Jika kita bicara tentang musik, dapat dipastikan bahwa
mayoritas penduduk dunia ini menyukainya. Mulai dari anak-anak, remaja,
hingga orang tua gemar mendengarkan lagu-lagu nan merdu. Dari artikel yang
lalu, kita telah mengetahui keharaman hukum nyanyian dan musik
sebagaimana telah disebutkan dalam berbagai hadits yang shahih. Tidak
pula diketahui adanya khilaf (perbedaan pendapat) di antara para ulama
salaf mengenai hal ini. Tapi, kemudian timbul wacana baru yang
dilontarkan oleh orang-orang yang menamai dirinya sebagai seniman muslim
tentang nasyid islami. Mereka menganggap nasyid Islami sebagai sarana
dakwah dan cara lain dalam bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah
‘Azza wa Jalla. Betulkah demikian?
Dalil Keharaman Musik
Saudariku, ketahuilah bahwa mendengarkan musik, nyanyian, atau lagu hukumnya adalah haram. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيَكُوْنَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّوْنَ الْحِرَ وَالْحَرِيْرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ…
“Benar-benar akan ada segolongan dari umatku yang menghalalkan zina, sutera, khamr, dan alat musik.” (HR. Bukhari)
Hadits ini menunjukkan bahwa musik adalah haram menurut syari’at
Islam. Hal yang menguatkan keharaman musik dalam hadits tersebut adalah
bahwa alat musik disandingkan dengan hal lain yang diharamkan yaitu
zina, sutra (diharamkan khusus bagi laki-laki saja), dan khamr.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَ مِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِى لَهْوَ الْحَدِيْثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيْلِ اللهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ
“Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan
yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa
ilmu.” (Qs. Luqman: 6)
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu dan jumhur ulama tafsir menafsirkan kata “lahwul hadits” (perkataan yang tidak berguna) adalah nyanyian atau lagu. Ibnu Katsir rahimahullah juga
menegaskan bahwa ayat ini berkaitan dengan keadaan orang-orang hina
yang enggan mengambil manfaat dari (mendengarkan) Al Qur’an, malah
beralih mendengarkan musik dan nyanyian.
Maka sangatlah tepat jika nyanyian disebut sebagai perkataan yang
tidak berguna karena di dalamnya terkandung perkataan-perkataan yang
tercela ataupun tidak mengandung manfaat, dapat menimbulkan penyakit
hati, dan membuat kita lalai dari mengingat Allah.
Mengenal Nasyid
Orang-orang Arab pada zaman dahulu biasanya saling bersahut-sahutan melemparkan sya’ir. Dan sya’ir mereka ini adalah sebuah spontanitas, tidak berirama dan tidak pula dilagukan. Inilah yang disebut nasyid. Nasyid
itu meninggikan suara dan nasyid merupakan kebudayaan orang Arab, bukan
bagian dari syari’at Islam. Nasyid hanyalah syair-syair Arab yang
mencakup hukum-hukum dan tamtsil (permisalan), penunjukan sifat
keperwiraan dan kedermawanan.
Nasyid tidaklah haram secara mutlak dan tidak juga dibolehkan secara
mutlak, tergantung kepada sya’ir-sya’ir yang terkandung di dalamnya.
Berbeda dengan musik yang hukumnya haram secara mutlak. Ini karena
nasyid bisa saja memiliki hikmah yang dapat dijadikan pembelajaran atau
peringatan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya di antara sya’ir itu ada hikmah.” (Riwayat Imam Bukhari dalam Adabul Mufrad
no. 6145, Ibnu Majah no. 3755, Imam Ahmad (III/456, V/125), ad-Daarimi
(II/296-297) dan ath-Thayalisi no. 558, dari jalan Ubay bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu)
Dan ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang sya’ir, maka beliau bersabda,
“Itu adalah perkataan, maka sya’ir yang baik adalah baik, dan sya’ir yang buruk adalah buruk.”
(Riwayat Imam Bukhari dalam Adabul Mufrad, dan takhrijnya telah
diluaskan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilah al-Hadits ash-Shahihah
no. 447)
Nasyid Pada Zaman Dahulu
Orang-orang pada zaman dulu biasa membakar semangat berperang dengan
melantunkan sya’ir-sya’ir. Dan banyak pula orang-orang asing di antara
mereka yang hendak berhaji melantunkan sya’ir tentang ka’bah, zam-zam,
dan selainnya ketika berada di tengah perjalanan. Abdullah bin Rawahah
pun pernah melantunkan sya’ir untuk menyemangati para shahabat yang
sedang menggali parit ketika Perang Khandaq. Beliau bersenandung,
“Ya Allah, tiada kehidupan kecuali kehidupan akhirat, maka ampunilah
kaum Anshar dan Muhajirin.” Kaum Muhajirin dan Anshar menyambutnya
dengan senandung lain, “Kita telah membai’at Muhammad, kita selamanya
selalu dalam jihad.” (Rasa’ilut Taujihat Al Islamiyah, I/514–516)
Akan tetapi, para sahabat Nabi tidak melantunkan sya’ir setiap
waktu, mereka melakukannya hanya pada waktu-waktu tertentu dan
sekedarnya saja, tidak berlebihan. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,
“Sesungguhnya penuhnya rongga perut salah seorang di antara
kalian dengan nanah itu lebih baik baginya daripada penuh dengan
sya’ir.” (Riwayat Imam Bukhari no. 6154 dalam “Bab Dibencinya
Sya’ir yang Mendominasi Seseorang, Sehingga Menghalanginya Dari Dzikir
Kepada Allah”, ‘Ilmu dan al-Qur’an, diriwayatkan dari jalan Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu)
Maksud dari riwayat di atas adalah kecenderungan hati seseorang
kepada sya’ir-sya’ir sehingga menyibukkannya dan memalingkannya dari
kesibukan dzikrullah dan mentadabburi al-Qur’an, itulah orang-orang yang
dikatakan sebagai orang dengan rongga perut yang penuh dengan sya’ir. (Fat-hul Baari X/564)
Nasyid Pada Zaman Sekarang
Nasyid yang ada pada zaman sekarang tidak jauh berbeda dengan
nyanyian dan musik yang telah jelas keharamannya. Berbeda dengan zaman
dahulu, sya’ir-sya’ir mulai dilagukan dan mengikuti kaidah/aturan seni
musik, sehingga menjatuhkan pelakunya kepada bentuk tasyabbuh
(menyerupai) kepada orang-orang kafir dan fasik. Ditambah lagi, kelompok
nasyid yang belakangan didominasi oleh kaum laki-laki ini menambahkan
alat musik sebagai ‘pemanis’ di dalamnya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “(Setelah diketahui dari
riwayat yang shahih bahwa) bernyanyi, memainkan rebana, dan tepuk tangan
adalah perbuatan kaum wanita, maka para ulama Salaf menamakan para
laki-laki yang melakukan hal itu dengan banci, dan mereka menamakan
penyanyi laki-laki itu dengan banci, dan ini adalah perkataan masyhur
dari mereka.” (Majmuu’ Fataawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah XI/565-566)
Kelompok-kelompok nasyid pada zaman sekarang yang mengaku mencintai
Allah dan Rasul-Nya, mereka ingin menggeser kesukaan para pemuda
terhadap lagu-lagu dan musik yang tidak Islami kepada lagu-lagu dan
musik yang mereka labelkan “Islami”. Bahkan, acara-acara rohis di
sekolah-sekolah dan kampus-kampus pun hampir tidak pernah sepi dari
nasyid. Seolah hal ini merupakan pembenaran terhadap nasyid.
Sebagian orang (ironisnya kebanyakan dari mereka adalah para aktivis
dakwah) beranggapan bahwa nyanyian/musik yang diharamkan adalah nyanyian
yang liriknya tidak islami. Sedangkan untuk “musik islami’ atau
“nasyid” maka tidak mengapa, bahkan nasyid dapat membangkitkan semangat
dan sebagai sarana ibadah dan dakwah karena lagu-lagu tersebut
menggambarkan tentang Islam dan mengajak para pendengarnya kepada
keislaman.
Nasyid yang seperti ini adalah kelanjutan dari bid’ah kaum sufi yang menjadikan nyanyian-nyanyian (mereka menamakannya dengan as-sama’) sebagai bentuk ibadah dan keta’atan mereka kepada Allah. Kaum sufi menganggap bahwa sya’ir-sya’ir yang mereka sebut dengan at-taghbiir
(sejenis sya’ir yang berisikan anjuran untuk zuhud kepada dunia) adalah
bentuk dzikir mereka kepada Allah, sehingga mereka layak untuk
dikatakan sebagai al-mughbirah (orang-orang yang berdzikir
kepada Allah dengan do’a dan wirid). Ketika mereka melantunkan ‘dzikir’
mereka, mereka menambahkannya dengan kehadiran alat-alat musik yang
semakin menambah keharamannya, tetapi mereka menganggap itu sebagai
upaya untuk melembutkan hati. Na’udzubillah. Imam Ahmad ketika ditanya
tentang at-taghbir, maka beliau menjawab: “(Itu adalah) bid’ah”.
Syaikh Bakr Abu Zaid mengatakan bahwa beribadah dengan sya’ir dan
bernasyid sebagai bentuk dzikir, do’a dan wirid adalah bid’ah. Dan ini
lebih buruk daripada berbagai jenis pelanggaran dalam berdo’a dan
berdzikir. (Tash-hiidud Du’aa hal. 78)
Penulis: Ummu Sufyan Rahmawaty Woly dan Ummu Ismail Noviyani Maulida
Muroja’ah: Ust. Aris Munandar
Muroja’ah: Ust. Aris Munandar
***
Sumber : muslimah.or.id
No comments:
Post a Comment