Produk Unggulan Kami

Donut 1
Donut 2
Donut 3

Thursday, 5 September 2024

Materi BPI : Ukhuwah Islamiyah (Resume)

 

Ukhuwah merupakan kekuatan atas karunia Allah Swt., sehingga muncul rasa sayang, persaudaraan, dan saling menumbuhkan kepercayaan tanpa memperhatikan aspek-aspek kekhususan, seperti ras, suku, bahasa, asal daerah, dan lain-lain. Akan tetapi, lebih pada atas dasar aqidah dan iman. Jika cinta tanah air pun adalah wujud dari iman, karena berdasarkan atas jiwa persaudaraan yang dibangun atas kebangsaan atau nasionalisme. Namun, Islam mengajarkan persaudaraan tidak dibatasi hanya sekedar geografis saja, melainkan lebih luas lagi. Inilah yang kemudian menjadi dasar ukhuwah kita. Sebagaimana firman Allah Swt. dalam surah al-Hujurat ayat 10 berikut.

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

Artinya:

"Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah Swt. supaya kamu mendapat rahmat."

Secara makna, ukhuwah islamiah dimaknai terikatnya hati dan ruh dengan ikatan aqidah. Kekuatan umat Islam tergantung kekuatan ukhuwah atau persatuan umat. Tingkatan ukhuwah paling tinggi adalah itsar dan paling rendah adalah lapang dada. Tingkatan tersebut dirangkum dalam sebuah tangga ukuwah islamiah. Di antara tangga ukhuwah islamiyah, yaitu sebagai berikut.

1. Saling Mengenal (Ta'aruf)

Selain mengenal secara fisiknya, juga perlu mengenal nama, alamat, emosi, tingkah laku, lahir, asal, pendidikan, pekerjaan, serta latar belakang.

2. Saling Memahami (Tafahum)

Saling memahami karakter, kesukaan, kejiwaan, selera, pemikiran, kebiasaan, kelebihan, dan kelemahan merupakan cara agar lebih memahami saudara kita.

3. Saling Membantu (Ta'awun)

Membantu adalah rela memberikan yang dibutuhkan saudara tanpa menuntut apapun darinya, itulah ukhuwah yang sebenarnya.

4. Saling Menanggung (Tafakul)

Ingatlah bahwa Allah Swt. akan melapangkan urusan seorang mukmin, jika ia meringankan beban saudaranya. Rasulullah saw. bersabda,

"Barangsiapa yang melapangkan satu kesusahan dunia dari seorang mukmin, maka Allah Swt. melapangkan darinya satu kesusahan di hari kiamat. Barangsiapa memudahkan urusan orang yang kesulitan, maka Allah Swt. memudahkan baginya di dunia dan akhirat.

 (H.R. Muslim)


Manfaat ukuwah islamiah, di antaranya adalah sebagai berikut.

1. Mengeratkan şillaturrahmi.

2. Menciptakan kerukunan, persatuan dan kesatuan berbangsa, sehingga hidup menjadi tenteram.

3. Menumbuhkan sikap peduli sesama dan tolong menolong sehingga hidup menjadi tenang dan bahagia

4. Mendatangkan kebaikan dan keberkahan dari Allah Swt..

5. Menjadi mukmin yang mendapat naungan dari Allah Swt. di akhirat kelak.

6. Menjauhkan permusuhan dan iri dengki.

Begitu indahnya ukhuwah dalam dekapan Islam. Saling menguatkan ketika yang lain lemah, saling menasihati ketika yang lain khilaf, saling menjaga agar selalu dalam kebaikan, dan saling berbagi. Kita belajar untuk saling berlemah lembut, mencintai, mengasihi, menghormati, mengokohkan, memaafkan, dan saling mempercayai. Ukhuwah yang sesuai tarbiyah, yaitu ketika ruh-ruh saling akrab oleh iman mereka bagaikan cahaya di atas cahaya.

Persaudaraan adalah mukjizat, wadah yang saling berikatan. Oleh karena itu, Allah Swt. persatukan hati-hati yang berserakan. Allah Swt. berfirman dalam surah az- Zukhrüf ayat 67 berikut.

 

الْأَخِلَّاءُ يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلَّا الْمُتَّقِينَ

Artinya:

"Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang bertakwa."

Sumber: Nur Attika Lutfianah (Bina Pribadi Islami)
JSIT Publishing Indonesia

Editor: admin

Wednesday, 7 August 2024

Hadis 1 (Hadits Arba'in) tentang Ikhlas

 

Dari Amirul Mukminin, Abu Hafsh ‘Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إنَّمَا الأعمَال بالنِّيَّاتِ وإِنَّما لِكُلِّ امريءٍ ما نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورَسُولِهِ فهِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورَسُوْلِهِ ومَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُها أو امرأةٍ يَنْكِحُهَا فهِجْرَتُهُ إلى ما هَاجَرَ إليهِ

“Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Siapa yang hijrahnya karena mencari dunia atau karena wanita yang dinikahinya, maka hijrahnya kepada yang ia tuju.” (HR. Bukhari dan Muslim) [HR. Bukhari, no. 1 dan Muslim, no. 1907]

 

Penjelasan

Hadits ini menjelaskan bahwa setiap amalan benar-benar tergantung pada niat. Dan setiap orang akan mendapatkan balasan dari apa yang ia niatkan. Balasannya sangat mulia ketika seseorang berniat ikhlas karena Allah, berbeda dengan seseorang yang berniat beramal hanya karena mengejar dunia seperti karena mengejar wanita. Dalam hadits disebutkan contoh amalannya yaitu hijrah, ada yang berhijrah karena Allah dan ada yang berhijrah karena mengejar dunia.

Niat secara bahasa berarti al-qashd (keinginan). Sedangkan niat secara istilah syar’i, yang dimaksud adalah berazam (bertedak) mengerjakan suatu ibadah ikhlas karena Allah, letak niat dalam batin (hati).

Kalimat “Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya”, ini dilihat dari sudut pandang al-manwi, yaitu amalan. Sedangkan kalimat “Setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan”, ini dilihat dari sudut pandang al-manwi lahu, yaitu kepada siapakah amalan tersebut ditujukan, ikhlas lillah ataukah ditujukan kepada selainnya.

 

Faedah Hadits

1- Dalam Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam (1:61) Hadits ini dikatakan oleh Imam Ahmad sebagai salah satu hadits pokok dalam agama kita (disebut ushul al-islam). Imam Ibnu Daqiq Al-‘Ied dalam syarhnya (hlm. 27) menyatakan bahwa Imam Syafi’i mengatakan kalau hadits ini bisa masuk dalam 70 bab fikih. Ulama lainnya menyatakan bahwa hadits ini sebagai tsulutsul Islam (sepertiganya Islam).

2- Tidak mungkin suatu amalan itu ada kecuali sudah didahului niat. Adapun jika ada amalan yang tanpa niat, maka tidak disebut amalan seperti amalan dari orang yang tertidur dan gila. Sedangkan orang yang berakal tidaklah demikian, setiap beramal pasti sudah memiliki niat. Para ulama mengatakan, “Seandainya Allah membebani suatu amalan tanpa niat, maka itu sama halnya membebani sesuatu yang tidak dimampui.”

3- “Setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan”, maksud hadits ini adalah setiap orang akan memperoleh pahala yang ia niatkan.

Coba perhatikan dua hadits berikut ini.

Dari Abu Yazid Ma’an bin Yazid bin Al Akhnas radhiyallahu ‘anhum, -ia, ayah dan kakeknya termasuk sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam-, di mana Ma’an berkata bahwa ayahnya yaitu Yazid pernah mengeluarkan beberapa dinar untuk niatan sedekah. Ayahnya meletakkan uang tersebut di sisi seseorang yang ada di masjid (maksudnya: ayahnya mewakilkan sedekah tadi para orang yang ada di masjid, -pen). Lantas Ma’an pun mengambil uang tadi, lalu ia menemui ayahnya dengan membawa uang dinar tersebut. Kemudian ayah Ma’an (Yazid) berkata, “Sedekah itu sebenarnya bukan kutujukan padamu.” Ma’an pun mengadukan masalah tersebut kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَكَ مَا نَوَيْتَ يَا يَزِيدُ ، وَلَكَ مَا أَخَذْتَ يَا مَعْنُ

“Engkau dapati apa yang engkau niatkan wahai Yazid. Sedangkan, wahai Ma’an, engkau boleh mengambil apa yang engkau dapati.” (HR. Bukhari, no. 1422).

Hadits di atas menunjukkan bahwa Setiap orang akan diganjar sesuai yang ia niatkan walaupun realita yang terjadi ternyata menyelisihi yang ia maksudkan. Termasuk dalam sedekah, meskipun yang menerima sedekah adalah bukan orang yang berhak.

Hadits kedua, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

« يَغْزُو جَيْشٌ الْكَعْبَةَ ، فَإِذَا كَانُوا بِبَيْدَاءَ مِنَ الأَرْضِ يُخْسَفُ بِأَوَّلِهِمْ وَآخِرِهِمْ » . قَالَتْ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ يُخْسَفُ بِأَوَّلِهِمْ وَآخِرِهِمْ ، وَفِيهِمْ أَسْوَاقُهُمْ وَمَنْ لَيْسَ مِنْهُمْ . قَالَ « يُخْسَفُ بِأَوَّلِهِمْ وَآخِرِهِمْ ، ثُمَّ يُبْعَثُونَ عَلَى نِيَّاتِهِمْ »

“Akan ada satu kelompok pasukan yang hendak menyerang Ka’bah, kemudian setelah mereka berada di suatu tanah lapang, mereka semuanya dibenamkan ke dalam perut bumi dari orang yang pertama hingga orang yang terakhir.” ‘Aisyah berkata, saya pun bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimanakah semuanya dibenamkan dari yang pertama sampai yang terakhir, sedangkan di tengah-tengah mereka terdapat para pedagang serta orang-orang yang bukan termasuk golongan mereka (yakni tidak berniat ikut menyerang Ka’bah)?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Mereka semuanya akan dibenamkan dari yang pertama sampai yang terakhir, kemudian nantinya mereka akan dibangkitkan sesuai dengan niat mereka.” (HR. Bukhari, no. 2118 dan Muslim, no. 2884, dengan lafal dari Bukhari).

4- Niat itu berarti bermaksud dan berkehendak. Letak niat adalah di dalam hati. Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan,

وَالنِّيَّةُ مَحَلُّهَا الْقَلْبُ بِاتِّفَاقِ الْعُلَمَاءِ ؛ فَإِنْ نَوَى بِقَلْبِهِ وَلَمْ يَتَكَلَّمْ بِلِسَانِهِ أَجْزَأَتْهُ النِّيَّةُ بِاتِّفَاقِهِمْ

“Niat itu letaknya di hati berdasarkan kesepakatan ulama. Jika seseorang berniat di hatinya tanpa ia lafazhkan dengan lisannya, maka niatnya sudah dianggap sah berdasarkan kesepakatan para ulama.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 18:262)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan, “Siapa saja yang menginginkan melakukan sesuatu, maka secara pasti ia telah berniat. Semisal di hadapannya disodorkan makanan, lalu ia punya keinginan untuk menyantapnya, maka ketika itu pasti ia telah berniat. Demikian ketika ia ingin berkendaraan atau melakukan perbuatan lainnya. Bahkan jika seseorang dibebani suatu amalan lantas dikatakan tidak berniat, maka sungguh ini adalah pembebanan yang mustahil dilakukan. Karena setiap orang yang hendak melakukan suatu amalan yang disyariatkan atau tidak disyariatkan pasti ilmunya telah mendahuluinya dalam hatinya, inilah yang namanya niat.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 18:262)

5- Niat ada dua macam: (1) niat pada siapakah ditujukan amalan tersebut (al-ma’mul lahu), (2) niat amalan.

Niat jenis pertama adalah niat yang ditujukan untuk mengharap wajah Allah dan kehidupan akhirat. Inilah yang dimaksud dengan niat yang ikhlas.

Sedangkan niat amalan itu ada dua fungsi:

Fungsi pertama adalah untuk membedakan manakah adat (kebiasaan), manakah ibadah. Misalnya adalah puasa. Puasa berarti meninggalkan makan, minum dan pembatal lainnya. Namun terkadang seseorang meninggalkan makan dan minum karena kebiasaan, tanpa ada niat mendekatkan diri pada Allah. Terkadang pula maksudnya adalah ibadah. Oleh karena itu, kedua hal ini perlu dibedakan dengan niat.

Fungsi kedua adalah untuk membedakan satu ibadah dan ibadah lainnya. Ada ibadah yang hukumnya fardhu ‘ain, ada yang fardhu kifayah, ada yang termasuk rawatib, ada yang niatnya witir, ada yang niatnya sekedar shalat sunnah saja (shalat sunnah mutlak). Semuanya ini dibedakan dengan niat.

6- Hijrah itu berarti meninggalkan. Secara istilah, hijrah adalah berpindah dari negeri kafir ke negeri Islam. Hijrah itu hukumnya wajib bagi muslim ketika ia tidak mampu menampakkan lagi syiar agamanya di negeri kafir. Hijrah juga bisa berarti berpindah dari maksiat kepada ketaatan.

7- Dalam beramal butuh niat ikhlas. Karena dalam hadits disebutkan amalan hijrah yang ikhlas dan amalan hijrah yang tujuannya untuk mengejar dunia. Hijrah pertama terpuji, hijrah kedua tercela.

Ibnu Mas’ud menceritakan bahwa ada seseorang yang ingin melamar seorang wanita. Wanita itu bernama Ummu Qais. Wanita itu enggan untuk menikah dengan pria tersebut, sampai laki-laki itu berhijrah dan akhirnya menikahi Ummu Qais. Maka orang-orang pun menyebutnya Muhajir Ummu Qais. Lantas Ibnu Mas’ud mengatakan, “Siapa yang berhijrah karena sesuatu, fahuwa lahu (maka ia akan mendapatkannya, pen.).” (Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 1:74-75. Perawinya tsiqah sebagaimana disebutkan dalam Tharh At-Tatsrib, 2:25. Namun Ibnu Rajab tidak menyetujui kalau cerita Ummu Qais jadi landasan asal cerita dari hadits innamal a’malu bin niyyat yang dibahas). Namun tentu hijrah bukan karena lillah, cari ridha-Nya, maka tidak dibalas oleh Allah.

Amalan lainnya sama dengan hijrah, benar dan rusaknya amal tersebut tergantung pada niat. Demikian kata Ibnu Rajab dalam Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 1:75.

Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata,

مَنْ طَلَبَ الْعِلْمَ لِيُجَارِىَ بِهِ الْعُلَمَاءَ أَوْ لِيُمَارِىَ بِهِ السُّفَهَاءَ أَوْ يَصْرِفَ بِهِ وُجُوهَ النَّاسِ إِلَيْهِ أَدْخَلَهُ اللَّهُ النَّارَ

“Barangsiapa menuntut ilmu hanya ingin digelari ulama, untuk berdebat dengan orang bodoh, supaya dipandang manusia, Allah akan memasukkannya dalam neraka.” (HR. Tirmidzi, no. 2654 dan Ibnu Majah, no. 253. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan.)

Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, di mana ia berkata,

خَرَجَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَنَحْنُ نَتَذَاكَرُ الْمَسِيحَ الدَّجَّالَ فَقَالَ « أَلاَ أُخْبِرُكُمْ بِمَا هُوَ أَخْوَفُ عَلَيْكُمْ عِنْدِى مِنَ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ ». قَالَ قُلْنَا بَلَى. فَقَالَ « الشِّرْكُ الْخَفِىُّ أَنْ يَقُومَ الرَّجُلُ يُصَلِّى فَيُزَيِّنُ صَلاَتَهُ لِمَا يَرَى مِنْ نَظَرِ رَجُلٍ »

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar menemui kami dan kami sedang mengingatkan akan (bahaya) Al-Masih Ad Dajjal. Lantas beliau bersabda, “Maukah kukabarkan pada kalian apa yang lebih samar bagi kalian menurutku dibanding dari fitnah Al-Masih Ad-Dajjal?” “Iya”, para sahabat berujar demikian kata Abu Sa’id l- Khudri. Beliau pun bersabda, “Syirik khafi (syirik yang samar) di mana seseorang shalat lalu ia perbagus shalatnya agar dilihat orang lain.” (HR. Ibnu Majah, no. 4204. Al-Hafiz Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini hasan.)

Monday, 5 August 2024

Selamat Tinggal Ayah


 A little girl bids farewell to her father who was killed by an Israeli bombardment in Gaza.


طفلة تودع والدها الذي ارتقى في قصف للاحتلال في غزة

#freepalestine

Sunday, 4 August 2024

Komputer Dari MAsa ke Masa

Komputer telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan modern kita, dari perangkat yang membantu kita bekerja hingga alat yang menghubungkan kita dengan dunia. Namun, apakah Anda pernah bertanya-tanya bagaimana perjalanan panjang teknologi ini dimulai? Mari kita telusuri perkembangan komputer dari masa ke masa dan bagaimana inovasi-inovasi yang mengubah dunia ini berawal.

Komputer dari masa ke masa biasanya merujuk pada perkembangan dan evolusi teknologi komputer dari awal kemunculannya hingga saat ini.

Berikut adalah gambaran singkat mengenai bagaimana komputer telah berkembang seiring waktu:


1. Era Mesin Hitung Awal (Abad ke-17 hingga 19)

   -  Abacus: Salah satu alat hitung awal yang digunakan untuk operasi matematika dasar.

   - Mesin Analitik: Dikembangkan oleh Charles Babbage pada abad ke-19, dianggap sebagai salah satu cikal bakal komputer modern meski tidak pernah sepenuhnya selesai dibangun.


2. **Era Komputer Generasi Pertama (1940-an hingga 1950-an)**

   - **ENIAC (Electronic Numerical Integrator and Computer)**: Salah satu komputer digital elektronik pertama yang digunakan untuk kalkulasi artileri selama Perang Dunia II.

   - **UNIVAC I**: Komputer komersial pertama yang digunakan untuk berbagai aplikasi bisnis.


3. **Era Komputer Generasi Kedua (1950-an hingga 1960-an)**

   - **Transistor**: Menggantikan tabung vakum, membuat komputer lebih kecil, lebih cepat, dan lebih andal.

   - **IBM 7094 dan IBM 1401**: Komputer generasi kedua yang banyak digunakan di laboratorium penelitian dan bisnis.


4. **Era Komputer Generasi Ketiga (1960-an hingga 1970-an)**

   - **Sirkuit Terpadu (Integrated Circuit)**: Menggunakan chip untuk mengintegrasikan beberapa transistor dalam satu unit, memungkinkan komputer lebih kecil dan lebih efisien.

   - **IBM System/360**: Salah satu sistem utama yang memungkinkan berbagai ukuran dan jenis komputer untuk beroperasi di lingkungan yang sama.


5. **Era Komputer Generasi Keempat (1970-an hingga 1990-an)**

   - **Mikroprosesor**: Memungkinkan pembuatan komputer pribadi (PC) dengan harga yang terjangkau.

   - **Personal Computer (PC)**: Munculnya komputer seperti Apple II dan IBM PC yang membawa komputer ke rumah-rumah dan kantor-kantor.


6. **Era Komputer Generasi Kelima (1990-an hingga Sekarang)**

   - **Komputer Berbasis Jaringan dan Internet**: Komputer semakin terhubung melalui internet, memungkinkan komunikasi dan pertukaran data global.

   - **Komputasi Awan (Cloud Computing)**: Penyimpanan dan pemrosesan data dilakukan secara daring, memudahkan akses dan kolaborasi.

   - **Kecerdasan Buatan (Artificial Intelligence)**: Pengembangan algoritma dan perangkat keras yang mendukung AI, seperti pembelajaran mesin (machine learning) dan pemrosesan bahasa alami (natural language processing).


Perkembangan ini menunjukkan bagaimana teknologi komputer telah berevolusi dari mesin hitung sederhana hingga sistem canggih yang mendukung berbagai aplikasi modern.

Saturday, 15 June 2024

KISAH IMAM AHMAD BIN HAMBALI DAN TUKANG ROTI














Ini adalah kisah yang menggetarkan. Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah yang menceritakannya di akhir hayatnya.

Dikutip dari manakib Imam Ahmad, suatu ketika, murid Imam Syafi'i itu ( Imam Ahmad Bin Hambali ) tiba-tiba sangat ingin mendatangi sebuah tempat di Irak. Awalnya, dia tidak tahu mengapa dia ingin sekali mengunjungi tempat itu.

Padahal, tidak ada janji dengan orang dan tidak pula ada hajat. 

Namun, Imam Ahmad akhirnya mengikuti kata hatinya. Dia pergi sendirian menuju ke kota Bashrah. 

Tiba di sana waktu isya. Imam Ahmad ikut salat berjemaah di masjid. Hatinya tenang.

Rencananya, Imam Ahmad berencana beristirahat di masjid itu sebelum melanjutkan perjalanan.

Setelah jemaah bubar, tiba-tiba marbot masjid datang sambil bertanya, "Kenapa syekh? Mau ngapain di sini?"

Panggilan "syekh" dalam kisah ini panggilan sebagai orang tua. Saat itu, Imam Ahmad kelihatan sudah sangat tua.

Marbot tidak tahu bahwa orang tua tersebut adalah Imam Ahmad. Imam Ahmad pun tidak memperkenalkan dirinya. 

Di Irak, semua orang kenal siapa imam Ahmad, seorang ulama besar dan ahli hadis. Beliau menghafal sejuta hadis. Dikenal saleh dan zuhud. 

Zaman itu tidak ada foto sehingga orang tidak tahu wajahnya. Orang-orang hanya mengenal namanya.

"Saya ingin istirahat, saya musafir," jawab Imam Ahmad.

"Tidak boleh. Tidak boleh tidur di masjid," kata marbot itu.

 Imam Ahmad bercerita bahwa dirinya diusir paksa. Tubuhnya didorong-dorong dan disuruh keluar dari masjid. Setelah itu, pintu masjid dikunci.

Imam Ahmad berharap bisa tidur di teras masjid. Namun, marbot itu kembali datang. Marah-marah.

"Mau ngapain lagi syekh?" tanya marbot lagi.

"Mau tidur. Saya musafir," jawab Imam Ahmad lagi.

"Di dalam masjid tidak boleh, di teras masjid juga tidak boleh," kata marbot itu.

Kali ini, Imam Ahmad diusir lebih keras. Didorong-dorong sampai jalanan.

Di samping masjid itu ada rumah kecil milik tukang roti. Tukang roti itu melihat ada orang tua diusir dari masjid dengan kasar.

"Mari syekh. Anda boleh nginap di tempat saya. Saya punya tempat, meskipun kecil," katanya yang diikuti isyarat tangan.

Tukang roti itu pun tidak tahu bahwa orang tua itu adalah Imam Ahmad.



Di dalam rumah, Imam Ahmad duduk di belakang penjual roti yang sedang bekerja. Imam Ahmad hanya memperkenalkan diri sebagai musafir.

Sambil berbincang-bincang, Imam Ahmad memperhatikan perilaku tukang roti itu. Saat diajak bicara, tukang roti itu menjawab.

Namun, ketika jeda pembicaraan, sambil terus membuat roti, mulutnya tampak komat kamit. "Astaghfirullah wa 'atubuh ilaihi," begitu yang dia ucapkan.

Saat meletakkan garam, tukang roti itu kembali mengucapkannya. Begitu pula ketika memecahkan telur, dan mencampur gandum. Istigfar tak pernah berhenti, kecuali sedang berbicara dengan Imam Ahmad.

"Sudah berapa lama kamu lakukan ini (istigfar)?" tanya Imam Ahmad.

"Sudah lama sekali syekh. Saya menjual roti sudah 30 tahun. Jadi semenjak itu saya lakukan," jawabnya.

"Apa hasil dari perbuatanmu ini?" tanya Imam Ahmad lagi.

"Tidak ada hajat yang saya minta, kecuali pasti dikabulkan Allah. semua yang saya minta ya Allah...., langsung diterima," jawab tukang roti.

"Semua dikabulkan Allah kecuali satu," lanjut tukang roti itu.

"Apa itu?" tanya Imam Ahmad.

"Saya minta kepada Allah supaya dipertemukan dengan Imam Ahmad," jawabnya.

"Allahu akbar! Allah telah mendatangkan saya jauh dari Baghdad pergi ke Bashrah dan bahkan sampai didorong-dorong oleh marbot masjid itu sampai ke jalanan karena istigfarmu," sahut Imam Ahmad.

Akulah Imam Ahmad yang selalu kau panjatkan di dalam doamu, Sahut Imam Ahmad Bin Hambal

Penjual roti itu terperanjat, memuji Allah. Karena amalan istigfarnya itu, semua doanya dikabulkan oleh Allah subhanahu wata'ala.

Dalam salah satu hadisnya, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

"Siapa yang menjaga istigfar, maka Allah akan menjadikan jalan keluar baginya dari semua masalah dan Allah akan berikan rezeki dari jalan yang tidak disangka-sangkanya."( HR Bukhari )

 


Thursday, 13 June 2024

OMG ...Ada Apa Dengan Aisyah?

 Maaf Bunda, Aisyah gak kenapa napa, Intermezzo ajah. Sekarang Aisyah nya lagi mimpi indah...😓😀😁


Bismillah...

Minta waktunya dulu ya Bun.

Silahkan dilihat dulu Flyer Iklannya ya Bun, walaupun Google adsense di blog ini gk menghasilkan dollar.

Klw lihar Flyer mah gk usah bayar.

alias Gratis tis tis...






















BTW anyway busway

Insyaallah Aisyah Cake Panam selalu ready ya Bun

Gimana sih cara nya Donat empuk nya sampai ke rumah Bunda?

Ikuti langkah2nya ya Bun


Langkah pertama,

Setelah melihat flyer ini, dipastikan Bunda chat admin malam hari ya Bun

Lho koq begicuh,😆?

Begini lho Bun, gak ada apa-apa😊

Biar seru aja klw nyerbu...

Eh nyerbu 😁

Maksudnya...

Kalau disantap angeut angeut lebih maknyus kan Hehe😁


Langkah Kedua

Pengiriman pesanan paling cepat jam 7 pagi


Langkah Ketiga

Bayarnya bisa COD atau Transfer ya Bun

Langkah ke empat. Mimin cukupkan sekian. Mimin tunggu WApri an nya ya Bun.🙏


HP: 085355988255






Thursday, 16 November 2023

Biografi Imam Syafi'i

Asy-Syafi'i
اَلشَّافِعِيُّ
kaligrafi Arab nama asy-Syafi'i
GelarSyaikh al-Islām
Informasi pribadi
Lahir767 M
150 M
GazaKekhalifahan Abbasiyah
Meninggal19 January 820 M (umur 54)
204 H
Fustat, Kekhalifahan Abbasiyah
AgamaIslam
ZamanZaman Kejayaan Islam
DenominasiSunni
MazhabMujtahid
Minat utamaFiqihHadis
Ide terkenalmazhab Syāfi‘ī
Karya terkenalAr-RisalahKitab al-UmmMusnad asy-Syafi'i
Pemimpin Muslim
Dipengaruhi oleh
Pengaruh

Abū ʿAbdillāh Muḥammad bin Idrīs asy-Syāfiʿī (bahasa Arabأَبُو عَبْدِ ٱللهِ مُحَمَّدُ بْنُ إِدْرِيسَ ٱلشَّافِعِيُّ; 767 – Januari 820 M) adalah seorang teolog Muslim beretnis Arab, penulis, dan cendekiawan, yang merupakan salah satu kontributor pertama dari prinsip-prinsip yurisprudensi Islam (Uṣūl al-fiqh). Sering disebut sebagai Syaikhul Islām, asy-Syāfi'ī adalah salah satu dari empat Imam Sunni besar, yang warisannya dalam masalah yuridis dan pengajaran akhirnya mengarah pada pembentukan mazhab fiqh Syafi'i. Dia adalah murid Imam hadis awal yang paling menonjol, Malik bin Anas. Asy-Syāfi'ī juga pernah diangkat menjadi hakim di Najran.[6][7] Asy-Syāfi'ī lahir di Palestina (Jund Filastin), dan kemudian tinggal di Makkah dan Madinah di Hijaz, kemudian ia beralih ke YamanMesir, dan Baghdad di Irak

Historiografi

Biografi asy-Syafi'i sulit ditemukan. Dawud az-Zahiri dikatakan sebagai orang pertama yang menulis buku yang memuat biografi tentang dirinya, akan tetapi buku tersebut telah hilang.[8][9] Biografi tertua yang masih ada ditulis oleh Ibnu Abi Hatim ar-Razi dan tidak lebih dari kumpulan anekdot, beberapa di antaranya terkesan dilebih-lebihkan. Sebuah sketsa biografi ditulis oleh Zakarīya bin Yahya as-Sājī kemudian direproduksi, tetapi bahkan kemudian, banyak legenda telah merayap ke dalam kisah kehidupan asy-Syafi'i.[10] Biografi nyata pertama ditulis oleh Ahmad Baihaqi dan dipenuhi dengan apa yang dianggap oleh cendekiawan modern sebagai legenda saleh, dan tampaknya lebih masuk akal.

Biografi

Leluhur

Asy-Syāfiʿī termasuk dalam klan Quraisy dari Bani Muthalib, yang merupakan saudara dari klan Bani Hasyim, klan nabi Islam Muhammad dan leluhur para khalifah Abbasiyah. Garis keturunan ini mungkin telah memberinya prestise, yang muncul dari suku Muhammad, dan kekerabatan kakek buyut Muhammad dengannya.[10] Namun, asy-Syāfiʿī tumbuh dalam kemiskinan, terlepas dari posisi sosial keluarganya yang tinggi.[butuh rujukan]

Masa muda

Asy-Syāfiʿī lahir di Palestina (Jund Filastīn) di kota Asqalan pada tahun 150 H (767 M).[11] Ayahnya meninggal di Asy-Syam ketika dia masih kecil. Khawatir akan kehilangan garis keturunan syarīf-nya, ibunya memutuskan untuk pindah ke Makkah ketika dia berusia sekitar dua tahun. Selain itu, akar keluarga keibuannya berasal dari Yaman, dan ada lebih banyak anggota keluarganya di Mekkah, di mana ibunya percaya bahwa dia sebaiknya diasuh. Sedikit yang diketahui tentang kehidupan awal asy-Syāfiʿī di Makkah, kecuali bahwa ia dibesarkan dalam keadaan miskin dan sejak masa mudanya ia rajin belajar.[10] Sebuah riwayat menyatakan bahwa ibunya tidak mampu membeli kertas, jadi dia menulis hasil pelajarannya pada tulang.[12] Ia belajar di bawah bimbingan Muslim bin Khalid az-ZanjiMufti Makkah saat itu, yang dianggap sebagai guru pertama asy-Syāfiʿī.[13] Pada usia tujuh tahun, asy-Syāfiʿī telah menghafal Al-Qur'an. Pada usia sepuluh tahun, dia telah menghafal Muwaṭṭaʾ karya Malik bin Anas di luar kepala, yang membuat az-Zanji akan menunjuknya untuk mengajar saat dirinya tidak ada atau berhalangan. Asy-Syāfiʿī telah diberi wewenang untuk mengeluarkan fatwa pada usia lima belas tahun.[14]

Belajar dengan Mālik

Asy-Syāfiʿī pindah ke Madinah untuk melanjutkan studi hukum Islamnya.[10] Ada perbedaan terhadap pada usia berapa dia berangkat ke Madinah; sebuah riwayat menyatakan bahwa usianya pada saat itu tiga belas tahun,[11] sementara yang lain menyatakan bahwa dia berusia dua puluhan.[10] Di sana, dia diajari selama bertahun-tahun oleh Imam terkenal Mālik bin Anas,[15] yang terkesan dengan ingatan, pengetahuan, dan kecerdasannya.[11][16] Menjelang kematian Mālik pada tahun 179 H (795 M), asy-Syāfiʿī telah memperoleh reputasi sebagai seorang ahli hukum yang brilian.[10] Meskipun kemudian dia tidak setuju dengan beberapa pandangan Mālik, asy-Syāfiʿī sangat menghormatinya dengan selalu menyebut dia sebagai "Guru".[11]

Fitnah Yamani

Pada usia tiga puluh tahun, asy-Syāfiʿī diangkat sebagai gubernur Abbasiyah di kota Yaman Najran.[11][15] Dia terbukti sebagai administrator yang adil tetapi segera terjerat dengan kecemburuan faksi. Pada 803 M, asy-Syāfiʿī dituduh membantu Banu Ali dalam pemberontakan, dan dengan demikian dipanggil dengan dirantai bersama sejumlah Banu Ali ke hadapan khalifah Harun ar-Rasyid (m. 786–809) di ar-Raqqah.[10] Sementara para komplotan lainnya dihukum mati, pembelaan asy-Syāfiʿī sendiri yang fasih meyakinkan Khalifah untuk menolak tuduhan itu. Riwayat lain menyatakan bahwa ahli hukum Hanafi terkenal, Muḥammad bin al-Ḥasan asy-Syaibānī, hadir di pengadilan dan membela asy-Syāfiʿī sebagai tokoh fikih terkenal.[10] Kelak, peristiwa itu membuat asy-Syāfiʿī semakin dekat dengan asy-Syaibānī, yang kemudian akan menjadi guru asy-Syāfiʿī. Juga didalilkan bahwa kejadian ini mendorongnya untuk mengabdikan sisa karirnya pada studi hukum, dan tidak pernah lagi melayani pemerintah.[10]

Berguru kepada Asy-Syaibānī, dan paparan ahli hukum Hanafi

Asy-Syāfiʿī pergi ke Baghdad untuk belajar dengan asy-Syaibānī dan lainnya.[15] Di sinilah dia mengembangkan mazhab pertamanya, dipengaruhi oleh ajaran Abu Hanifah dan Malik bin Anas.[butuh rujukan] Karyanya kemudian dikenal sebagai al-Mażhab al-Qadim lil Imam asy-Syāfiʿī, atau Mazhab Lama asy-Syāfiʿī.[butuh rujukan]

Di sinilah asy-Syāfiʿī secara aktif berpartisipasi dalam argumen hukum dengan para ahli hukum Hanafi, dengan gigih membela mazhab Mālikī.[10] Beberapa otoritas menyatakan bahwaa sy-Syāfiʿī terkadang kesulitan dalam mempertahankan argumennya.[10] Asy-Syāfiʿī akhirnya meninggalkan Baghdad menuju Makkah pada tahun 804 M, kemungkinan karena keluhan dari pengikut Hanafi kepada asy-Syaibānī bahwa asy-Syāfiʿī telah menjadi agak kritis terhadap posisi asy-Syaibānī selama perselisihan mereka. Akibatnya, asy-Syāfiʿī dilaporkan telah berdebat dengan asy-Syaibānī mengenai perbedaan mereka, meski siapa yang memenangkan debat masih belum diketahui secara pasti.[10]

Di Makkah, asy-Syāfiʿī mulai berceramah di Masjidilharam, yang meninggalkan kesan mendalam bagi banyak murid-murid yang mempelajari fikih, termasuk ahli hukum Hanbali yang terkenal, Ahmad bin Hanbal.[10] Penalaran hukum asy-Syāfiʿī mulai matang, ketika ia mulai menghargai kekuatan penalaran hukum para ahli hukum Hanafi, dan menyadari kelemahan yang melekat baik pada mazhab Mālikī maupun Hanafi.[10]

Berangkat ke Baghdad dan Mesir

Mausoleum Imam Syafi'i di Kairo

Asy-Syāfiʿī akhirnya kembali ke Baghdad pada tahun 810 M. Pada saat ini, statusnya sebagai seorang ahli hukum telah cukup berkembang untuk memungkinkannya membangun garis spekulasi hukum yang independen. Khalifah al-Ma'mun (m. 813–833) dikatakan telah menawarkan posisi asy-Syāfiʿī sebagai hakim, tetapi dia menolak tawaran tersebut.[10]

Koneksi dengan keluarga Muhammad

Pada 814 M, asy-Syāfiʿī memutuskan untuk meninggalkan Baghdad menuju Mesir. Alasan kepergiannya dari Irak tidak pasti, tetapi di Mesir dia akan bertemu guru lain, Sayyidah Nafisah binti Hasan, yang juga akan membiayai studinya.[3][4][5] Beberapa murid utamanya akan menuliskan apa yang dikatakan asy-Syāfiʿī, yang kemudian akan meminta mereka untuk membacanya kembali dengan suara keras sehingga dapat dilakukan koreksi. Semua penulis biografi asy-Syāfiʿī setuju bahwa warisan karya-karya atas namanya adalah hasil dari setiap sesi pelajaran dengan murid-muridnya.[10]

Nafisah adalah keturunan dari Muhammad, melalui cucunya Hasan bin Ali, yang menikah dengan keturunan Muhammad lainnya, yaitu Ishaq al-Mu'tamin, putra Ja'far ash-Shadiq, yang kabarnya juga merupakan guru dari Malik bin Anas.[2][17]:121 and Abu Hanifah.[3][4][5] Jadi keempat Imam besar Fiqh Sunni (Abu Hanifah, Malik, asy-Syāfiʿī, dan Ibnu Hanbal) sama-sama terhubung dengan Ja'far dari keluarga Muhammad, baik secara langsung maupun tidak langsung.[1]

Kematian dan makam

Makam Imam Syafi'i di Kairo

Setidaknya satu otoritas meriwayatkan bahwa asy-Syāfiʿī meninggal akibat luka yang diderita akibat serangan oleh pendukung pengikut Maliki yang bernama Fityan. Cerita berlanjut bahwa asy-Syāfiʿī memenangkan perdebatan dan Fityan yang tidak terima, kemudian melakukan pelecehan. Gubernur Mesir pada masa itu, yang memiliki hubungan baik dengan asy-Syāfiʿī, memerintahkan agar Fityan dihukum dengan diarak melalui jalan-jalan kota dengan membawa papan dan menyebutkan alasan hukumannya. Pendukung Fityan sangat marah dengan perlakuan ini dan menyerang asy-Syāfiʿī sebagai pembalasan setelah asy-Syāfiʿī selesai berceramah. Asy-Syāfiʿī meninggal beberapa hari kemudian.[18] Namun, Ibnu Hajar al-Asqalani dalam biografinya tentang asy-Syāfiʿī, Tawālī al-Ta'sīs, meragukan cerita ini dengan mengatakan "Saya tidak mempertimbangkan [cerita] ini sebagai sumber yang dapat dipercaya".[19] Namun, asy-Syāfiʿī juga diketahui menderita penyakit usus serius/wasir,[20] yang membuatnya menjadi lemah dan sakit selama tahun-tahun terakhir hidupnya. Dengan demikian, penyebab pasti kematian asy-Syāfiʿī tidak diketahui.[21]

Asy-Syāfiʿī meninggal pada usia 54 tahun pada tanggal 30 Rajab tahun 204 H (20 Januari 820 M), di Fustat, Mesir, dan dimakamkan di kubah Bani Abdul Hakam, dekat Gunung al-Muqattam.[10] Sebuah qubbah (bahasa Arabقُـبَّـة) dan makam dibangun pada tahun 608 H (1212 M) oleh Sultan Ayyubiyahal-Kamil (m. 1218–1238), dan tetap menjadi situs penting saat ini.[22][23] Salahuddin al-Ayyubi membangun madrasah dan tempat suci di lokasi makam Asy-Syafi'i. Saudara laki-laki Salahuddin, Afdal, membangun mausoleum untuknya pada tahun 1211 setelah kekalahan Fatimiyah. Tempat ini tetap menjadi situs di mana orang mengajukan petisi untuk keadilan.[24]

Warisan

Mazhab Syafi'i

Mazhab Syafi'i, salah satu dari empat mazhab Sunni, yang diberi nama berdasarkan Asy-Syāfi'ī, yang juga berjasa mendirikan kerangka mazhab tersebut. yurisprudensi Islam dengan menetapkan urutan kepentingan relatif dari berbagai sumbernya sebagai berikut:

  1. Al-Qur'an;
  2. Hadis, yaitu kumpulan kata-kata, dan tindakan dari Muhammad. (Bersama dengan Al-Qur'an, sumber-sumber ini merupakan "sumber-sumber wahyu");
  3. Ijma', yaitu konsensus komunitas Muslim (tradisional murni);
  4. Qiyas, yaitu metode analogi.[25][26][27][28][29]

Sarjana John Burton memuji asy-Syafi'i yang tidak hanya karena membangun ilmu fikih dalam Islam, namun juga pentingnya ilmu tersebut bagi agama. Dia berkata, "Ketika orang-orang sezamannya dan para pendahulunya mendefinisikan Islam sebagai sebuah fenomena sosial dan sejarah, Syafi'i berusaha untuk mendefinisikan sebuah Hukum yang diwahyukan."[30] Asy-Syāfi‘ī menekankan otoritas akhir dari sebuah hadis dari Muhammad sehingga bahkan Al-Qur'an pun "harus ditafsirkan berdasarkan tradisi (yaitu hadis), dan bukan sebaliknya."[31][32] Meskipun secara tradisional Al-Qur'an dianggap berada di atas Sunnah dalam otoritasnya, Asy-Syafi'i "dengan tegas menyatakan" bahwa sunah berdiri "sejajar dengan Al-Qur'an", (menurut sarjana Daniel Brown) karena – seperti yang dikatakan Al-Syafi'i itu – "perintah Nabi (Muhammad) adalah perintah Allah."[33][34]

Fokus komunitas Muslim pada hadis Muhammad dan ketidaktertarikan terhadap hadis para sahabat Muhammad (yang hadisnya umum digunakan sebelum asy-Syāfi‘ī karena sebagian besar dari mereka masih hidup dan menyebarkan ajarannya setelah kematiannya) dipikirkan untuk mencerminkan keberhasilan doktrin asy-Syāfi‘ī.[35]

Pengaruh asy-Syāfi‘ī sedemikian rupa sehingga ia mengubah penggunaan istilah Sunnah, "sampai yang dimaksud hanyalah Sunnah Nabi." Menurut John Burton, hal ini adalah "pencapaian prinsipnya").[36] Padahal sebelumnya, sunnah digunakan untuk menyebut tata krama dan adat istiadat suku.[37] Asy-Syāfi'ī membedakan antara "sunnah umat Islam" yang tidak otoritatif dan diikuti dalam praktik keagamaan, dengan "sunah Nabi" yang harus diikuti oleh seluruh umat Islam.[30] Dengan demikian, definisi sunnah menurut asy-Syāfi'ī hanya mencakup sunnah dari nabi Islam Muhammad saja.[36]

Dalam ilmu-ilmu Islam, Burton memujinya dengan "penetapan perbedaan teoritis formal" antara 'Sunnah Nabi' dan Al-Qur'an, "terutama ketika dua sumber fundamental tersebut tampaknya berbenturan".[36]

Penentang Mu'tazilah

Asy-Syāfi‘ī adalah bagian dari para teolog tradisionalis awal yang sangat menentang Mu'tazilah dan mengkritik para teolog spekulatif karena meninggalkan Al-Qur'an dan Sunnah melalui adopsi mereka terhadap Filsafat Yunani dalam Metafisika.[38]

Pengikut

Di antara pengikut mazhab asy-Syāfi'ī adalah:

Karya

Asy-Syāfi'ī menulis lebih dari 100 buku.[42] Namun kebanyakan dari mereka belum sampai kepada kita. Karya-karyanya yang masih ada dan dapat diakses saat ini adalah:

Selain itu, asy-Syafi'i adalah seorang penyair yang fasih, yang banyak menggubah puisi pendek yang ditujukan untuk membahas moral dan perilaku. Yang paling terkenal adalah syair al-Diwan miliknya.

Pujian

Ahmad bin Hanbal menganggap asy-Syafi'i sebagai "Imam yang paling setia pada tradisi" yang memimpin Ahlul Hadis menuju kemenangan melawan eksponen Ahlur Ra’yi.[46] Ibnu Hanbal juga menyatakan bahwa “Tidak pernah ada orang penting dalam ilmu pengetahuan yang tidak banyak melakukan kesalahan, dan lebih mengikuti sunnah Nabi daripada asy-Syafi’i.”[47]

Shah Waliullah Dehlawi, ulama Sunni abad ke-18 menyatakan:[48] "Seorang Mujaddid muncul di akhir setiap abad: Mujaddid abad ke-1 adalah Imam Ahlul SunnahUmar bin Abdul Aziz. Mujaddid abad ke-2 adalah asy-Syafi'i Mujaddid abad ke-3 adalah Imam Ahlul Sunnah Abu al-Hasan al-Asy'ari Mujaddid abad Abad ke-4 adalah Hakim an-Naisaburi."

ISRAHeLL bayar Influencer $7000 untuk Pembenaran Genosida Pal3stina

Tel Aviv, Seiring opini publik global secara tegas beralih melawan kampanye genosida Israel di Gaza, negara pendudukan tersebut menggencarka...