu cukup banyak jumlahnya, namun yang populer hanya tujuh orang. Qiraat tujuh orang imam ini adalah qiraat yang telah disepakati. Akan tetapi disamping itu para ulama memilih pula tiga orang imam qiraat yang qiraatnya dipandang sahih dan mutawatir. Mereka adalah Abu Ja far Yazin bin Qa qa al Madani, Ya kub Bin Ishaq al Hadrami dan Khalaf bin Hisyam. Ketiga imam terakhir ini dan tujuh imam diatas dikenal dengan imam qiraat. Dan qiraat diluar yang sepuluh ini dipandang qiraat syaz. Seperti qiraat Yazidi, Hasan, A masy, Ibn Jubair dan lain-lain. Meskipun demikian, bukan berarti tidak satupun dari qiraat sepuluh dan bahkan qiraat tujuh yang masyhur itu terlepas dari kesyazan, sebab didalam qiraat-qiraat tersebut masih terdapat juga beberapa kesyazan sekalipun hanya sedikit.

Pemilihan qurra (ahli qiraat) yang tujuh itu dilakukan oleh para ulama terkemudian pada abad ketiga hijriah. Bila tidak demikian maka sebenarnya para imam yang dapat mempertanggungjawabkan ilmunya itu cukup banyak jumlahnya. Pada abad permulaan kedua umat islam di Basrah memilih qiraat Ibn Amr dan Ya kub; di Kufah orang-orang memilih qiraat Hamzah dan Asim; di Syam mereka memilih qiraat Ibn Amir; di Mekkah mereka memilih qiraat Ibn Kasir, dan di madinah memilih qiraat Nafi .
Mereka itulah tujuh orang qari, tetapi pada permulaan abad ke tiga Abu Bakar bin Mujahid menetapkan nama al Kisa I dan membuang nama Ya’kub dari kelompok tujuh huruf tersebut.

Berkata as Suyuti : Orang pertama yang menyusun kitab tentang qiraat ialah Abu Ubaid al Qasim bin Salam, kemudian Ahmad bin Jubair al Kufi, kemudian Ismail bin Ishaq al Maliki, murid Qalun, kemudian Abu Ja far bin Jarir at Tabari, kemudian Abu Bakar Muhammad bin Ahmad bin Umar ad Dajuni. Kemudian Abu Bakar bin Mujahid. Kemudian pada masa Ibn Mujahid ini dan sesudahnya, tampulah para ahli yang menyusun buku mengenai berbagai macam qiraat, baik yang mencakup qiraat maupun tidak, secara singkat maupun panjang lebar. Imam-imam qiraat itu sebenarnya tidak terhitung jumlahnya. Hafizul islam Abu Abdullah Az Zahabi telah mentusun tabaqat (sejarah hidup) mereka, kemudian diikuti pula oleh Hafizul Qurra Abul Khair bin Jaziri.

Imam Ibn Jaziri didalam an Nasyr mengemukakan, Imam pertama yang dipandang telah menghimpun bermacam-macam qiraat dalam satu kitab adalah Abu Ubaid al Qasim Ibn Salam. Menurut perhitunganku, ia mengumpulkan dua puluh lima orang ulama ahli qiraat selain yang tujuh itu. Ia wafat pada 224. kemudian al Jaziri mengatakan pula, sesudah itu, Abu Bakar Ahmad bin Musa bin Abbas bin Mujahid merupakan orang pertama yang membatasi hanya pada qiraat tujuh imam saja. Ia wafat pada 324. selanjutnya ia mengatakan, kami mendapat berita dari sebagian orang yang tidak berpengetahuan bahwa qiraat yang benar ialah qiraat-qiraat yang berasal dari tujuh imam. Bahkan dalam pandangan sebagian besar orang yang jahil, qiraat-qiraat yang benar itu hanyalah yang terdapat didalam asy- Syatibiyyah dan at-Taisir.

Sebab-sebab mengapa hanya tujuh imam qiraat saja yang masyhur pada hal masih banyak imam-imam qirat lain yang lebih tinggi kedudukannya atau setingkat dengan mereka dan jumlahnya pun lebih dari tujuh, ialah karena sangat banyaknya periwayat qiraat mereka. Ketika semangat dan perhatian para generasi sesudahnya menurun, mereka lalu berupaya untuk membatasi hanya pada qiraat yang sesuai dengan khat mushaf serta dapat mempermudah penghafalan dan pen-dabi-tan qiraatnya. Langkah yang ditempuh generasi penerus ini ialah memperhatikan siapa diantara ahli qiraat itu yang lebih populer kredibilitas dan amanahnya, lamanya waktu dalam menekuni qiraat dan adanya kesepakatn untuk diambil serta dikembangkan qiraatnya. Kemudian dari setiap negeri dipilihlah seorang imam. Tetapi tanpa mengabaikan penukilan qiraat imam diluar yang tujuh orang itu, seperti qiraat Ya kub al Hadrami, Abu Ja far al Madani, Syaibah bin Nassa dan sebagainya.

Para penulis kitab tentang qiraat telah memberikan andil besar dalam membatasi qiraat pada jumlah tertentu, sebab pembatasannya pada sejumlah imam qiraat tertentu tersebut, merupakan faktor bagi popularitas mereka padahal masih banyak qari-qari lain yang lebih tinggi kedudukannya dari mereka. Dan ini menyebabkan orang menyangka bahwa para qari yang qiraat-qiraatnya dituliskan itulah imam-imam qiraat terpercaya. Ibn Jabr al Makki telah menyusun sebuah kitab tentang qiraat, yang hanya membatasi hanya pada lima orang qari saja. Ia memilih seorang Imam dari setiap negeri, dengan pertimbangan bahwa mushaf yang dikirimkan Usman kenegeri-negeri itu hanya lima buah. Sementara itu seebuah pendapat mengatakan bahwa Usman mengirimkan tujuh buah mushaf; lima buah seperti ditulis oleh al makki ditambah satu mushaf ke Yaman dan satu mushaf lagi ke Bahrain. Akan tetapi kedua mushaf terakhir ini tidak terdengar kabar beritanya. Kemudian Ibn Mujahid dan lainnya berusaha untuk menjaga bilangan mushaf yang disebarkan Usman tersebut. Maka dari mushaf Bahrain dan mushaf Bahrain itu mereka mencantumkan pula ahli qiraatnya untuk menyempurnakan jumlah bilangan (tujuh). Oleh karena itu, para ulama berpendapat bahwa berpegang pada qiraat tujuh ahli qiraat itu, tanpa yang lain, tidaklah berdasarkan pada atsar maupun sunah.sebab jumlah itu hanyalah hasil usaha pengumpulan oleh beberapa orang terkemudian, yang kemudian kumpulan tersebut tersebar luas. Seandainya Ibn Mujahid menuliskan pula qari itupun akan terkenal pula. Abu Bakar Ibnul Arabi berkata :
Penentuan ketujuh orang qari ini tidak dimaksudkan bahwa qiraat yang boleh dibaca itu hanya terbatas tujuh sehingga qiraat yang lainnya tidak boleh dipakai, seperti qiraat Abu Ja’fa, Syaibah, al A masyi dan lain-lain. Karena para qari ini pun kedudukannya sama dengan tujuh atau bahkan lebih tinggi, pendapat ini dikatakan pula oleh banyak ahli qiraat lainnya.

Abu Hayyan berkata : Dalam kitab karya Ibn Mujahid dan orang yang mengikutinya sebenarnya tidak terdapat qiraat yang masyhur, kecuali sedikit sekali. Sebagai misal Abu Amr Ibnul Ala, ia terkenal mempunyai tujuh belas perawi kemudian disebutkanlah nama-nama mereka itu. Tetapi dalam kitab Ibn Mujahid hanya disebutkan al Yazidi, dan dari al Yazidi inipun diriwayatkan oleh sepuluh orang perawi. Maka bagaimana ia dapat merasa cukup dengan hanya menyebutkan as Susi dan ad Dauri, padahal keduanya tidak mempunyai kelebihan apa-apa dari yang lain? Sedang para perawi itu sama dalam tingkat ke-dabit-an, keahlian dan kesetaraannya untuk diambil. Dan katanya pula: aku tidak mengetahui alasan sikap Ibn Mujahid ini selain dari kurangnya ilmu pengetahuan yang dimilikinya,

Macam-macam Qiraat, Hukum dan Kaidahnya Sebagian ulama menyebutkan bahwa qiraat itu ada yang mutawatir, ahad dan syaz. Menurut mereka, qiraat mutawatir ialah qiraat yang tujuh, sedang qiraat ahad ialah tiga qiraat yang menggenapkannya menjadi sepuluh qiraat ditambah qiraat para sahabat, dan selain itu adalah qiraat syaz. Dikatakan, bahwa qiraat yang sepuluh adalah dalam hal ini baik dalam qiraat yang termasuk qiraat tujuh, qiraat sepuluh maupun lainnya adalah dabit atau kaidah tentang qiraat yang sahih. Abu Syamah dalam al Mursyidul Wajiz mengungkapkan, tidak sepantasnya kita tertipu oleh setiap qiraat yang disandarkan kepada salah satu ahli qiraat tujuh dengan menyatakannya sebagai qiraat yang sahih (benar) dan seperti itulah qiraat tersebut diturunkan kecuali bila qiraat itu telah memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan dalam dabit. Dengan begitu, maka seorang penyusun tidak seyogyanya hanya memindahkan (menukil) qiraat yang dikatakannya berasal dari seorang imam tersebut tanpa menukil qiraat dari yang lain, atau khusus hanya menukilkan qiraat dari imam tujuh orang saja. Tetapi hendaknya ia menukilkan semua qiraat berasal dari qurra lain. Cara demikian ini tidak mengeluarkan sesuatu qiraat dari kesahihannya. Sebab, yang menjadi pedoman ialah terpenuhinya sifat-sifat atau syarat-syarat , bukan siapa yang kepadanya qiraat itu dihubungkan. Hal ini karena qiraat yang dihubungkan kepada setiap qari yang tujuh atau yang lain itu, ada yang disepakati (mujma ‘alaih) dan ada pula yang syaz. Hanya saja karena popularitas qari yang tujuh dan banyaknya qiraat mereka yang telah disepakati kesahihannya maka jiwa merasa lebih tenteram dan cenderung menerima qiraat yang berasal darimereka melebihi qiraat yang bersumber dari qari-qari lainnya.
Menurut mereka, dabit atau kaidah qiraat yang sahih adalah sebagai berikut:

1. Kesesuaian qiraat tersebut sesuai dengan kaidah bahasa arab sekalipun dalam satu segi, baik segi itu fasih ataupun lebih fasih, sebab qiraat adalah sunah yang harus diikuti, diterima apa adanya dan menjadi rujukan dengan berdasarkan pada isnad, bukan ra’yu (penalaran).

2. Qiraat sesuai dengan salah satu mushaf Usmani, sekalipun hanya mendekati saja. Sebab dalam penulisan mushaf-mushaf itu para sahabat teah bersungguh-sungguh dalam membuat rasm (cara penulisan mushaf) sesuai dengan bermacam-macam dialek qiraat yang mereka ketahui. Misalnya mereka akan menuliskan asshiratha dalam ayat ihdinassirathalmustaqim (al Fatihah: 6) dengan shad sebagai ganti dari sin. Mereka tidak menuliskan sin yakni assiratha . Meskipun dalam satu segi berbeda dalam satu rasm. Namun qiraat dengan sin pun telah memenuhi atau sesuai dengan bahasa asli lafaz tersebut yang dikenal, sehingga kedua bacaan itu dianggap sebanding. Dan bacaan isymam untuk itupun dimungkinkan pula.

Yang dimaksud dengan sesuai yang hanya sekadar mendekati saja (muwafaqah ihtimaliyah) adalah seperti contoh diatas. Misal yang lainnya seperti Maalikiyaumiddin (al Fatihah: 4), lafal Maliki dituliskan dalam semua mushaf dengan membuang Alif , sehingga dibaca sesuai dengan rasm secara tahqiq (jelas) dan dibaca pula Maliki sesuai dengan rasm secara ihtimal (kemungkinan). Dan demikian pula contoh yang lain.

Contoh qiraat-qiraat yang berbeda tetapi sesuai dengan rasm secara tahqiq adalah Ta lamuun , dengan Ta dan Ya . Juga Yaghfirlakum dengan Ya dan nun dan lain-lain. Kekosongan rasm dari titik dan dan syakal baik ketika dihilangkan maupun ketika ditetapkan merupakan bukti betapa tingginya para sahabat dalam ilmu ejaan khususnya dan dalam pemahaman yang cemerlang terhadap kajian setiap ilmu.

Dalam menentukan qiraat yang sahih tidak disyaratkan qiraat itu harus sesuai dengan semua mushaf, cukup dengan apa yang tedapat dalam sebagian mushaf saja. Misalnya qiraat Ibn Amr Wabizzuburi wabalkitabi (Ali- Imran: 184) dengan menetapkan Ba pada kedua lafaz itu, qiraat ini dipandang sahih karena yang demikian ditetapkan pula dalam mushaf Syami.

3. Qiraat itu harus sahih isnadnya, sebab qiraat merupakan sunah yang diikuti yang didasarkan pada keselamatan penukilan dan kesahihan riwayat. Sering kali ahli bahasa arab mengingkari sesuatu qiraat hanya karena qiraat itu tidak sejalan dengan aturan atau lemah menurut kaidah bahasa, namun demikian para imam qiraat tidak menanggung beban apapun atas keingkaran mereka itu.

Itulah syarat-syarat yang ditentukan dalan dabit bagi qiraat yang sahih. Apa bila ketiga syarat ini yang terpenuhi, yaitu:
1 ) sesuai dengan bahasa arab,
 2) sesuai degan rasm mushaf
3) sahih sanadnya, maka qiraaat tersebut adalah qiraat yang sahih.
Dan bila salah satu syarat atau lebih tidak terpenuhi maka qiraat itu dinamakan qiraaat yang lemah, syaz atau batil.

Yang mengherankan ialah bahwa sebagian ahli nahwu masih juga menyalahkan qiraat sahih yang telah memenuhi syarat-syarat tersebut, hanya semata-mata qiraat tersebut bertentangan dengan kaidah ilmu nahwu yang mereka jadikan tolok ukur bagi kesahihan bahasa. Seharusnya qiraat yang sahih itu dijadikan sebagai hakim atau pedoman bagi kaidah-kaidah nahwu dan kebahasaan, bukan sebaliknya, menjadikan kaidah ini sebagai pedoman bagi quran. Hal ini karena quran adalah sumber pertama dan pokok bagi pengambilan kaidah-kaidah bahasa, sedang quran sendiri didasarkan pada kesahihan, penukilan dan riwayat yang menjadi landasan para Qari; bagaimanapun juga adanya. Ibn Jaziri ketika memberikan komentar terhadap syarat pertama kaidah qiraaat yang sahih ini menegaskan, kata-kata dalam kaidah diatas meskipun hanya dalam satu segi, yang kami maksudkan adalah satu segi dari ilmu nahwu, baik segi itu fasih maupun lebih fasih, disepakati maupun diperselisihkan. Sedikit berlawanan dengan kaidah nahwu tidaklah mengurangi kesahihan, sesuatu qiraat jika qiraat tersebut telah tersebar luas, populer dan diterima para imam berdasarkan isnad yang sahih, sebab hal terakhir inilah yang menjadi dasar terpenting dan sendi paling utama. Memang, tidak sedikit qiraat yang diingkari oleh ahli nahwu atau sebagian besar mereka, tetapi keingkaran mereka iti tidak perlu dihiraukan. Seperti mensukunkan Baari kum dan Ya murkum mengkhafadkan Walarham , menasabkan Liyujzi ya qauman dan memisahkan antara mudhaf dengan mudhaf ilaih, seperti dalam ayat Qatlu aula dahum syuraka ihim dan sebagainya;

Berkata Abu Amr ad Dani, para imam qiraat tidak memperlakukan sedikitpun huruf-huruf quran menurut aturan yang paling populer dalam dunia kebahasaan dan paling sesuai dengan kaidah bahasa arab, tetapi menurut yang paling mantap (tegas) dan sahih dalam riwayat dan penukilan. Karena itu bila riwayat itu mentap maka, aturan kebahasaan dan popularitas bahasa tidak bisa menolak atau mengingkarinya, sebab qiraat adalah sunah yang harus diikuti dan wajib diterima seutuhnya serta dijadikan sumber acuan. Zaid bin Sabit berkata qiraat adalah sunah muttabaah, sunah yang harus diikuti.

Baihaqi menjelaskan maksud perkataan tersebut ialah bahwa mengikuti orang-orang sebelum kita dalam hal qiraat qur an merupakan sunah atau tradisi yang harus diikuti, tidak boleh menyalahi mushaf dan merupakan imam dan tidak pula menyalahi qiraat-qiraat yang masyhur, meskipun tidak berlaku dalam bahasa arab. Sebagian utama menyimpulkan macam-macam qiraat menjadi enam macam :

1. Mutawatir ; yaitu qiraat yang dinukil oleh sejumlah besar periwayat yang tidak mungkin bersepakat untuk berdusta, dari sejumlah orang yang seperti itu dan sanadnya bersambung hingga penghabisannya, yakni Rasulullah. Dan inilah yang umum dalam hal qiraat.

2. Masyhur, yaitu qiraat yang sahih sanadnya, tetapi tidak mencapai derajat mutawatir, sesuai dengan kaidah bahasa arab dan rasm Usmani serta terkenal pula dikalangan para ahli qiraat, sehingga karenanya tidak dikategorikan qiraat yang salah atau syaz. Para ulama menyebutkan bahwa qiraat semacam ini termasuk qiraat yang dapat dipakai atau digunakan.

3. Ahad, yaitu qiraat yang sahih sanadnya tetapi menyalahi rasm Usmani, menyalahi kaidah bahasa arab atau tidak terkenal seperti halnya qiraat masyhur yang telah disebutkan. Qiraat macam ini tidak termasuk qiraat yang dapat diamalkan bacaannya. Diantara contohnya ialah seperti yang diriwayatkan dari Abu Bakrah, bahwa Nabi membaca Mutta kiina ala rafa rifa khudrin wa aba qariya hisanin (ar Rahman : 76) dan yang diriwayatkan dari Ibn Abbas bahwa ia membaca Laqad ja akum rasulun min anfusikum (at Taubah :128), dengan membaca fathah huruf Fa .

4. Syaz, yaitu qiraat yang tidak sahih sanadnya, sepeti qiraat arab Malaka yaumad daini (al Fatihah: 4), dengan bentuk fi’il madi dan menasabkan Yauma .

5. Maudu, yaitu qiraat yang tidak ada asalnya.

6. Mudraj, yaitu yang ditambahkan kedalam qiraat sebagai penafsiran, seerti qiraat Ibn Abbas; Laisa alaikum junahun an tabtaghu fadlan min rab bakum fi mawasimil hajja faidzak fad tum min arafatin (al Baqarah :198). . kalimat fi mawasimil hajja adalah penafsiran yang disisipkan kedalam ayat.

Keenam macam terakhir ini tidak boleh diamalkan bacaannya. Jumhur berpendapat bahwa qiraat yang tujuh itu mutawatir. Dan yang tidak mutawatir, seperti Masyhur, tidak boleh dibaca didalam maupun diluar salat.

An-Nawawi dalam kitab beliau Al-Majmu` Syarh Al Muhazzab berkata: qiraat yang syaz tidak boleh dibaca baik di dalam maupun diluar salat, karena ia bukan quran. Quran yang ditetapkan dengan sanad yang mutawatir, sedang qiraat yang syaz tidak mutawatir. Orang yang berpendapat selain ini adalah salah satu jahil. Seandainya seseorang menyalahi pendapat ini dan membaca dengan qiraat yang syaz, maka ia harus diingkari baik bacaab itu didalam maupun diluar salat. Para fuqaha bagdad sepakat bahwa orang yang membaca quran dengan qiraat yang syaz harus disuruh bertobat. Ibn Abdil Barr menukilkan ijma kaum muslimin bahwa quran tidak boleh dibaca dengan qiraat yang syaz dan juga tidak syah salat di belakang orang yang membaca quran dengan qiraat-qiraat yang syaz itu.

1. Menunjukkan betapa terjaga dan terpeliharanya kitab Allah dari perubahan dan penyimpangan pada hal kitab ini mempunyai sekian banyak segi bacaan yang berbeda-beda.

2. Meringankan umat islam dan memudahkan mereka untuk membaca qur an.

3. Bukti kemukjizatan qur an dari segi kepadatan makna (Ijaz)nya, karena setiap qiraat menunjukkan sesuatu hukum syara tertentu tanpa perlu pergulangan lafaz. Misalnya ayat Wam sahu bi ru u sikum wa arjulikum ila ka baini (al Midah:6) dengan menasabkan dan mengkhafadkan kata Waarjulikum . Dalam qiraat yang menasabkan dalam penjelasan qiraat dengan jar (khafad) menjelaskan hukum dengan alasan lafaz itu di athafkan kepada ma’mul fi il masaha Wa am sahu biru usikum waarjulikum dengan demikian, maka kita dapat menyimpulkan dua hukum tanpa berpanjang lebar kata. Inilah sebagian makna kemukjizatan qur an dari segi kepadatan maknanya.

4. Penjelasan terhadap apa yang mungkin masih global dalam qiraat lain.misalnya, lafaz yathhurna dalam ayat Wala taq rabu hunna hatta yathhurna (al Baqarah: 222), yang dibaca dengan tasydid, yaththharna dan takhfif yath hurna .

Qiraat dengan tasydid menjelaskan makna qiraat dengan tahfif, sesuai dengan pendapat jumhur ulama. Karena itu isteri yang haid tidak halal dicampuri oleh suaminya. Karena telah suci dari haid, yaitu terhentinya darah haid, sebelum isteri tersebut bersuci dari air.

Dan qiraat Fam dzu ila dzikrillah menjelaskan arti yang dimaksud qiraat Fasaw yaitu pergi, bukan berjalan cepat, dalam firmanNya : Ya ayyuhall ladzina amanu idza nu diya ti lissalati min yaumil jum ati fas aw ila dzikrillah ( Al Maidah: 3 sebagai ganti kata Aidiya huma juga menjelaskan tangan mana yang harus dipotong.

Demikian pula qiraat Wallahu akhun aw ukhtun min umma falikulla wahidin min humas sudusu (an Nisa; 12) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan saudara dalam ayat tersebut adalah saudara laki-laki seibu. Oleh karena itu para ulama mengatakan bahwa dengan adanya perbedaan qiraat, maka timbulah perbedaan dalam hukumnya.

Berkata Abu Ubaidah dalam fada ilul quran, : maksud qiraat yang syaz ialah ; menafsirkan qiraat yang masyhur dan menjelaskan makna-maknanya. Misalnya qiraat Aisyah dan Hafsah Washalatil wustha shalatil ashri (al Baqarah:238). Qiraat Ibn Maus ud Faqtha u aimana huma (al Maidah:38), dan qiraat Jabir Fainnallaha min ba di ikri hinna lahunna ghafururrahim (an Nur: 33) katanya pula : huruf-huruf (qiraat) ini dan yang serupa dengannya telah menjadi penafsiran quran.

Qiraat- penafsiran- ini adalah diriwayatkan dari tabi in dan kemudian dianggap baik. Maka bagaimana pula bila yang demikian itu diriwayatkan dari tokoh-tokoh sahabat dan bahkan kemudian menjadi bagian dari suatu qiraat? tentu hal ini lebih baik dan lebih kuat dari pada sekedar tafsir. Setidak-tidaknya, manfaat yang dapat dipetik dari huruf-huruf ini ialah pengetahuan tentang tawil yang benar (sahih).

Ketujuh imam qiraat yang masyhur dan disebutkan secara khusus oleh Abu Bakar bin Mujahid karena menurutnya mereka adalah ulama yang terkenal hafalan, ketelitian dan cukup lama menekuni dunia qiraat serta telah disepakati untuk diambil dan dikembangkan qiraatnnya adalah :

1. Abu Amir bin Ala
Beliau seorang guru besar para perawi. Nama lengkapnya adalah Zabban bin Ala bin Amr Al Mazini Al Basri. Ada yang mengatakan bahwa namanya adalah Yahya. Juga dikatakan bahwa nama aslinya adalah Kunyah-nya itu. ia wafat di Kufah 154 H. dan dua orang perawinya adalah ad Dauri dan as Susi.
Ad-Dauri adalah Abu Umar Hafs bin Umar bin Abdul Aziz ad Dauri an Nahwi. Ad Dauri nama tempat di Bagdad. Ia wafat pada 264 H.
As-Susi adalah Abu Syu aib Salih bin Ziyad bin Abdullah asSusi. Ia wafat pada 261 H.

2. Ibn Kasir.
Nama lengkapnya Abdullah bin Kasir al Makki. Dia termasuk seorang tabiin dan wafat di Mekkah tahun 120 H. dua orang perawinya ialah al Basyi dan qunbul.

Al Bazi adalah Ahmad bin Muhammad bin Abdullah bin Abu Baza, muadzin di mekkah dia diberi kunyah Abu Hasan. Dan wafat di Mekkah pada 250 H.

Sedang Qunbul adalah Muhammad bin Abdurrahman bin Muhammad bin Khalid bin Said al Makki al Makhzumi, ia diberi kunyah Abu Amr dan diberi julukan (panggilan) Qunbul. Dikatakan bahwa ahlul bait di Mekah ada yang dikenal dengan nama Qanabailah. Ia wafat di Mekkah pada 291 H.

3. Nafi al Madani.
Nama lengkapnya adalah Abu Ruwain Nafi bin Abdrrahman bin Abu Nua im al Laisi, berasal dari sifahan, dan wafat di Madinah pada 169 H. Dua orang perawinya ialah Qalun dan Warasy.


Qalun ialah Isa bin Munya al Madani. Ia adalah seorang guru bahasa arab yang mempunyai kunyah Abu Musa dan mempunyai julukan Qalun. Diriwayatkan bahwa Nafi memberinya nama panggilan Qalun karena keindahan suaranya. Sebab kata Qalun dalam bahasa rumawi berarti baik. Ia wafat di Madinah pada 220 H.

Sedang Warasy ialah Usman bin Said al Misry. Ia diberi kunyah Abu Said dan diberi julukan Warasy karena teramat putihnya. Ia wafat di Mesir 198 H.

4. Ibn Amir asy Syami.
Nama lengkapnya ialah Abdullah bin Amir al Yahsubi, seorang qadi (hakim) di Damaskus pada masa pemerintahan Walid bin Abdul Malik. Nama panggilanya adalah Abu Imran, ia termasuk seorang tabiin. wafat di Damaskus pada 118 H. Dua orang perawinya ialah Hisyam dan Ibn Zakwan.

Hisyam ialah Hisyam bin Imar bin Nusair, qadi Damaskus. Ia diberi kunyah Abul Walid. Dan wafat pada 245 H.

Sedang Ibn Zakwan adalah Abdullah bin Ahmad bin Basir bin Zakwan al Qurasyi ad Dimasyqi. Ia diberi kunyah Abu Amr. Dilahirkan pada 173 H. dan wafat di Damaskus pada 242 H.

5. `Asim al Kufi.
Ia adalah Asim bin Abu Najud, dan dinamakan pula Abu Bahdalah, Abu Bakar. Ia termasuk seorang tabiin, dan wafat di kufah pada 128 H. dua orang perawinya ialah Syubah dan Hafs.

Syubah ialah Abu Bakar Syu bah bin Abbas bin Salim al Kufi. Wafat 193 H.

Sedang Hafs adalah Hafs bin Sulaiman bin Mughirah al Bazzaz al Kufi. Nama pangilannya adalah Abu Amr, ia adalah orang terpercaya. Menurut Ibn Muin, ia lebih pandai qiraatnya dari pada Abu Bakar. Wafat pada 180 H.

6. Hamzah Al Kufi.
Ia adalah Hamzah bin Habib bin Imarah Az Zayyat al Fardi at Taimi. Ia diberi kunyah Abu Imarah. Dan wafat di Halwan pada masa pemerintahan bu Ja far al Mansyur tahun 156 H. Dua orang perawinya ialah Khalaf dan Khalad.

Khalaf ialah Khalaf bin Hisyam al Bazzaz. Ia diberi kunyah Abu Muhhamad. Wafat dibagdad 229 H. Sedang Khalad adalah Khalad bin Walid,dn dikatakan pula Ibn Khalid as Sairafi al Kufi. Ia diberi kunyah Abu Isa, wafat 220 H.

7. Al Kisa i Al-Kufi
Beliau adalah Ali bin Hamzah. Seorang imam ilmu nahwu di Kufah. Ia diberi kunyah Abul Hasan. Dinamakan dengan al Kisai karena ia memakai kisa disaat ihram. Ia wafat di Barnabawaih, sebuah perkampungan di Ray, dalam perjalanan menuju Khurasan bersama arRsyid pada 189 H. Dua orang perawinya adalah Abul Haris dan Hafs ad Dauri.

Abul haris adalah al Lais bin Khalid al Bagdadi, wafat pada 240 H.

Sedang Hafs ad Dauri adalah juga perawi Abu Amr yang telah disebutkan terdahulu.

Adapun ketiga imam qiraat yang menyempurnakan imam qiraat tujuh, menjadi sepuluh ialah:

8. Abu Ja far al Madani.
Beliau adalah Yazid bin Qa qa , wafat dimadinah pada 128 H. dan dikatakan pula 132 H. Dua orang perawinya ialah Ibn Wardan dan Ibn Jimaz.

Ibn Wardan adalah Abul Haris Isa bin Wardan al Madani, wafat dimadinah pada awal 160 H. Sedang Ibn Jimaz adalah Abur Rabi Sulaiman bin Muslim bin Jimas al Madani, wafat pada akhir 170 H.

9. Ya`kub al Basyri.
Beliau adalah Abu Muhhammad Ya;kub bin Ishaq bin Zaid al Hadrami, wafat di Basrah pada 205 H, tetapi dikatakan pula 185 H. Dua orang perawinya ialah Ruwais dan Rauh.

Ruwais adalah Abu Abdullah Muhammad bin Mutawakkil al Lu lu I al Basyri. Ruwais adalah julukannya, wafat di Basrah pada 238 H.

Sedang Rauh adalah Abul Hasan Rauh bin Abdul Mu min al Basri an Nahwi,wafat pada 234 H atau 235 H.

10. Khalaf.
Beliau adalah Abu Muhammad Khalaf bin Hisyam bin Sa lab al Bazar al Baghdadi, ia wafat pada 229 H, tetapi dikatakan pula bahwa tahun kewafatannya tidak diketahui. Dua orang perawinya ialah Ishaq dan Idris.

Ishaq adalah Abu Ya;kub Ishaq bin Ibrahim bin Usman al Waraq alMarwazi kemudian al Bagdadi. Wafat pada 286 H.

Sedang Idris adalah Abul Hasan Idris bin Abdul Karim al Bagdadi al Haddad. Ia wafat pada hari Idul adha 292 H.

Sebagian ulama menambahkan pula empat qiraat kepada yang sepuluh itu,keempat qiraat itu adalah :

1. Qiraat al Hasanul Basri, maula (mantan sahaya) kaum anshar dan kaum tabiin besar yang terkenal dengan kezuhudannya.wafat pada 110 H.

2. Qiraat Muhammad bin Abdurrahman yang dikenal dengan Ibn Muhaisin, wafat pada 123 H. dan ia adalah syaikh. Guru Abu Amr.

3. Qiraat Yahya bin Mubarak al Yazidi an Nahwi dari Bagdad. Ia mengambil qiraat dari Abu Amr dan Hamzah, dan ia adalah syaikh atau guru ad Dauri dan as Susi. Wafat pada 202 H.

4. Qiraat Abul Faraj Muhammad bin Ahmad asy Syanbusy, wafat 388 H.






Because children are a gift

 The largest digital maze collection for children! With over 5000 maze designs ranging from beginner to expert, it provides endless fun tha...