Sunday 11 November 2012

Rangkuman Sejarah Pendidikan Islam

PENDAHULUAN 

Klarifikasi Istilah dan Pembatasan Pembahasan Ada beberapa terminologi yang tampaknya perlu dijelaskan terlebih dahulu, sebelum menguraikan makalah ini lebih lanjut. Menguraikan term-term itu dianggap perlu karena diasumsikan akan memberikan kesamaan pandangan dalam menginterpretasi dan mengeksplanasi makalah ini. Pertama, sistem pendidikan. Istilah sistem pendidikan biasanya dipahami sebagai suatu pola menyeluruh dari proses pendidikan dalam lembaga-lembaga formal, agen-agen, dan organisasi yang memindahkan ( transver ) pengetahuan dan warisan kebudayaan serta sejarah kemanusiaan yang mempengaruhi pertumbuhan sosial, spiritual, dan intelektual. Menurut Hasan Langgulung, sistem pendidikan seperti demikian dalam literatur pendidikan Islam klasik tidak pernah dujumpai. Sebab, sistem pendidikan itu tidak terpisah dari sistem-sistem yang lain, seperti sistem politik (al-nizham al-siyasi), sistem tatalaksana (al-nizham al-idari), sistem keuangan (al-nizham al-mali), sistem kehakiman (al-nizham al-qadhi), dan lain-lain. Sistem politik mempunyai program pendidikannya sendiri untuk membentuk kader-kader politik, begitu juga sistem-sistem tatalaksana, keuangan, sosial, dan sebagainya.. Jadi, sistem pendidikan Islam sebagai sistem yang berdiri sendiri merupakan satu fenomena baru dalam sejarah Islam. Oleh karena sistem pendidikan itu tidak berdiri sendiri maka untuk melihatnya dibutuhkan informasi yang menyajikan konstruk sosial, politik, dan keagamaan yang terjadi pada masa-masa tertentu sehingga menunjukkan adanya hubungan fungsional dan substansial antara dunia pendidikan dengan keadaan yang terjadi ketika itu. Sungguhpun demikian, dalam makalah ini hanya akan dipaparkan konstruksi masyarakat sejauh ia memiliki korelasi yang signifikan dengan pembahasan. Kedua, metode pendidikan Islam. Metode pendidikan sesungguhnya dapat dikelompokkan menjadi dua bentuk: metode perolehan (acquisition) dan metode pemindahan atau penyampaian (transmission). Metode perolehan lebih ditekankan sebagai cara yang ditempuh oleh peserta didik (student) ketika mengikuti proses pendidikan, sedangkan metode pemindahan diasosiasikan sebagai cara pengajaran yang dilakukan oleh guru (teacher). Dengan demikian, metode-metode perolehan ditekankan kepada peserta didik sedangkan metode pemindahan dititikberatkan kepada guru. Pada makalah ini dibatasi pada bentuk yang terakhir, yakni metode pemindahan. Sebab, dalam banyak hal, kecenderungan pemikiran pendidikan Islam klasik lebih memprioritaskan kepada guru sebagai subyek pendidikan, bukan kepada murid. Guru dijadikan faktor penentu untuk menilai tingkat keberhasilan pendidikan Islam. Sebagai konsekwensinya, konsep pendidikan Islam klasik lebih banyak memperhatikan kepada guru.[2] Ketiga, kurikulum. Kurikulum pendidikan Islam klasik agaknya tidak dapat dipahami sebagaimana kurikulum pendidikan modern. Pada kurikulum pendidikan modern, seperti kurikulum pendidikan nasional di Indonesia, ditentukan oleh pemerintah dengan standar tertentu yang terdiri dari beberapa komponen: tujuan, isi, organisai dan strategi.[3] Pengertian dan komponen demikian agaknya sangat sulit ditemukan dalam literatur-literatur kependidikan Islam klasik. Untuk itu, kurikulum pendidikan Islam klasik dalam makalah ini dipahami dengan subyek-subyek ilmu pengetahuan yang diajarkan dalam proses pendidikan. Keempat, masa klasik. Terminologi masa klasik ini memberi membuka peluang untuk diperdebatkan : sejak dan hingga kapan(?). Apakah dalam kacamata dunia muslim atau penulis barat. Sebab, para penulis Barat mengidentikkan abad ke-7 hingga abad ke-12/13 M. sebagai zaman kegelapan (dark age); sementara para penulis musllim mengidentikkannya dengan masa keemasan (al-‘ashr al-dzahabi).[4] Untuk memperoleh kejelasan batasan waktu, penulis membatasi masa klasik dalam kacamata penulis muslim, seperti batasan yang dilakukan Harun Nasution. Ia mengklasifikasi sejarah Islam pada tiga masa: [a] periode klasik dimulai tahun 650 hingga 1250 M., sejak Islam lahir hingga kehancuran Baghdad [b] periode pertengahan sejak tahun 1250 hingga 1800 M., sejak Bghdad hancur hingga munculnya ide-ide pembaharuan di Mesir dan c] periode modern, mulai tahun 1800 M. hingga sekarang.[5] Dengan demikian, masa klasik dalam pembahasan makalah in dibatasi sejak masa Rasulullah hingga Baghdad dihancurkan oleh Hulago Khan, tepatnya tanggal 10 Pebruari 1258 M.[6] Untuk memudahkan dalam uraian, makalah ini akan menjadi beberapa periode, yaitu periode Rasulullah, Khulafa al-Rasyidin, Dinasti Umayyah, dan Dinasti ‘Abbasiyah. 

 PENDIDIKAN ISLAM PADA MASA KLASIK: 
Pendidikan Islam Masa Rasulullah [611-632 M./12 SH.-11 H.] 

Pendidikan pada masa Rasulullah dapat dibedakan menjadi dua periode: periode Makkah dan periode Madinah. Pada periode pertama, yakni sejak Nabi diutus sebagai rasul hingga hijrah ke Madinah—kurang lebih sejak tahun 611-622 M. atau selama 12 tahun 5 bulan 21 hari–, sistem pendidikan Islam lebih bertumpu kepada Nabi. Bahkan, tidak ada yang mempunyai kewenangan untuk memberikan atau menentukan materi-materi pendidikan, selain Nabi. Nabi melakukan pendidikan dengan cara sembunyi-sembunyi terutama kepada keluarganya, disamping dengan berpidato dan ceramah ditempat-tempat yang ramai dikunjungi orang. Sedangkan materi pengajaran yang diberikan hanya berkisar pada ayat-ayat al-Qur’an sejumlah 93 surat[7] dan petunjuk-petunjuknya (baca: sunnah danhadist).[8] Sebelum kelahiran Islam, masa jahiliyah, “institusi” pendidikan kuttab telah berdiri.[9] Masyarakat Hijaz telah belajar membaca dan menulis kepada masyarakat Hirah, dan masyarakat Hirah belajar kepada masyarakat Himyariyin.[10] Adapun orang yang pertama kali belajar membaca dan menulis diantara penduduk Makkah adalah Sufyan Ibn Umayah dan Abu Qais ibn ‘Abd al-Manaf, yang keduanya belajar kepada Bisyr ibn ‘Abd al-Malik. Kepada keduanyalah, penduduk Makkah belajar membaca dan menulis.[11] Oleh karena itu, agaknya dapat dipahami ketika Nabi menyiarkan ajaran Islam (kurang lebih tahun 610-an M.), di masyarakat Quraisy, baru ada 17 laki-laki[12] yang pandai baca-tulis dan 5 wanita.[13] Secara umum, materi al-Quran dan petuah-petuah Rasul itu menerangkan tentang kajian keagamaan yang menitikberatkan pada teologi dan ibadah, seperti beriman kepada Allah, para rasul-Nya, dan hari kemudian, serta amal ibadah, yaitu shalat. Zakat sendiri ketika itu belum menjadi materi pendidikan, karena zakat pada masa itu lebih difahami dengan sedekah kepada fakir miskin dan anak-anak yatim. Selain itu, materi akhlak juga telah diajarkan agar manusia bertingkah laku dengan akhlak mulia dan menjauhi kelakuan jahat. Adapun materi-materi scientific belum dijadikan sebagai mata pelajaran. Nabi ketika itu hanya memberikan dorongan untuk memperhatikan kejadian manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, dan alam raya.[14] Pada periode di Madinah, tahun 622-632 M. atau tahun 1-11 H., usaha pendidikan Nabi yang pertama adalah membangun ‘institusi’ masjid. Melalui pendidikan masjid ini, Nabi memberikan pengajaran dan pendidikan Islam. Ia memperkuat persatuan di antara kaum muslim dan mengikis habis sisa-sisa permusuhan, terutama antar penduduk Anshar dan penduduk Muhajirin. Pada periode ini, ayat-ayat al-Quran yang diterima sebanyak 22 surat, sepertiga dari isi al-Quran. Secara umum, materi pendidikan berkisar pada empat bidang: pendidikan keagamaan, pendidikan akhlak, pendidikan kesehatan jasmani, dan pengetahuan yang berkaitan dengan kemasyarakatan. Pada bidang keagamaan tediri dari keimanan dan ibadah, seperti shalat, puasa, haji, dan zakat. Pendidikan akhlak lebih menekankan pada penguatan basis mental yang telah dilakukan pada periode Makkah. Pendidikan kesehatan jasmani lebih ditekankan pada penerapan dari nilai-nilai yang dipahami dari amaliah ibadah, seperti makna wudlu, shalat, puasa, dan haji. Sedangkan pendidikan yang berkaitan dengan kemasyarakatan meliputi pada bidang sosial, politik, ekonomi, dan hukum. Masyarakat diberi pendidikan oleh rasul tentang kehidupan berumah tangga, warisan, hukum perdata dan pidana, perdagangan, dan kenegaraan serta lain-lainnya.[15] Metode yang dikembangkan oleh Nabi dalam bidang keimanan adalah tanya jawab dengan perasaan yang halus dan didukung bukti-bukti rasional dan ilmiah. Batasan rasional dan ilmiah di sini dipahami menurut kemampuan pikiran orang yang diajak dialog. Metode pendidikan yang dipakai pada materi ibadah biasanya menggunakan metode peneladanan, yakni Nabi memberikan contoh dan petunjuk serta amalan yang jelas sehingga masyarakat mudah untuk menirunya. Sedangkan pada bidang akhlak, Nabi membacakan ayat-ayat al-Quran yang berisi kisah-kisah umat terdahulu yang kemudian dijabarkan makna dari kisah-kisah itu. Sungguhpun demikian, pada materi akhlak ini, Nabi lebih menitikberatkan pada metode peneladanan. Nabi tampil dalam kehidupan sebagai orang yang memiliki kemuliaan dan keagungan, baik dalam ucapan, perbuatan, maupun tindakannya.[16] Pendidikan Islam Masa Khulafa al-Rasyidin [632-661 M./12-41 H.] Sistem pendidikan Islam pada masa khulafa al-Rasyidin dilakukan secara mandiri, tidak dikelola oleh pemerintah, kecuali pada masa khalifah Umar ibn Khattab yang turut campur dalam menambahkan kurikulum di lembaga kuttab. Para sahabat yang memiliki pengetahuan keagamaan membuka majlis pendidikan masing-masing, sehingga, pada masa Abu Bakar misalnya, lembaga pendidikan kuttab mencapai tingkat kemajuan yang berarti. Kemajuan lembagakuttab ini terjadi ketika masyarakat muslim telah menaklukkan beberapa daerah dan menjalin kontak dengan bangsa-bangsa yang telah maju. Lembaga pendidikan ini menjadi sangat penting sehingga para ulama berpendapat bahwa mengajarkan al-Quran merupakan fardlu kifayah.[17] Menurut Mahmud Yunus, ketika peserta didik selesai mengikuti pendidikan dikuttab mereka melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih “tinggi”, yakni di masjid. Di masjid ini, ada dua tingkat, yakni tingkat menengah dan tingkat tinggi. Yang membedakan di antara pendidikan itu adalah kualitas gurunya. Pada tingkat menengah, gurunya belum mencapai status ulama besar, sedangkan pada tingkat tinggi, para pengajarnya adalah ulama yang memiliki pengetahuan yang mendalam dan integritas kesalehan dan kealiman yang diakui oleh masyarakat.[18] Pada lembaga pendidikan kuttab dan masjid tingkat menengah, metode pengajaran dilakukan secara seorang demi seorang–mungkin dalam tradisi pesantren, metode itu biasa disebut sorogan,[19] sedangkan pendidikan di masjid tingkat tinggi dilakukan dalam salah satu halaqah yang dihadiri oleh para pelajar secara bersama-sama.[20] Pusat-pusat pendidikan pada masa Khulafa al-Rasyidin tidak hanya di Madinah, tetapi juga menyebar di berbagai kota, seperti kota Makkah dan Madinah [Hijaz], kota Bashrah dan Kufah [Irak], kota Damsyik dan Palestina [Syam], dan kota Fistat [Mesir]. Di pusat-pusat daerah inilah, pendidikan Islam berkembang secara cepat.[21] Materi pendidikan yang diajarkan pada masa Khalifah al-Rasyidin sebelum masa Umar ibn Khattab (w. 32 H. /644 M.), unruk kuttab, adalah [a] belajar membaca dan menulis, [b] membaca al-Qur’an dan menghafalnya, [c] belajar pokok–pokok agama Islam, seperti cara wudhu’, shalat, puasa, dan sebagainya. Ketika Umar ibn Khattab diangkat menjadi khalifah, ia menginstruksikan kepada penduduk kota agar anak-anak diajarkan [a] berenang, [b] mengendarai onta, [c] memanah, [d] membaca dan menghafal syair-syair yang mudah dan peribahasa.[22] Sedangkan materi pendidikan pada tingkat menengah dan tinggi terdiri dari [a] al-Qur’an dan tafsirnya, [b] hadits dan mengumpulkannya, [c] dan fiqh (tasyri).[23] Ilmu-ilmu yang dianggap duniawi dan ilmu filsafat belum dikenal sehingga pada masa itu tidak ada. Hal ini di mungkinkan mengingat konstruk sosial-masyarakat ketika itu masih dalam pengembangan wawasan keislaman yang lebih di fokuskan pada pemahaman al-Quran dan Hadits secara literal. Pendidikan Islam Masa Dinasti Umayyah [41-132 H. / 661-750 M.] Secara esensial, pendidikan Islam pada masa Dinasti Umayyah ini hampir sama dengan pendidikan pada masa Khulafa al-Rasyidin. Hanya saja memang ada sisi perbedaan dan perkembangannya sendiri. Perhatian para raja di bidang pendidikan agaknya kurang memperlihatkan pada perkembangannya yang maksimal, sehingga pendidikan berjalan tidak diatur oleh pemerintah, tetapi oleh para ulama yang memiliki pengetahuan yang mendalam. Kebijakan-kebijakan pendidikan yang dikeluarkan oleh pemerintah hampir-hampir tak ditemukan. Jadi, sistem pendidikan Islam ketika itu masih berjalan secara alamiah. Ada dinamika tersendiri yang menjadi karakteristik pendidikan Islam masa ini, yakni dibukanya wacana kalam (baca: disiplin teologi) yang berkembang ditengah-tengah masyarakat. Sebagaimana dipahami dari konstruksi sejarah bani Umayyah–yang bersamaan dengan kelahirannya hadir pula tentang polemik tentang orang yang berbuat dosa besar–,[24] wacana kalam tidak dapat dihindari dari perbincangan kesehariannya, meskipun wacana ini dilatarbelakangi oleh faktor-faktor politis. Perbincangan ini kemudian telah melahirkan sejumlah kelompok yang memiliki paradigma berfikir secara mandiri. Oleh karena kondisi ketika itu diwarnai oleh kepentingan-kepentingan politis dan golongan maka didunia pendidikan, terutama didunia sastra, sangat rentan dengan identitasnya masing-masing. Sastra Arab, baik dalam bidang syair, pidato (khitabah), dan seni prosa, mulai menunjukkan kebangkitannya. Para raja mempersiapkan tempat balai-balai pertemuan penuh hiasan yang indah dan hanya dapat dimasuki oleh kalangan sastrawan dan ulama-ulama terkemuka. Menurut Muhammad ‘Athiyah al-abrasyi, “Balai-balai pertemuan tersebut mempunyai tradisi khusus yang mesti diindahkan;seseorang yang masuk dimana khalifah hadir, mestilah berpakaian necis, bersih dan rapi, duduk ditempat yang sepantasnya, tidak tertawa terbahak-bahak dan tidak meludah dan tidak mengingus dan tidak menjawab kecuali bila ditanyai. Ia tidak boleh bersuara keras dan harus belajar menjadi pendengar yang baik, sebagaiman ia harus belajar bertukar kata dengan sopan dan memberi kesempatan kepada si pembicara menjelaskan pembicaraannya, serta menghindari penggunaan kata-kata yang kasar dan gelak-tertawa terbahak-bahak. Dalam balai-balai pertemuan seperti ini, disediakan pokok-pokok persoalan untuk dibicarakan, didiskusikan, dan diperdebatkan”.[25] Pada zaman ini, juga dapat disaksikan adanya gerakan penerjemahan ilmu-ilmu dari bahasa lain ke dalam bahasa Arab, tetapi penerjemahan itu terbatas pada ilmu-ilmu yang mempunyai kepentingan praktis, seperti ilmu kimia, kedokteran, falak, ilmu tatalaksana, dan seni bangunan. Pada umumnya, gerakan penerjemahan ini terbatas kepada orang-orang tertentu dan atas usaha sendiri, bukan atas dorongan negara dan tidak dilembagakan. Menurut Franz Rosenthal, orang yang pertama kali melakukan penerjemahan ini adalah Khalid ibn Yazid, cucu dari Muawiyah.[26] Selain beberapa materi di atas, pada masa ini juga tampaknya masih melanggengkan ilmu-ilmu yang diletakkan pada masa sebelumnya, seperti ilmu tafsir. Ilmu ini semakin menjadi niscaya dan memiliki makna yang strategis. Di samping karena faktor luasnya kawasan Islam ke beberapa daerah luar Arab yang membawa konsekwensi lemahnya rasa seni sastra Arab, juga karena banyak orang yang masuk Islam. Hal ini mengakibatkan pencemaran bahasa al-Quran dan pemaknaan al-Quran yang digunakan untuk kepentingan golongan tertentu. Pencemaran al-Quran juga disebabkan oleh karena faktor interpretasi yang didasarkan pada kisah-kisah Israiliyat dan Nasraniyat. Bersamaan dengan itu, kemajuan yang diraih dalam dunia pendidikan pada saat itu adalah dikembangkannya ilmu nahwu yang digunakan untuk memberikan tanda baca, pencatatan kaidah-kaidah bahasa, dan periwayatan bahasa. Sungguhpun terjadi perbedaan mengenai penyusun ilmu nahwu, tetapi disiplin ilmu ini menjadi ciri kemajuan tersendiri pada masa ini.[27] Selain disiplin ilmu tafsir, hadits dan ilmu hadits pada masa ini juga mendapat perhatian secara serius. Periwayatan hadits sehingga dapat dipertanggungjawabkan baik secara ilmiah maupun secara moral mendapat perhatian luas. Namun, keberhasilan yang diraihnya adalah semangat untuk mencari hadits, belum mencapai pada tahap kodifikasi. Khalifah Umar ibn Abd al-Aziz yang memerintah hanya dua tahun, yakni tahun 99-101 H./717-720 M., pernah mengirim surat pada Abu Bakr ibn Muhammad ibn Amir ibn Ham dan kepada ulama-ulama yang lain untuk menuliskan dan mengumpulkan hadits-hadits. Akan tetapi, hingga dengan masa akhir kepemerintahannya, hal itu tidak terlaksana. Sungguhpun demikian, perintah Umar ibn al-Aziz telah melahirkan metode pendidikan alternatif, yakni para ulama mencari hadits ke berbagai tempat dan orang yang dianggap mengetahuinya yang kemudian dikenal dengan metoderihlah. Di bidang hukum fiqh, secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu aliran ahli al-ra’y dan aliran ahl al-hadits. Kelompok aliran pertama mengembangkan hukum Islam dengan menggunakan analogi (baca: qiyas) bila terdapat masalah yang belum ditentukan hukumnya. Aliran ini berkembang di Irak yang dimotori oleh Syuriah ibn al-Harits (w. 78 H./697 M.), Alqamah ibn Qais (w. 62 H./681 M.), Masruq al-Ajda’ (w. 63 H./682 M.), al-Aswad ibn Yazid (w. 95 H./913 M.), yang kemudian diikuti oleh Ibrahim al-Nakhai (w. 95 H./913 M.), dan Amr ibn Syurahbil al-Sya’by (w. 104 H./722 M.). Sesudah itu digantikan oleh Hammad ibn Abu Sulaiman (w. 120 H./737 M.), yang kemudian menjadi guru Abu Hanifah. Aliran kedua, ahl al-hadits, lebih berpegang pada dalil-dalil secara literal, bahkan aliran ini tidak akan memberikan fatwa jika tidak ada ayat al-Quran atau hadits yang menerangkannya. Di antara pelopor aliran ini adalah Ibn Syihab al-Zuhri (w. 124 H./741 M.), dan Nafi’ Maula Abdullah ibn Umar (w. 117 H./735 M.) yang keduanya merupakan guru imam Malik ibn Anas (w. 117 H./735 M.). Pada masa ini dinamika disiplin fiqh menunjukkan perkembangan yang sangat berarti. Periode ini telah melahirkan sejumlah mujtahid-mujtahid fiqh. Ketika akhir masa Umayyah, telah lahir tokoh madzhab fiqh yakni Imam Abu Hanifah di Irak (lahir 80 H./699 M.) dan Imam Malik ibn Anas di Madinah (lahir 96 H./714 M.), sedangkan Imam al-Syafi’i dan Imam Ahmad ibn Hanbal lahir pada masa Abbasiyah.[28] Di antara jasa dinasti Umayah dalam bidang pendidikan, menurut Hasan Langgulung, adalah menekankan ciri ilmiah pada masjid sehingga menjadi pusat perkembangan ilmu dalam tahap perguruan tinggi dalam masyarakat Islam. Dengan penekanan ini, di masjid diajarkan beberapa macam ilmu, di antaranya syair, sastra, kisah-kisah bangsa dulu, dan teologi dengan menggunakan metode debat. Dengan demikian, periode antara permulaan abad kedua hijriah sampai akhir abad ketiga hijriah merupakan zaman pendidikan masjid yang paling cemerlang.[29] Pendidikan Islam Masa Dinasti Abbasiyah [132-656 H./750-1258 M.] Charles Michael Stanton berkesimpulan bahwa sepanjang masa klasik Islam, penentuan sistem dan kurikulum pendidikan berada di tangan ulama, kelompok orang-orang yang berpengetahuan dan diterima sebagai otoritatif dalam soal-soal agama dan hukum,[30] bukan ditentukan oleh struktur kekuasaan yang berkuasa. Agaknya, kesimpulan ini tidak dapat dipertahankan seutuhnya, terutama, ketika dihadapkan dengan kenyataan kasus lembaga pendidikan madrasah al-mustansiriyah. Sebagaimana hasil penelitian Hisam Nashabe, negara melakukan kontrol terhadap pengaruh-pengaruh yang ditimbulkan oleh madrasah itu, bahkan juga melakukan investigasi metode pengajarannya.[31] Dengan intervensi semacam ini dimungkinkan negara (state) menetapkan struktur kurikulum yang dijalankan oleh lembaga-lembaga pendidikan di kalangan masyarakat luas. Sekedar untuk menetralisasi perdebatan di atas, agaknya kesimpulan Stanton itu lebih ditujukan pada lembaga pendidikan yang tidak berbentuk madrasah, sepertikuttab. Sebab, sistem pendidikan yang dioperasikan oleh madrasah ternyata memiliki kepentingan-kepentingan tertentu, baik kepentingan madzhab fiqh, teologi, atau kepentingan politis. Bahkan, dalam tradisi pendidikan klasik, madrasah itu dibangun atas dasar wakaf seseorang yang dalam kebiasaannya memang menargetkan tujuannya masing-masing.[32] Menurut Hasan ‘Abd al-‘Al, seorang ahli pendidikan Islam alumni Universitas Thantha, dalam tesisnya menyebutkan tujuh ‘lembaga’ pendidikan yang telah berdiri pada masa Abbasiyah ini, terutama pada abad ke-4 Hijriyah. Ketujuh lembaga itu adalah [a] lembaga pendidikan dasar [al-kuttab], [b] lembaga pendidikan masjid [al-masjid], [c] kedai pedagang kitab [?], [al-hawanit al-waraqin], [d] tempat tinggal para sarjana [manazil al-‘ulama], [e] sanggar seni dan sastra [al-shalunat al-adabiyah], [f] perpustakaan [dawr al-kutub wa dawr al-‘ilm], dan [g] lembaga pendidikan sekolah [al-madrasah].[33] Semua ‘institusi’ itu memiliki karakteristik tersendiri dan kajiannya masing-masing. Sungguhpun demikian, secara umum, seluruh lembaga pendidikan itu dapat diklasifikasikan menjadi tiga tingkat. Pertama, tingkat rendah yang terdiri dari kuttab, rumah, toko, dan pasar, serta istana. Kedua, tingkat sekolah menengah yang mencakup masjid, dan sanggar seni, dan ilmu pengetahuan, sebagai lanjutan pelajaran di kuttab. Ketiga,tingkat perguruan tinggi yang meliputi masjid, madrasah, dan perpustakaan, seperti Bait al-Hikmah di Baghdad dan Dar al-‘ulum di Kairo. Pada tingkat pertama, yakni tingkat pendidikan rendah, kurikulum yang diajarkannya meliputi [a] membaca al-quran dan menghafalnya, [b] pokok-pokok agama Islam, seperti wudlu, shalat, dan puasa, [c] menulis, [d] kisah orang-orang yang besar, [e] membaca dan menghafal syair-syair, [f] berhitung, dan [g] pokok-pokok nahwu dan shorof alakadarnya. Sungguhpun demikian, kurikulum seperti ini tidak dapat dijumpai di seluruh penjuru, tetapi masing-masing daerah terkadang berbeda. seperti pendapat Ibn Khaldun yang dikutip oleh Hasan ‘Abd al-‘Al, di Maroko (Maghribi) hanya diajarkan al-Quran dan rasm (tulisan)nya. Di Andalusia, diajarkan al-Quran dan menulis serta syair, pokok-pokok nahw dan sharf serta tulisan indah (khath). Di Tunisia (Afriqiah) diajarkan al-Quran, hadits dan pokok-pokok ilmu agama, tetapi lebih mementingkan hafalan al-Quran. Waktu belajar di kuttab dilakukan pada pagi hari hingga waktu shalat Ashar mulai hari Sabtu sampai dengan hari Kamis. Sedangkan hari Jum’at merupakan hari libur. Selain hari Jum’at, hari libur juga pada setiap tanggal 1 Syawal dan tiga hari pada hari raya Idhul Adha. Jam pelajaran biasanya dibagi tiga. Pertama, pelajaran al-Quran dimulai dari pagi hari hingga waktu Dhuha. Kedua, pelajaran menulis dimulai pada waktu Dhuha hingga waktu Zhuhur. Setelah itu anak-anak diperbolehkan pulang untuk makan siang. Ketiga, pelajaran ilmu lain, seperti nahwu, bahasa Arab, syair, berhitung, dan lainnya, dimulai setelah Zhuhur hingga akhir siang [Ashar]. Pada tingkat rendah ini, tidak menggunakan sistem klasikal, tanpa bangku, meja, dan papan tulis. Guru mengajar murid-muridnya dengan berganti-ganti satu persatu. Begitu juga tidak ada standar buku yang dipakai. Pada jenjang pendidikan dasar, metode yang dipakai adalah metode pengulangan dan hafalan. Artinya, guru mengulang-gulang bacaan al-Quran didepan murid dan murid mengikutinya yang kemudian diharuskan hafal bacaan-bacaan itu. Bahkan, hafalan ini tidak terbatas pada materi-materi al-Quran atau hadits, tetapi juga pada ilmu-ilmu lain. Tak terkecuali untuk pelajaran syair, guru mengungkapkan syair dengan lagu (wazn) yang paling mudah sehingga murid mampu menghafalkannya dengan cepat. Pada jenjang pendidikan menengah disediakan pelajaran-pelajaran sebagai berikut. [a] al-Quran, [b] bahasa Arab dan kesusasteraan, [c] fiqh, [d] tafsir, [e] hadits, [f] nahw / sharf / balaghah, [g] ilmu-ilmu eksakta, [h] mantiq, [i] falak, [j] tarikh, [k] ilmu-ilmu kealaman, [l] kedokteran, [m] musik.[38] Seperti halnya pendidikan rendah, kurikulum jenjang pendidikan menengah dibeberapa daerah juga berbeda. Menurut Hasan ‘Abd al-‘Al, metodologi pengajaran disesuaikan dengan materi yang bersangkutan. Menurutnya, secara garis besar metode pengajaran dibedakan menjadi dua. Pertama, metode pengajaran bidang keagamaan [al-manhaj al-diniy al-adabiy] yang diterapkan pada materi-materi berikut: [a] Fiqh [‘ilm al-fiqh], [b] tata bahasa [‘ilm al-Nahw], [c] teologi [‘ilm al-kalam], [d], menulis [al-kitabah], [e] Lagu [‘arudh], [f] sejarah [‘ilm al-akhbar terutama tarikh]. Keduametode pengajaran bidang intelektual [alm manhaj al’ilmiy al-adabiy] yang meliputi olahraga [al-riyadhah], ilmu-ilmu eksakta [al-thabi’iyah], filsafat [al-falasafah], kedokteran [thibb], dan musik yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, serta ilmu-ilmu kebahasaan dan keagamaan yang lain. Jenjang pendidikan tingkat tinggi tampaknya memiliki perbedaan di masing-masing lembaga pendidikan. Namun, secara umum lembaga pendidikan tingkat tinggi mempunyai dua fakultas. 
Pertama, fakultas ilmu-ilmu agama serta bahasa dan sastra Arab. Fakultas ini mengkaji ilmu-ilmu berikut: 
 [a] Tafsir al-Quran, 
[b] Hadits, 
[c] Fiqh dan Ushul al-Fiqh, 
[d] Nahw / Sharf, 
[e] Balaghah, 
[f] bahasa dan satra Arab. 
Kedua, fakultas ilmu-ilmu hikmah [filsafat]. Fakultas ini mempelajari ilmu-ilmu berikut: 
[a] manthiq, [b] ilmu-ilmu alam dan kimia, [c] musik, [d] ilmu-ilmu eksakta, [e] ilmu ukur, [f] falak, [g] ilmu-ilmu teologi, 
[h] ilmu hewan, 
[i] ilmu-ilmu nabati, dan 
[j] ilmu kedokteran. 

Semua mata pelajaran ini diajarkan di perguruan tinggi dan belum diadakan spesialisasi mata pelajaran tertentu. Spesialisasi itu ditentukan setelah tamat dari perguruan tinggi, berdasarkan bakat dan kecenderungan masing-masing sesudah praktek mengajar beberapa tahun. Hal ini dibuktikan oleh Ibn Sina, sebagaimana diterangkan dalam karya Thabaqat athibba, bahwa setelah Ibn Sina menamatkan pendidikan tingkat menengah dalam usia 17 tahun, ia belajar lagi selama 1,5 tahun. Ia mengulang membaca mantiq dan filsafat kemudian ilmu-ilmu eksakta dan ilmu-ilmu kealaman. Kemudian ia mengkaji ilmu ketuhanan dengan membaca kitab Ma Wara al-Thabi’ah (metafisika) karya Aristoteles, juga karya-karya al-Farabi. Ibn Sina mendapat kesempatan membaca literatur-literatur di perpustakaan al- Amir, seperti buku-buku kedokteran, bahasa Arab, syair, fiqh, dan sebagainya. Literatur-literatur itu dibacanya sehingga ia mendapat hasil yang memuaskan. Ia selesai studi disana dalam usia 18 tahun. Hal ini seperti berlaku juga kepada orang lain. Metode yang dipakai dalam lembaga pendidikan tingkat tinggi adalah halaqah. Guru duduk diatas tikar yang dikelilingi oleh para mahasiswanya. Guru memberikan materi kepada semua mahasiswa yang hadir. Jumlah mahasiswa yang mengikuti tergantung kepada guru yang mengajar. Jika guru itu ulama besar dan mempunyai kredibilitas intelektual maka para mahasiswanya banyak. Akan tetapi, jika sebaliknya niscaya sepi dari para mahasiswa, bahkan mungkin jadihalaqah-nya ditutup. Menurut Charles Michael Stanton, sebelum guru menyampaikan materi, ia terlebih dahulu menyususn ta’liqah. Ta’liqah ini memuat silabus dan uraiannya yang disusun oleh masing-masing tenaga pengajar berdasarkan catatan perkuliahannya ketika menjadi mahasiswa, hasil bacaan, dan pendapatnya tentang materi yang bersangkutan. Ta’liqah mengandung rincian-rincian materi pelajaran dan dapat disampaikan untuk jangka waktu empat tahun. Mahasiswa menyalin ta’liqah itu dalam proses dikte, bahkan kebanyakan mereka betul-betul menyalin. Akan tetapi, sebagian yang lain, menambahkan pada salinan ta’liqah ini dengan pendapatnya sendiri-sendiri sehingga ta’liqah nya merupakan refleksi pribadi tentang materi kuliah yang disampaikan gurunya.[42] Menurut Hasan ‘Abd al-‘Al, metode pendidikan yang dilakukan pada jenjang tingkat tinggi ini meliputi metode-metode sebagai berikut. Pertama, metode ceramah [al-muhadlarah]. Dalam metode ini, guru menyampaikan materi kepada semua mahasiswa dengan diulang-ulang sehingga mahasiswa hafal terhadap apa yang dikatakannya. Pada metode ini, terbagi menjadi dua cara, metode dikte [al-imla] dan metode pengajuan kepada guru [al-qiraat ‘ala al syaikh aw al-‘ardl]. Kedua, metode diskusi [al-munadzarah]. Metode ini digunakan untuk menguji argumentasi-argumentasi yang diajukan sehingga dapat teruji. Metode ini oleh kalangan Mu’tazilah menjadi salah satu pilar yang sangat penting dalam sistem pendidikannya. Ketiga, metode koresponden jarak jauh [al-ta’lim bi al-murasilah]. Metode ini merupakan salah satu metode yang digunakan oleh para mahasiswa yang menanyakan suatu masalah kepada guru yang jauh secara tertulis, lalu guru itu memberikan jawabannya secara tertulis pula. Keempat, metode rihlah ilmiah. Metode in dilakukan oleh para mahasiswa baik secara pribadi maupun secara berkelompok dengan cara mendatangi guru dirumahnya—yang biasanya jarak jauh—untuk berdiskusi tentang suatu topik. Guru yang didatangi biasanya adalah guru yang dianggap memiliki keahlian dalam bidangnya. Mahasiswa yang telah menamatkan pendidikannya diberikan ijazah. Mahasiswa itu telah lulus ujian dan mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan ketika munaqasyah. Ijazah terkadang dalam bentuk lisan dan dalam bentuk tulisan. Ijazah ini tidak diberikan oleh sekolah, tetapi oleh guru yang mengajarinya. Dengan diberikannya ijazah berarti yang bersangkutan diperbolehkan meriwayatkan atau menyampaikan pelajaran kepada mahasiswa yang lain. PENUTUP Sebuah Catatan Akhir Uraian diatas sesungguhnya telah memperlihatkan bahwa pendidikan Islam pada masa klasik memiliki karakteristik masing-masing. Karakteristik itu agaknya dipengaruhi oleh tujuan pendidikan pada masanya. Pada masa Nabi hingga Bani Umayyah, misalnya, terlihat adanya tujuan pendidikan untuk kepentingan keagamaan, sehingga materi pendidikannya pun adalah berkisar pada masalah-masalah keagamaan an sich. Sedangkan pada masa Abbasiyah yang wilayah kekuasaan Islam semakin jauh dan problematika serta perkembangan peradabannya yang cukup tinggi, tujuan pendidikannya tidak hanya sekedar untuk kepentingan keagamaan semata, tetapi juga tampaknya memiliki kepentingan lain, seperti kepentingan ekonomi dan kepentingan kelompoknya. Pergeseran dibidang metode disebabkan oleh karena bermacam-macamnya disiplin ilmu pengetahuan yagn menuntut metodologi pengajaran yang lebih efektif. Tentu saja, materi-materi keagamaan akan menggunakan metode yang berbeda dengan materi-materi eksakta. Pada masa awal, karena materi yang dikenal relatif sedikit maka metodenya pun lebih terbatas jika dibandingkan dengan pendidikan pada masa Abbasiyah. Secara umum, sistem pengelolaan pendidikan pada masa klasik tampaknya lebih ditentukan oleh kekuatan ulama [orang yang memiliki komitmen intelektual] daripada kekuatan negara [orang yang memiliki kekuasaan]. Baik pada masa Nabi maupun hingga pada masa Abbasiyah, para tokoh agama memiliki otoritas untuk menentukan sistem pendidikannya. Hal ini berlainan ketika sistem pendidikan yang digunakan adalah sistem madrasah. Pada madrasah, biasanya yang mempunyai otoritas kekuasaan dalam pengelolaan pendidikan adalah penguasa atau orang yang memberikan harta wakafnya. Wa Allah A’lam bi al-Shawab. 

KONSTRUKSI SOSIAL-KEAGAMAAN DAN TRADISI PENDIDIKAN DI INDONESIA 

Awal Abad Ke-20 Hingga Kemerdekaan Untuk melihat respon masyarakat, terutama dalam aspek pendidikan, terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah kolonial abad XX, diantaranya, dapat dilihat dari dua sisi. Pertama, tradisi keagamaan yang berkembang dimasyarakat indonesia sebagai konsekuensi dari persentuhan dengan ide-ide pembaharuan islam. Kedua, fenomena kebijakan pemerintahan kolonial dalam bidang pendidikan yang kemudian direspon oleh masyarakat. Sebagai agama yang universal, islam membawakan peradabannya sendiri, tak terkecuali dibidang pendidikan, yang berakar pada tradisi yang sangat panjang sejak masa Rasulullah Saw. Tradisi pendidikan islam di indonesia tidak sepenuhnya khas indonesia, kecuali hanya menambahkan muatan dan corak keislaman terhadap tradisi pendidikan yang sudah ada, terutama yang bermula dari agama Hindu. IP Simanjuntak berargumen bahwa “masuknya agama islam tidak mengubah hakikat pengajaran agama yang formil; yang berubah sejak pengembangan agama islam, ialah: isi agama yang dipelajari, bahasa yang menjadi wahana bagi pelajaran agama itu, serta latar belakang pelajaran-pelajaran. 

 KONTAK DENGAN GAGASAN PEMBAHARUAN 

Kehadiran gerakan pembaharuan di Indonesia pada awal abad XX dilatarbelakangi oleh kesadaran dan semangat yang komplek. Usaha pembaharuan yang dimaksudkan untuk melakukan pemurnian ajaran islam dengan mengembalikan praktik-praktik keagamaan itu kepada sumber utamanya dan memisahkannya dari adat dan kebiasaan lokal. Usaha pembaharuan dalam kenyataannya menimbulkan ketegangan dan bahkan gejolak sosial, yang biasa dikenal dengan pertentangan antara kaum muda-yang mewakili kaum pembaharu –dengan kaum tua-yang mewakili kalangan konservatif. Dalam mempertahankan pendirian masing-masing kelompok, lembaga-lembaga pendidikan dijadika sebagai alat sosialisasi ide dan bahkan mobilisasi massa. Dalam kejadian ini, kaum muda menjadikan madrasah sebagai pusat konsolidasi ide dan mobolisasi massa, sedangkan kaum tua menjadikan surau sebagai pusat untuk kepentingan yang sama. Seperti pembaharu di timur tengah pada abad XIX, khususnya Jamaluddin al-afgani dan Muhammad Abduh, pemikiran dan usaha mereka bertumpu kepada keyakinan bahwa islam adalah agama yang sangat mendorong penggunaan akal sehingga keharusan ijtihad tidak pernah tertutup. pengaruh tokoh pembaharu timur tengah terhadap gerakan umat islam di Indonesia dimungkinkan antara lain karena terbukanya kesempatan untuk memperdalam islam dibeberapa pusat pendidikan islam Arab, khususnya khairo, madinah, dan mekkah. Diperkirakan pada saat itu, bahwa sejak awal abad XIX, kairom tetap dipandang sebagai sentral penerbitan, baik untuk buku dan jurnal berbahasa arab maupun melayu. Penyebaran ide-ide pembaharuan berjalan lebih intensif setelah muncul majalah berbahasa melayu, al-imam di singapura antara 1906-1977, dan al-manar di padang antara 1911-1916. hal yang sama juga dilakukan oleh jurnal dalam bahasa Arab, al-irsyad terbit dipekalongan, jawa tengah, dan dikelola oleh mesyarakat Indonesia keturunan Arab Hadramaut. 

TRADISI PENDIDIKAN 

Sesuai dengan uraian sebelumnya, pengembangan pendidikan bagi masyarakat bumi putera, diperkirakan oleh para ahli belanda sendiri bahwa pemerintah Hindia Belanda akan memanfaatkan tradisi pendidikasn rakyat yang sudah berkembang, yakni pendidikan islam. Akan tetapi, secara teknis usulan itu sulit dipenuhi karena tradisi pendidikan islam waktu itu dipandang memiliki kebiasaan-kebiasaan yang dianggap jelek, baik dari sudut kelembagaan, kurikulum, maupun metode pengajarannya. Sistem persekolahan pemerintahan Hindia belanda untuk rakyat Indonesia pada mulanya terbatas untuk kalangan bangsawan, yakni sekolah kelas satu (hollands school).sekolah-sekolah ini diselenggarakan untuk tujuan mencetak pegawai-pegawai pemerintah, juga pegawai perdagangan dan perusahaan. Setelah mengalami perubahan-perubahan, masing-masing sekolah memakan waktu tujuh tahun dan lima tahun. Dalam politik pendidikan pemerintah Hindia Belanda, pendirian sekolah-sekolah ini merupakan langkah susulan setelah sebelumnya pemerintah hanya menyediakan pendidikan bagi kalangan belanda sendiri. Pemerintah Hindia belanda juga menyediakan pengembangan sistem persekolahan untuk rakyat secara luas dengan biaya yang murah. Sekolah ini disebut dengan sekolah desa, sangatlah banyak peminatnya, namun Pemerintah Hindia belanda sekolah-sekolah yang lebih tinggi. Pada awalnya sekolah ini terbatas bagi kalangan belanda dan eropa sendiri, tetapi kemudian sedikit demi sedikit dibuka kesempatan bagi kalangan bangsawan. Karena biayanya yang mahal serta pereturannya yang ketat, rakyat pada umumnya tidak bisa menikmati jenjang sekolah yang lebih tinggi ini. Jika disekolah desa, mata pelajaran terbatas pada membaca, menulis, dan berhitung, pada sekolah-sekolah yang lebih tinggi mata pelajarannya sudah menyangkut bahasa dan pengetahuan umum yang lebih luas. Dengan kata lain, pemerintah Hindia Belanda tetap memberlakukan sistem dikriminasi dalam lapangan pendidikan untuk keuntungan kalangan Belanda sendiri. Perkembangan sekolah yang semakin merakyat dalam batas yang cukup jauh telah merangsang kalangan islam untuk memberikan respon. Dalam hal ini mereka memikirkan bahwa diskriminasi untuk mendapatkan kesempatan pendidikan yang seluas-luasnya masih sangat tampak dalam politik dan kebijakan pemerintah Hindia Belanda. Dengan hal yang demikian, pendidikan islam sudah saatnya untuk menawarkan pola pendidikan yang lebih maju, baik dalam hal kelembagaan, struktur materi, maupun metodologinya, sehingga dapat mengimbangi sekolah-sekolah ala Belanda. Usaha untuk mendirikan lembaga pendidikan islam yang sebanding dengan sekolah ala belanda dalam perkembangannya menjadi agenda bagi hampir semua organisasi dan gerakan islam di Indonesia. Muhammadiyah, Nahdatul Ulama, Jami’atul khair, persatuan umat islam, persatuan islam, al-irsyad, al-washliyah, persatuan tarbiyah islamiyah, dan organisasi islam lainnya memiliki bagian khusus dalam rangka pendirian madrasah-madrasah diberbagai daerah. Dengan mendirikan madrasah, umat islam agaknya telah memberikan respon yang cukup tepat terhadap kebijakan pemerintah Hindia Belanda sehingga pendidikan islam disatu sisi tidak terlalu tertinggal, dan disisi lain tetap mempertahankan ciri-ciri keislamannya secara kuat. 

KEBIJAKAN PENDIDIKAN PEMERINTAH KOLONIAL BELANDA 

Awal Abad Ke-20 Hingga Kemerdekaan Sebelum mengkaji perkembangan sosial-politik yang terjadi pada abad ke-20, ada baiknya melihat masa-masa sebelum masa itu. Jauh sebelum abad ke-19 masyarakat Indonesia telah mengalami tekanan dari kekuatan-kekuatan eropa, pada tahun 1825, pemerintah kolonial Belanda mentradisikan sebuah model penetrasi baru yang kemudian dikenal dengan sistem “Tanam paksa”. Pada tahun 1870, pemerintah kolonial Belanda menerapkan undang-undang kolonial yang mengatur hidup rakyat banyak, termasuk kehidupan keagamaan mereka. Dalam kebijakan ini, muatan yang dikembangkan adalah menitikberatkan kepada kepentingan agama, yakni misi Kristen. Kegiatan kebijakan ini menimbulkan usaha perlawanan dari pihak pribumi dalam bentuk perang. Diantaranya yaitu Perang Jawa (1825-1830), dan Perang Paderi (1821-1838). Perlawanan rakyat yang paling penting adalah Perang Paderi dan Perang Aceh. Dua peperangan ini menandai awal perluasan wilayah kekuasaan kolonial atas seluruh daerah Nusantara. Selanjutnya, pemerintahan kolonial Belanda menjalankan kebijakan “kebijakan Liberal”. Kebijakan ini didisarkan atas seringnya pemberontakan di tingkat lokal, di satu sisi, dan disisi lain tekanan dari kelompok liberal didalam negeri Belanda, setelah tahun 1848 yang memperlonggar “Sistem kultural” sehingga perusahaan luar bisa masuk. Oleh karena masuknya perusahaan itu, tingkat pendidikan di tanah jawa semakin melemah, dan terjadi kemerosotan pendidikan. Kebijakan liberal semakin mendistorsi nilai-nilai kemanusiaan yang fundamental bagi masyarakat pribumi sehingga kemudian diganti dengan kebijakan baru yang disebut “Politik Etis” (ethical policy). Kebijakan baru ini diterapkan sebagai respon masyarakat belanda terhadap penderitaan masyarakat jajahannya. Politik etis mengharuskan belanda untuk memberikan bantuan finansial bagi kesejahteraan rakyat Hindia Belanda, terutama guna pembenahan bidang kesehatan, pendidikan, dan pertanian. Untuk melihat kebijakan pemerintah kolonial Belanda abad ke-20 agaknya tidak dapat dilepaskan dari peranan Snock Hurgronje. Dalam banyak hal, pandangan Hurgronje kebalikan kebijakan pemerintah Belanda yang diterapkan sebelumnya. Hurgronje mengritik habis-habisan kesalahan yang dilakukan oleh pemeriintah belanda yang berkaitan dengan masalah yang melibatkan kaum muslim. Secara umum, kebijakan-kebijakan yang disarankan oleh Hurgronje didasarkan atas tiga prinsip : Pertama, dalam semua masalah ritual keagamaan, atau aspek ibadah dari islam, rakyat Indonesia harus dibiarkan bebas menjalankan nya logika dari balik kebijakan ini adalah membiarkan munculnya keyakinan dalam pikiran banyak orang bahwa pemerintah kolonial Belanda tidak ikut campur dalam masalah keimanan mereka. Kedua, sehubungan dengan lembaga-lembaga sosial islam, atau aspek mu’amalat dalam islam, seperti perkawinan, wakaf, dan hubungan sosial lainnya, pemerintah harus berupaya mempertahankan dan menghormati keberadaannya. Ketiga, dan paling penting, adalah dalam masalah politik, pemerintah dinasihatkan untuk tidak menoleransi kegiatan-kegiatan apapun yang dilakukan oleh kaum muslim yang dapat menyebarkan seruan-seruan Pan-Islamisme atau menyebabkan perlawanan politik atau bersenjata menentang pemerintah kolonial Belanda. Pijakan dasar yang dikembangkan oleh Hurgronje ini sesungguhnya diarahkan untuk mencapai kelanggengan kolonial Belanda di wilayah Hindia Belanda. Aggar kekuasaan belanda dapat dipertahankan terus secara damai, setiap upaya harus diambil untuk menghilangkan jarak kultural ini. Kebijakan Belanda terhadap pendidikan islam pada dasarnya bersifat menekan karena kekhawatiran akan timbulnya militansi kaum muslimin terpelajar. Diantara kebijakan pemerintah kolonial dalam pengawasan pendidikan islam adalah diterbitkannya “Ordonansi Guru”. Pertama dikeluarkan tahun 1905 mengharuskan setiap guru agama islam untuk minta dan memperolahh izin dahulu sebelum melaksanakan tugasnya sebagai guru agama. Sedangkan ordonansi kedua pada tahun 1925 hanya mewajibkan guru agama untuk melaporkan diri. Kedua ordonansi ini dimaksudkan sebagai media pengontrol bagi pemerintah kolonial untuk mengawasi sepak terjang para pengajar dann penganjur agama islam di negeri Nusantara. Ordonansi pengawasan ini dipicu oleh merosotnya ekonomi dunia yang kemudian didengungkan dengan alasan penghematan, kebijakan ini membawa akibat sangat majunya pendidikan kristen di Indonesia. Oleh sebab itulah melatarbelakangi munculnya “Sekolah Liar” pribumi yang bersifat swasta. Menurut S. Nasution, pada dasarnya pendidikan masa kolonial belanda itu memilki ciri-ciri umum sebagai berikut: Pertama, gradualisme yang luar biasa dalam penyediaan pendidikan anak-anak Hindia Belanda. Kedua, dualisme dalam pendidikan dengan menekankan perbedaan yang tajam antara pendidikan Belanda dan pendidikan pribumi. Ketiga, kontrol sentral yang kuat. Segala soal mengenai sekolah, dan hal yang berkaitan dengan sekolah, ditentukan oleh pemerintah pusat. Keempat, keterbatasan tujuan sekolah pribumi dan peranan sekolah untuk menghasilkan pegawai sebagai faktor penting dalam perkembangan pendidikan. Kelima, adanya prinsip konkordansi, yang bertujuan untuk menjaga agar sekolah-sekolah di Hindia Belanda mempunyai kurukulum dan standar yang sama dengan sekolah-sekolah di negeri Belanda. Keenam, tidak adanya perencanaan pendidikan yang sisitematis untuk pendidikan anak pribumi. 

KEBIJAKAN PENDIDIKAN PEMERINTAH KOLONIAL JEPANG 
Tahun 1942 hingga 1945 

Perpindahan kekuasaan terjadi ketika kolonial Belanda menyerah tanpa syarat kepada sekutu. Kebijakan politik jepang tidak jauh dari skenario yang dibuat Snouck Hurgronje, yaitu memisahkan islam dari politik praktisnya. Dalam mobilisasi islam Indonesia, pemerintah jepang menciptakan hubungan yang sangat dekat dengan elit muslim. Pada masa kolonial Jepang, MIAI (majelis islam a’la indonesia) sebagai organisasi independen yang didukung oleh NU dan muhammadiyah. Pada waktu itu menghadapi tantangan tersendiri. Independensi MIAI mengakibatkan tidak lagi memiliki anggota –anggota dari organisasi islam seperti awal berdirinya. MIAI tidak lagi bersifat federatif karena organisasi-organisasi islam banyak dibekukan. Akhirnya, pada september 1942, MIAI dibubarkan oleh Jepang. Menurut Harry j. Benda, pembubaran ini pada dasarnya reaksi jepang terhadap agitasi bait al-mal yang terus menerus dan secara gencar dilancarkan oleh pengurus MIAI tanpa melibatkan Shumubu-kantor urusan agama yang dibentuk Jepang. Sebagai pengganti MIAI, Jepang membentuk organisasi federal baru, yaitu Masyumi (majelis syuro muslimin Indonesia) tanggal 22 november 1943 dan diberi status hukum pada tanggal 1 Desember 1943. sebagai ketua organisasi ini adalah K.H.Hasyim Asy’ary. Masyumi semakin kokoh ketika tanggal 1 Agustus 1944, pemerintah Jepang mengeluarkan pengumuman reorganisasi Shumubu yang bertujuan agar semua masalah keagamaan yang dirasakan penting dapat diatur dengan mudah. Kegiatan keagamaan keislaman dibawah kontrol elit Muslim. Tampaknya pada perkembangan selanjutnya kekuatan jepang semakin memudar. Pada tanggal 7 September 1944, perdana menteri koiso menjanjikan kemerdekaan Indonesia dalam waktu dekat. Janji ini dikenal dengan deklarasi Koiso. Masyumi, juru bicara islam saat itu, langsung menanggapi deklarasi itu dengan menempatkan gerakan islam dibelakang tujuan-tujuan nasionalisme Indonesia. Pada pertengahan Oktober, pengurus federasi islam bertemu di Jakarta dan membuat keputusan agar umat islam mempersiapkan diri untuk membela tanah air, membebaskan negara dan agamanya dan siap berkorban demi kemerdekaan. Pemerintah Jepang mengeluarkan kebijakan yang menawarkan bantuan dana bagi sekolah dan madrasah. Berbeda dengan pemerintah Hindia Belanda, pemerintah Jepang membiarkan dibukanya kembali madrasah-madrasah yang pernah hidup pada masa pemerintahan sebelumnya. Pada masa penjajahhan jepang juga, pengembangan madrasah Awaliyah digalakkan secara luas, Majelis islam tingi menjadi penggagas dan sekaligus penggerak utama untuk berdirinya madrasah-madrasah Awaliyah yang diperuntukkan bagi anak-anak berusia minimal 7 tahun. Program pendidikan pada madrasah Awaliyah itu lebih ditekankan pada pembinaan keagamaan dan diselenggarakan pada sore hari. Sungguhpun demikian, ketika Jepang masuk di wilayah Padang pada Maret 1924 dan pemerintah indonesia tercatat hanya mengizinkan membuka sekolah atau madrasah dari tingkat dasar hingga tingkat menengah saja. Sedangkan pendidikan tingkat tinggi tidak diberlakukan. Tidak ditemukan secara pasti sebab-sebab pelarangan itu. Namun, dari perkembangan setting sosial politik yang terjadi ketika itu, memang jepang belum menunjukkan ke pemerintahan yang mapan.  

MUHAMMADIYAH DAN MODEL LEMBAGA MADRASAH 

Awal Abad Ke-20 Hingga Kemerdekaan K.H.Ahmad Dahlan lahir pada tahun 1868 dari sebuah keluarga muslim tradisional yang berdomisili di Kauman, sebuah kampung yang sangat religius di Yogyakarta. Ia merupakan anak ke empat. Semasa kecil, Ahmad Dahlan diberi nama Muhammad Darwisy. Nama beliau diganti sewaktu beliau ketika beliau kembali dari Mekkah dengan nama Ahmad Dahlan. Ayahnya, Kyai Haji Abu Bakar bin Haji Sulaiman adalah khatib resmi Masjid Agung Kesultanan Yogyakarta. Yang wafat pada tahun 1896 yang kemudin posisinya diganti oleh Ahmad Dahlan. Ibunya adalah anak perempuan hakim agama Kyai Haji Ibrahim. Usaha-usaha dibidang pendidikan oleh K.H. Ahmad Dahlan semakin digalakkan setelah ia membentuk perkumpulan Muhammadiyah. Perkumpulan ini dibentuk pada tanggal 18 November 1912. maksud dan tujuan perkumpulan ini ialah untuk menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga dapat mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Untuk mencapai hal itu, dilakukan hal-hal sebagai berikut: Mengadakan dakwah Islam. Memajukan pendidikan dan pengajaran. Menghidup suburkan masyarakat tolong menolong. Mendirikan dan memelihara tempat ibadah dan waqaf. Mendidik dan mengasuh anak-anak serta pemuda supaya kelak menjadi orang Islam yang berarti. Berusaha kearah perbaikan kehidupan dan kehidupan yang sesuai dengan ajaran Islam. Berusaha dengan segala kebijaksanaan supaya kehendak dan peraturan Islam berlaku dalam masyarakat. Untuk menjelaskan alasan berdirinya gerakan Muhammadiyah, beberapa teori dan sudut pandang mengenai itu telah banyak dilakukan. Para sarjana yang mencoba menjelaskan masalah berupaya membangun teori yang didasarkan atas bacaan mereka mengenai lingkungan, sosial-keagamaan yang melatarbelakangi tumbuhnya gerakan ini. Alwi Shihab seorang sarjana Indonesia alumni Temple University, Amerika Serikat yang meneliti Muhammadiyah, menjelaskan bahwa ada beberapa hal yang melatarbelakangi di dirikannya Muhammadiyah itu. Pertama, bahwa kelahiran Muhammadiyah di dorong oleh gagasan pembaharuan Islam dari Timur Tengah ke Indonesia pada tahun-tahun pertama abad XX. Kedua, kenyataan bahwa Muhammadiyah muncul sebagai respon terhadap pertentangan ideologis yang telah berlangsung lama dalam masyarakat. Ketiga, penetrasi dalam misi Kristen di Indonesia yang dikembangkan oleh pemerintah Hindia Belanda. Meskipun kebijakan yang dijalankan pemerintah Hindia Belanda yang menyangkut Muslim dan Kristen sangat berorientasi kepada menjaga keamanan, kalangan Kristen mendapat keuntungan besar dalam pertumbuhan jumlah pemeluk agama mereka. 

DINAMIKA MADRASAH MUHAMMADIYAH 

Dalam perkembangan pendidikan Islam, Muhammadiyah menggunakan dua sistem. Pertama, sekolah yang mengikutim pola Gubernerment yang ditambah dengan pelajaran agama. Kedua, mendirikan madarasah yang lebih banyak mengajarkan ilmu-ilmu agama. Pada sistem pertama, guru-guru pribumi dilibatkan pada sekolah itu sebagai tenaga pengajar dengan silabus modern dengan memasukkan pelajaran umum dan agama yang berdasarkan pada pelajaran Bahasa Arab dan Tafsir. Sistem kedua adalah sistem madrasah dengan banyak mengajarkan ilmu-ilmu agama, diantara madrasah Muhammadiyah yang cukup berjasa yang didirikan pada masa penjajahan adalah sebagai berikut: Kweekschool Muhammadiyah, Mu’allimin Muhammadiyah, Mu’allimat Muhammadiyah, Zu’ama/Za’imat, Kulliyah Muballighin/Muballighat, 6. Tabligh School, 7. H.I.K. Muhammadiyah. Selain sekolah diatas, juga termasuk HIS Muhammadiyah, MULO Muhammadiyah, AMS Muhammadiyah, Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah, dan Madrasah Tsanawiyah/Wustha Muhammadiyah, dengan perbandingan yang bervariasi dan pada madrasah tersebut diberikan mata pelajaran umum dan agama secara seimbang. Menurut laporan Muhammad Yunus, Madrasah Diniyah Muhammadiyah bertujuan untuk memberi bekal kepada para siswa supaya mempunyai semangat mengamalkan tuntunan dan pengetahuan Islam setingkat yang lebiih tinggi dari sekolah rakyat serta di titikberatkan pada kecakapan membaca Alqur’an Usaha pendidikan yang dikembangkan oleh Muhammadiyah ternyata tidak hanya pada tingkat dasar dan menengah saja, tapi juga pada tingkat perguruan tinggi. Pada tahun 1936, dalam Kongres Seperempat Abad di Jakarta telah diputuskan akan mendirikan Universitas Muhammadiyah. Namun karena terjadinya Perang Dunia II rencana itu kandas. Dengan demikian, paling tidak ada dua format pengembangan pendidikan Muhammadiyah, yaitu: 1. Madrasah yang menyerupai sekolah Belanda dengan menggabungkan antara muatan-muatan keagamaan dan non keagamaan, dan 2. Madrasah Diniyah (keagamaan) yang lebih menekankan pada muatan-muatan keagamaan dan menambahkan muatan-muatan umum secara terbatas. 

NAHDLATUL ULAMA (NU) DAN MODEL LEMBAGA MADRASAH 
Awal Abad Ke-20 Hingga Kemerdekaan 

Perkumpulan NU dibentuk pada tanggal 31 Januari 1926/16 Rajab 1344 H di Surabaya. Organisasi ini dipelopori oleh beberapa kyai dari daerah Jawa Timur, di antaranya: K.H. Hasyim Asy’ari, Tebuireng, K.H. Abdul Wahab Hasbullah, K.H. Bisri, Jombang, K.H. Riduwan, Semarang, K.H. Nawawi, Pasuruan, K.H. R. Asnawi, Kudus, K.H. R. Hambali, Kudus, K.H. Nakhrawi, Malang, K.H. Doromuntaha, Bangkalan, K.H. M. Alwi Abdul Azis. Maksud dan tujuan yang dilakukan NU secara eksplisit terlihat pada anggaran dasarnya terlihat pada pasal 2 dan pasal 3. ketiak NU lahir, ada beberapa tantangan besar yang dihadapi para kyai tradisional, diantaranya adalah: pertama, perlawanan dari kaum Imperialis yangg mempenetrasi Islam. Kedua, kehadiran kelompok reformis yang diwakili Muhammadiyah yang telah memarginalkan legitimisasi para kyai. Ketiga, kehadiran sejumlah organisasi seperti Sarekat islam dan Muhammadiyah yang melemahkan kekuatan para kyai sebagai juru bicara komunitas Islam. Dalam bidang pendidikan NU telah mendirikan beberapa madrasah di tiap-tiap cabang dan ranting. Baik pada masa penjajahan Belanda maupun pada penguasaan Jepang, NU tetap memajukan pesantren-pesantren dan madrasah-madrasah serta mengadakan tabligh dan pengajian-pengajian. Disamping itu, NU terus mengurusi bidang sosial dan bahkan bidang politik. 

DINAMIKA MADRASAH NAHDLATUL ULAMA (NU) 

Pada awal pertumbuhannya, menurut steenbrink, NU merupakan organisasi kota dengan basis ulama dan lembaga madrasah di Surabaya. Bagi NU, lebih mudah mendirikan madrasah yang memakai model barat di kota daripada di pedesaan. Demikian juga dalam pengambilan Guru untuk mengajarkan materi umum. Pada tahun 1938, NU menetapkan Reglement mengenai susunan madrasah. Susunan madrasah itu sebagaimana dapat dilihat pada tabel : Tabel susunan Madrasah NU : No Jenjang Madrasah Durasi Belajar 1. Madrasah Awaliyah 2 tahun 2. Madrasah Ibtida’iyah 3 tahun 3. Madrasah Tsanawiyah 2 tahun 4. Madrasah Mu’allimat Wustha 2 tahun 5. Madrasah Mu’allimun ‘Ulya 3 tahun Jumlah 13 tahun Dalam kenyataan, NU tidak memiliki statistik yang jelas mengenai pendidikannya sehingga agak kewalahan untuk memastikan kapan NU mulai mengadakan pembaharuan-pembaharuan. Dengan demikian, dapat dipastikan perkembangan pendidikan NU dapat dilihat melalui Pesantren Tebuireng, karena pesantren inilah yang paling masyhur di seluruh Indonesia. Meskipun tetap mempertahankan ciir-ciri keagamaan, sebagaimana layaknya pesantren di Nusantara, pada tahun 1919, pesatren Tebuireng mengalami pembaharuan. Pengajaran yang semula dilaksanakan dengan hanya sistem sorogan dan bandongan ditingkatkan denagn memasukkan sistem berrkelas, yang dikenal dengan sistem madrasah. Dalam perbandingan dengan perkembangan yang terjadi di Minangkabau, apa yang terjadi di pesantren Tebuireng agaknya hampir sama yang terjadi di Sumatra Tawalib, sebagaimana layaknya pesantren, pesantren Tebuireng tetap menyelenggarakan pengajian kitab-kitab, tetapi didalamnya dibuka madrasah dan pengajaran dilakukan berkelas. Dengan kata lain, KH. Hasyim Asy’ary telah menjadikan madrasah sebagai bagian dari sistem pendidikan pesantren Tebuireng. Pola ini dalam perkembangannya kemudian diadopsi oleh pesantren-pesantren lain, khususnya di Jawa, termasuk di Kediri, Demak, Kudus, Cirebon, dan Banten. KH. Hasyim Asy’ary telah meletaakkan dasar pembaharuan pendidikan pesantren dengan mendirikan madrasah salafiyah yang menggunakan sistem klasikal. Yang didirikan pada tahun 1916. dan pada awalnya hanya untuk pengajian al-qur’an. Tokoh paling penting dalam pengembangan pesantren ini yaitu K.H.Ilyas, dan Wahid Hasyim. Format madrasah Salafiyah dalam pengelolaan K.H. Ilyas sepertiya menjadi cikal bakal bagi perkembangan madrasah pada dekade berikutnya di lingkungan Pesantren Tebuireng, khususnya bagi pesantren di Jawa dan Madura pada umumnya. Sistem pengajaran Bahasa Arab tidak luput dari keseriusan K.H. Ilyas. Dia mengambil sistem pengajaran bahasa Belanda yang diterima di HIS sebagai penggantinya. Namun, usaha ini tertunda ketika tahun 1931 beliau harus pergi ke Mekkah untuk menyelesaikan studinya bersama K.H. Wahid Hasyim. Upaya ini lalu dilanjutkan oleh K.H. Wahid Hasyim dan beliau membuka madrasah modern dengan nama Madrasah Nizhamiyah yang mengajarkan pelajaran agama dan umum, Bahasa Arab, Inggris, dan Belanda. Beliau mengusulkan perubahan radikal dalam sistem pengajaran pesantren. Usul itu antara lain diganti dengan sistem tutorial yang sistematis dengan tujuan untuk mengembangkan inisiatif dan kepribadian para santri. Ini berarti pengajaran di pesantren tak terbatas hanya pengajian kitab-kitab Islam klasik, melainkan para santri diajarkan lebih banyak lagi mata pelajaran lain. Dalam sistem ini NU lebih banyak menggunakan sistem “pembaharuan dalam pesantren”. Madrasah lebih banyak dikembangkan dengan menggabungkan antara muatan keagamaan dan non keagamaan dengan persentase tertentu, disamping ada madrasah yang memang mengembangkan materi-materi keagamaan saja. 

PENDIDIKAN PESANTREN REKONSTRUKSI SISTEM PENDIDIKAN PESANTREN 

Wacana yang berkembang dalam dinamika pemkiran dan pengalaman praktis alumni pesantren tampaknya menegaskan bahwa pesantren merupakan bagian dari infra struktur masyarakat yang secara makro telah berperan menyadarkan komunitas masyarakat untuk mempunyai idealisme, kemampuan intelektual, dan akhlak mulia guna menata dan membangun karakter bangsa yang paripurna. Bersamaan dengan perkembangan globalisasi, pesantren dihadapkan dengan perubahan sosial budaya yang tak terelakkan. Sebagai konsekuensi logis atas perkembangan ini, pesantren mau tak mau harus memberikan respons yang mutualistis. Sebab, pesantren tak dapat melepaskan diri dari bingkai perubahan-perubahan itu. Kemajuan informasi dan komunikasi telah menembus benteng budaya pesantren. 

REKONSTRUKSI METODE PENDIDIKAN PESANTREN 

Sebagai sebuah sistem, Islam megandung muatan-muatan yang dibedakan dalam dua kategori yaitu: Pertama, ajaran dasar yang menjadi referensi bagi landasan hidup dan penyelesaiannya dalam mengatasi seluruh problematika akibat rangkaian dinamika struktur sosial budaya yang mempunyai nilai kebenaran mutlak dan niscaya tidak runtuh dalam segala perubahan. Kedua, ajaran-ajaran bukan dasar yang merupakan hasil interpretasi dan derivasi dari ajaran dasar, ini tersimplikasi terutama dalam kitab kuning yang meliputi hampir dalam segala aspek kehidupan dan di jadikan pedoman dari ajaran dasar. Dalam pendidikan pesantren umumnya materi ajaran yang diberikan secara intens dan simultan lebih menekankan ajaran yang disebut dalam kategori kedua. Metode yang diterapkan di pesantren selama ini menggunakan metode induksi. Pesantren mengajarkan kajian-kajian partikular lebih dulu seperti Fiqih dan berbagai tradisi praktis lainnya yang dianggap sebagai Ilm al-Hal. Satu lagi metode yaitu metode deduksi, yaitu metode yang akan terbentuk pada aspek psikologis dan perkembangan kemampuan imajinasi struktur nalar santri. Oleh karena itu, penggunaan metode ini agaknya membutuhkan pernyataan kurikulum dan manajemen pesantren yang canggih. 

REKONSTRUKSI KURIKULUM PENDIDIKAN PESANTREN 

Kurikulum pesantren yang diwakili oleh kitab kuning hanya lebih menekankan pada bidang Fiqih, Theologi, dan bahasa. Fiqih kebanyakan membahas masalah Mazhabiah tentang kesimpulan hukum tertentu yang sesuai dengan mu’amalah umat. Theologi di pesantren menerapkan masalah pengajaran pengetahuan tentang aliran-aliran yang muncul dalam Islam. Kajian kebahasaan dalam kurikulum pendidikan pesantren menempati posisi yang berlebihan pada aspek kognitif, sementara aspek afektif dan psikomotorik kurang terjelejahi dengan semestinya. Keadaan kurikulum pendidikan pesantren yang demikian-terutama dalam kurikulum fiqh, teologi dan tasawuf-memberikan sebuah konsekuensi pada eksklusivisme pondok pesantren dari pemikiran lain. Implikasi dari eksklusivisme ini terwujud dalam tiadanya budaya kritis, analitis, dan reflektif dalam tradisi pendidikan pesantren. Kebebasan akademik hampir-hampir tidak diakui lagi dan sistem munazharah pun hilang dari tradisi pesantren. Para ulama dahulu, ketika melakukan proses legitimasi, cenderung mempraktikkan cara itu terutama dalam memberikan respon atas masalah yang berkembang dimasanya, yang jelas tidak sama dengan masalah yang dihadapi dunia sekarang. Di sisi lain, pesantren merasa “anti” terhadap disiplin-disiplin ilmu filsafat. Sebab, ilmu ini tampaknya dikhawatirkan akan mendestruksi pemahaman yang selama ini telah dianut komunitas pesantren secara mapan. Yang pada akhirnya, sistem pendidikan pesantren hanya berfungsi sebagai penerima (receivers) pemikiran islam klasik secara apa adanya (taken for granted). 

REKONSTRUKSI MANAJEMEN PENDIDIKAN PESANTREN 

Sistem pendidikan pesantren biasanya dilakukan secara alami dengan pola manajerial yang tetap dalam tiap tahunnya. Perubahan-perubahan mendasar dalam pengelolaan pesantren agaknya belum terlihat. Dewasa ini pesantren memang sudah saatnya harus membuka mata untuk membuka dunia luar. Perkembangan yang terjadi diluar dirinya harus diketahui dan diantisipasi, terutama ketika harus berbenturan. Keharusan ini meniscayakan kebutuhan pola kerja sama simbiosis mutualisme antara pesantren dengan institusi-institusi yang dianggap mampu memberikan kontribusi dan menciptakan nuansa transformatoris. Pola kerja ini meniscayakan minimalisasi asumsi-asumsii negatif yang dilekatkan pada pesantren: terisolasi, teralienasi, eksklusif, konservatif, dan cenderung mempertahankan status quo . 

JIWA PESANTREN 

Sistem pendidikan pesantren yang dibangun dalam rangkaian sejarah telah melahirkan sejumlah jiwa pesantren yang meniscayakan standarisasi nilai. Jiwa yang dibangun itu keseluruhan akan menjadi karakteristik yang belum pernah dibangun oleh sistem pendidikan manapun. Jiwa pesantren yang dimaksud terimplikasi dalam panca-jiwa pesantren berikut : Pertama, jiwa keikhlasan, jiwa yang tidak didorong oleh ambisi apapun yang memperoleh keuntungan-keuntungan tertentu, tetapi semata-mata demi ibadah kepada Allah. Kedua, jiwa kesederhanaan tetapi agung, sederhana bukan berarti pasif, melarat, miskin, tetapi mengandung unsur kekuatan dan ketabahan hati, penguasaan diri dalam menghadapi segala kesulitan. Ketiga, jiwa Ukhwah Islamiyyah yang demokratis. Keempat, jiwa kemandirian, yaitu kesanggupan membentuk kondisi pesantren sebagai institusi pendidikan islam yang mandiri dan tidak menggantungkan diri pada bantuan dan belas kasihan pihak lain. Pesantren harus mampu berdiri diatas kekuatannya sendiri. Kelima, jiwa bebas dalam memilih alternatif jalan hidup dan menentukan masa depan dengan jiwa besar dan sikap optimistis dalam menghadapi segala problematika hidup berdasarkan nilai-nilai islam. Kelima bagian ini harus mampu dan senantiasa melekat dalam dunia pesantren. 

MODERNISASI SISTEM PENDIDIKAN PESANTREN: SEBUAH BATASAN 

Perkembangan dunia telah melahirkan suatu kamajuan zaman yang modern. Sistem pendidikan pesantren harus selalu melakukan upaya rekonstruksi pemahaman tentang ajaran-ajarannya agar tetap relevan dan survive. Keharusan untuk mengadakan rekonstruksi ini sesungguhnya sudah dimaklumi. Bukankah dunia pesantren telah memperkenalkan sebuah kaidah yang sangat jitu: al-muhafazhah ‘al al-qadim ash-shalih ma al-akhdz bi al-jadid al-ashlah (membina budaya-budaya klasik yang baik dan terus menerus menggali budaya-budaya baru yang lebih konstruktif). Kaidah ini merupakan legalitas yang kuat atas segala upaya rekonstruksi. Kebebasan membentuk model pesantren merupakan keniscayaan, asalkan tidak terlepas dari bingkai al-ashlah (lebih baik). Aspek al-ashlah menjadi kata kunci yang harus dipegang. Pesantren modern berarti pesantren yang selalu tanggap terhadap perubahan dan tuntunan zaman, berwawasan masa depan, selalu mengutamakan prinsip efektifitas dan efesiensi, dan sebagainya. Namun demikian, nilai-nilai pesantren tidak perlu dikorbankan demi proyek modernisasi pesantren. Kendati harus berubah, menyesuaikan, metamorfose, atau apapun namanya, “dunia pesantren harus tetap hadir dengan jati dirinya yang khas”, sebab itulah sesungguhnya jati diri pesantren. 

KONSEP PENDIDIKAN K.H.M. HASYIM ASY’ARI 
Kajian Atas Kitab Adab Al-‘alim wa al-Muta’allim SIGNIFIKASI 

Penelusuran terhadap perkembangan peradaban dan kemajuan islam dalam sejarahnya yang cukup panjang akkan menghadapi problematika sendiri ketika tidak mengapresiasi teori-teori dan eksperimen pendidikan islam. Namun demikian, dinamika sebuah peradaban mau tidak mau melibatkan peranan pendidikan, sungguhpun dalam format dan kapasitas yang sederhana. Pemanfaatan terhadap kajian teoritis pendidikan islam yang dilakukan oleh generasi muslim-akhir sangat minim. Kalangan intelektual muslim agaknya kurang memberi perhatian secara serius terhadap kekayaan islam itu. Kajian yang lebih intens dilakukan adalah justru berpegang pada sebuah pengulangan kajian praktis yang menghasilkan teoritisasi yang terbatas, baik dilihat dari sisi ruang maupun waktu. Kurangnya animo intelektul-muslim dalam mengapresiasi khazanah pendidikan tampaknya disebabkan oleh beberapa kemungkinan. Pertama, pengalaman tradisi kependidikan yang berlangsung, terutama semenjak jatuhnya baghda oleh kaum mongol hingga masa-masa belakangan. Kedua, kecebderungan yang menggejala dalam dunia intelektual muslim dewasa ini agaknya lebih banyak memfokuskan pada persoalan-persoalan yang memilki ikatan erat dengan wacana keagamaan. Ketiga, mungkin sebagai faktor yang paling pernting, disiplin pendidikan merupakan bagian ilmu pengetahuan yang kurang memilki mata rantai yang bertautan dalam proses sejarahnya. 

K.H. HASYIM ASY’ARI: SKETSA BIOGRAFIS 

Nama lengkap beliau K.H. Hasyim Asy’ari adalah Muhammad Hasyim Asy’ari ibn ‘Abd al-Wahid ibn ‘Abd al-Halim-yang mempunyai gelar pangeran Bona-ibn Abd al-Rahman-yang dikenal dengan Jaka Tingkir Sultan Hadiwijoyo-ibn Abdullah bin Abdu al-Aziz ibn Abd al-Fatih ibn Maulana Ishaq dari Raden ‘Ain al-Yaqin-yang disebut dengan Sunan Giri. Ia lahir di Gedang, sebuah desa di daerah Jombang, Jawa Timur, pada hari selasa Kliwon 24 Dzulkaidah 1287 H. Bertepatan dengan tanggal 14 Februari 1871, K.H. Hasyim Asy’ari wafat pada jam 03.45 dini hari tanggal 25 juli 1947 bertepatan dengan 7 Ramadhan tahun 1366 dalam usia 79 tahun. Semasa hidupnya, ia mendapatkan pendidikan dari ayahnya sendiri, terutama pendidikan dibidang ilmu-ilmu Al-qur’an dan literatur agama lainnya. Setelah itu, ia menjelajah menuntut ilmu ke berbagi pondok pesantren, terutama di Jawa, yang meliputi Shona, siwalan buduran, langitan tuban, demangan bangkalan, dan sidoardjo. Setelah lama menimba ilmu di pondok pesantren sidoardjo, ternyata K.H. Hasyim Asy’ari merasa terkesan untuk terus melanjutkan studinya. Ia berguru kepada K.H.Ya’qub yang merupakan kiai di pesantren tersebut. Kiai Ya’qub lambat laun merasakan kebaikan dan ketulusan Hasyim Asy-Ari dalam prilaku kesehariannya, sehingga kemudian ia menjodohkannya dengan putrinya, khadijah. Tepat pada usia 21 tahun, tahun 1892, Hasyim Asy-Ari melangsungkan pernikahan dengan putri K.H.Ya’qub tersebut. Bagi Hasyim Asy-Ari, semangat mengembangkan ilmu pengetahuan tidak ada putus-putusnya. Ia selalu merasa tidak puas terhadap apa yang dicapai pada saat itu. Semangat ini kemudian mendorong Hasyim Asy-Ari untuk berpindah ke tempat lain. Akhirnya, ia memilih daerah yang penuh dengan tatangan dan dikenal sebaga daerah “Hitam”. Tepat pada tanggal 26 Rabi’ul Awal 120 H, bertepatan 6 Februari 1906 M, Hasyim Asy-Ari mendirikan pondok pesantren Tebuireng. Di pesantren inilah K.H. Hasyim Asy’ari banyak melakukan aktivitas-aktivitas kemanusiaan sehingga ia tidak hanya berperan sebagai pimpinan pesantren secara formal, tetapi juga pemimpin masyarakat secara informal. Sebagai seorang intelektual, K.H. Hasyim Asy’ari telah menyumbangkan banyak hal yang berharga bagi pengembangan peradaban, dintaranya adalah sejumlah Literatur yang berhasil ditulisnya. Karya-karya tulis K.H. Hasyim Asy’ari yang terkenal adalah : 1. Adab al ‘alim a al mutallim fi ma yahtaj ilaih al-mutaallim fi ahwal taallum wama yatawaqqaf alaih al-muallim fi maqamat ta’limih. 2. Ziyadat Ta’liqat, radda fiha manzhumat al syeikh abd allah bin yasin al- fasurani allati bi hujubiha ‘ala ahl jam’iyah nahdlat al ‘ulama. 3. At- Tanbihat al wajibat liman yashna’ al maulid al munkarat. 4. Ar- Risalat al jami’at, sharh fiha ahwal al mauta wa asyrath al sa’at ma’bayan mafhum al -sunnah wa al bid’ah. 5. Al-Risala al-tauhidiyah, wahiya risalah shaghirat fi bayan aqidah ahl- sunnah wa-al jama’ah. 6. Al -Qalaid fibayan ma yajib min al’aqaid. Dari sebagian karya K.H. Hasyim Asy’ari dan data-data yang tersedi itu cukup memberikan ketertarikan bagi sebagian intelektual untuk melakukan penelitian dari berbagai perspektif. Terbukti terdapatnya penelitian yang memfokuskan baik pada ketokohan K.H. Hasyim Asy’ari maupun pada pemikirannya yang relatif banyak. Bahkan, penelitain itu tidak hanya dilakukan didalam negeri an sich tetapi juga di luar negeri. 

KARYA KEPENDIDIKAN: ADAB AL-A’LIM WA AL-MUTA’ALLIM 

Kitab ini merupakan kitab yang berisi tentang konsep pendidikan. Kitab ini selesai disusun pada tanggal 22 Jumadil akhir tahun 1343 H. K.H. Hasyim Asy’ari menulis kitab ini didasari oleh kesadaran akan perlunya literatur yang membahas tentang etika (adab) dalam mencari ilmu pengetahuan. Kitab ini juga, secara keseluruhan, terdiri atas 8 bab yang masing-masing membahas tentang keutamaan ilmu dan ilmuwan serta pembelajaran, etika yang mesti dicamkan dalam belajar, etika seorang murid terhadap guru, etika murid terhadap pelajaran dan hal-hal yang harus dipedomani bersama guru, etika yang harus diperhatikan bagi guru, etika guru ketika dan akan mengajar, etika guru terhadap murid-muridnya, etika menggunakan literatur, dan alat-alat yang digunakan dalam belajar. Kedelapan bab tersebut sesungguhnya dapat diklasifikasikan menjadi 3 bagian penting, yakni signifikansi pendidikan, tanggung jawab dan tugas murid, serta tanggung jawab dan tugas guru. Dalam hal penelitian pertama, pembahasan tampaknya lebih banyak difokuskan pada teoretasasi mengenai signifikansi pendidikan dan tugas serta tanggung jawab bagi murid dan guru. Sedangkan penelitian terakhir menulusuri konsep etika belajar mengajar dalam perspektif K.H. Hasyim Asy’ari dan implikasinya bagi dunia pendidikan islam. 

KARAKTERISTIK PEMIKIRAN K.H. HASYIM ASY’ARI 

Menurut Hasan langgulung, ada 4 corak pemikiran kependidikan islam yang dapat dipahami. Pertama, corak pemikiran pendidikan yang awalnya adalah sajian dalam spesifikasi fiqih, tafsir dan hadits. Kedua, corak pemikiran pendidikan yang bermuatan sastra. Ketiga, corak pemikiran pendidikan filosofis. Contohnya adalah corak yang dikembangkan oleh aliran mu’tazilah, Ikhwan Al-shafa dan para filosof. Keempat, pemikiran pendidikan islam yang berdiri sendiri dan berlainan dengan corak diatas, tetapi ia berpegang pada semangat Al-qur’an dan Hadits. Kecenderungan dalam pemikiran K.H. Hasyim Asy’ari adalah mengetengahkan nilai-nilai estetis yang bernafaskan sufistik. Kecenderungan ini dapat terbaca dalam gagasan-gagasannya, misalnya dalam keutamaan menuntut ilmu. Untuk mendukung itu dapat dikemukakan bahwa bagi K.H. Hasyim Asy’ari keutamaan ilmu yang sangat istimewa adalah bagi orang yang benar-benar lillahi ta’ala. Kemudian, ilmu diraih jika jiwa orang yang mencari ilmu tersebut suci dan bersih dari segala sifat yang jahat dan aspek-aspek keduniawian. Kecenderungan ini merupakan wacana umum bagi literatur-literatur kitab kuning yang tidak bisa dihindari dari persoalan-persoalan sufistik, yang secara umum merupakan bentuk replikasi atas prinsip-prinsip sufisme Al-Ghazali. 

SIGNIFIKANSI PENDIDIKAN Sisi pendidikan yang sangat menarik perhatian dalam konsep pendidikan K.H. Hasyim Asy’ari adalah sikapnya yang sangat mementingkan ilmu dan pengajarannya. Dalam memahami tesis diatas, K.H. Hasyim Asy’ari sesungguhnya berusaha mengedepankan pemikiran bahwa dalam menghadapi segala persoalan hendaknya dimulai dari paradikma normatif yang bersumbu pada titik sentral ketuhanan. Paradikma ini diasumsikan akan mampu menyelesaikan persoalan-persoalan secara tuntas dan tidak menimbulkan spekulasi yang berkepanjangan. Dimensi ketuhanan hendaknya menjelma pada partikulasi-partikulasi, terutama dalam prilaku sosial, sehingga secara keseluruhan menunjukkan satu bingkaian yang utuh. Tampaknya, K.H. Hasyim Asy’ari berkeyakinan bahwa orang yang mampu menunjukkan integritas dalam berprilaku adalah makhluk tuhan yang terbaik. K.H. Hasyim Asy’ari sering mengutip hadits dan pendapat ulama serta menyatakan pendapatnya tentang perbandingan ibadah dengan ilmu. Menurut Nabi, tingginya derajat ulama jika dibanding dengan ahli ibadah, pertama, bagaikan utamanya Nabi dibanding dengan manusia selainnya, kedua, bagaikan terangnya bulan purnama dibanding dengan cahaya bintang, ketiga, bagi syetan lebih sulit menggoda seorang cendekiawan daripada seribu ahli ibadah. Pemikiran K.H. Hasyim Asy’ari ini tampaknya menyiratkan sebuah pengertian bahwa yang menjadi sentral pendidikan adalah hati. Penekanan pada hati ini dengan sendirinya membedakan diri dari corak pemikiran pendidikan progresivisme dan esensialisme. Perbedaan-perbedaan ini dimungkinkan oleh karena adanya titk pandang yang tidak sama dalam memahami manusia. Baik aliran progresivisme dan esensialisme, sama-sama mendasarkan pandangannya pada penelitian-penelitian yang bersifat fisik-empiris. Sedangkan K.H. Hasyim Asy’ari-yang identik dengan pemikiran Al-Ghazali-menyimpulkan bahwa substansi manusia bukan terletak pada unsur fisiknya, tetapi pada hatinya. Sebagai pandangan kependidikan yang didasarkan atas hati, memang denagn sendirinya akan menghadapi kesulitan tersendiri, terutama dikontekskan dalam usaha verifikasi dan pembuktian ilmiah. Sebab, usaha verifikasi dan pembuktia ilmiah membutuhkan kerangka empiris, sehingga agak sulit mencari titik temunya. Dalam kenyataan banyak dijumpai tugas kependidikan lebih banyak difokuskan pada aspek yang terakhir itu, yakni bagaimana membentuk orang-orang yang saleh dalam perspektif Tuhan, tentunya Tuhan dalam sesuatu yang dipahaminya. Sementara aspek yang lain, yang tidak kalah pentingnya, yakni penguatan kecerdasan dan penguasaan materi pelajaran, menjadi terabaikan. Hal ini dimungkinkan oleh berbagai hal, diantaranya adalah cukup intennya intervensi pemahaman keagamaan yang kurang memberi penghargaan terhadap aspek kecerdasan dalam aplikasi kependidikan. Kenyataan ini semakin mempermudah dalam menafikan dimensi-dimensi kependidikan yang kritis. RELASI PESERTA DIDIK-PENDIDIK Untuk memperoleh ilmu pengetahuan yang baik, peserta didik mesti memilih dan mengikuti pendidik yang baik pula. Dalam hal ini, perlu adanya batasan atau karakteristik pendidik yang baik. K.H. Hasyim Asy’ari menyebutkan ciri-ciri tersebut, yaitu cakap dan profesional (kalimat ahliatuh), kasih sayang (tahaqqaqat syafaqatuh) , berwibawa (zhaharah muru’atuh), menjaga diri dari hal-hal yang merendahkan martabat (‘urifat iffatuh), berkarya (isytaharat shiyanatuh), pandai mengajar (ahsan ta’lim), dan berwawasan luas (ajwa tafhim). Kehati-hatian dalam memilih pendidik ini didasarkan atas pandangannya bahwa ilmu itu sama dengan agama. Peserta didik harus memiliki anggapan (image) dalam bahwa pendidik itu mempunyai kelebihan tersendiri dan sangat berwibawa, sehingga peserta didik harus mengetahui dan mengamalkan etika berbicara dengan pendidik. Bahkan, ketika peserta didik berankat ke pendidik hendaknya bersedekah dan berdo’a terlebih dahulu untuk pendidik. Pola hubungan antara peserta didik dengan pendidik seperti yang dikembangkan K.H. Hasyim Asy’ari diatas agaknya menyiratkan pada sebuah pemahaman bahwa pendidikan itu lebih banyak ditekankan oleh aspek guru. Guru tidak hanya sebagai transmitor pengetahuan (knowledge) kepada peserta didik, tetapi juga pihak yang memberi pengaruh secara signifikan terhadap pembentukan prilaku (etika) peserta didik. CATATAN AKHIR Dalam karya K.H. Hasyim Asy’ari cenderung lebih menekankan pada unsur hati sebagai titik tolak pendidikannya. Sebab, hatilah yang mendorong sebuah etika itu muncul. Kecenderungan pada aspek hati ini dengan sendirinya membedakan diri dari corak pemikiran pendidikan yang lain, seperti aliran progresivisme dan esensialisme. Disamping itu, K.H. Hasyim Asy’ari memandang pendidik sebagi pihak yang sangat penting dalam pendidikan. Baginya, guru adalah sosok yang mampu mentransmisikan ilmu pengetahuan disamping pembentuk sikap dan etika peserta didik. 

MENIMBANG PESANTREN DALAM PROSES TRANSFORMASI SOSIAL PESANTREN DAN MODERNISASI PENDIDIKAN ISLAM 

Institusi pendidikan di Indonesia yang telah mengenyam sejarah paling panjang di antaranya adalah pesantren. Institusi ini lahir, tumbuh, dan berkembang telah lama. Bahkan, semenjak belum dikenalnya lembaga pendidikan lainnya di Indonesia, pesantren telah hadir lebih awal. Dari perspektif pendidikan,pesantren merupakan satu-satunya lembaga pendidikan tahan terhadap gelombang modernisasi. Padahal, diberbagai kawasan Dunia Muslim, lembaga-lembaga pendidikan tradisional Islam seringkali lenyap, tergusur oleh ekspansi sistem pendidikan modern atau mengalami tranformasi menjadi lembaga pendidikan umum; atau setidak-tidaknya menyesuaikan diri dan mengadopsi sedikit banyak isi dan metodologi pendidikan modern itu.kenyataan ini dapat dilihat pada kelembagaan tradisional di kawasan Timur Tengahyang tersimplifikasi atas tiga jenis: madrasah,kuttap, dan mesjid. Dalam catatan Azyumardi Azra, pembaharuan dan modernisasi pendidikan dimulai di Turki pada awal pertengahan abad ke-19 yang kemudian menyebar hampir keke seluruh wilayah kekuasaan Turki Usmani di Turki Usmani di Timur Tengah. Namun,program pembaharuan pendidikan di Turki itu semula tidak menempatkan medresse (madrasah) sebagai objek pembaharuan. pengalaman lembaga pendidikan tradisional islam di Turki dan Mesir agaknya cukup memadai untuk mendiskripsikan proses-proses pemudaran dan pelenyapan sistem pendidikan tradisional Islam dalam alunan gelombang modernisasi yang di gaungkan para penguasa di masing-masing negara tersebut. Kondisi sosiologis dan politis yang menimpa medresse di turki atau madrasah dan kuttap diMesir pada segi-segi tertentu agaknya berbeda dengan situasi sosiologis dan politis yang mengitari pesantren di indonesia. Perbedaan-perbedaan tersebut pada gilirannya membuat pesantren mampu tetap bertahan. RESPON PESANTREN Dalam menghadapi tantangan dari sistem pendidikan Belanda, pendidikan tradisional islam, dalam hal ini pesantren juga berhadapan dengan tantangan yang datang dari kaum reformis atau modernis muslim. Gerakan reformis muslim yang menemukan momentumnya sejak awal abad ke 20 menuntut diadakannya reformulasi sistem pendidikan islam guna menghadapi tantangan kolonialisme dan ekspansi kristen. Dalam konteks ini, reformasi kellembagaan pendidikan modern islam diwujudkan dalam dua bentuk. Pertama, sekolah-sekolah umum model Belanda tetapi diberi muatan pengajaran islam, seperti sekolah adabiyah yang didirika Abdullah Ahmad di Padang pada 1909 dan sekolah-sekolah umum model Belanda yang mengajarkan Al-qur’an, yang didirikan oleh organisasi semacam Muhammadiyah. kedua, madrasah modern pada titik tertentu menganulir substansi dan metodologi pendidikan modern Belanda, seperti sekolah diniyah zainuddin Labay, el-yunusi atau sumatra Thawalib. Pesantren harus melakukan sejumlah akomodasi adjustment yang dianggap tidak hanya akan mendukung kontinuitas dalam pesantren, tetapi juga bermanfaat bagi para santri. Dalam wujudnya secara konkrit, pesantren meerespon tantangan itu dalam beberapa bentuk. Pertama, pembaharuan substansi atau isi pendidikan pesantren dengan memasukkan subjek-subjek umum dan keterampilan (vokational). Kedua, pembaharuan metodologi, seperti sistem klasikal dan perjenjangan. Ketiga, pembaharuan kelembagaan, seperti kepemimpina pesantren, divertifikasi lembaga pendidikan. Keempat, pembaharuan fungsi, dari fungsi kependidikan untuk juga mencakup fungsi sosial ekonomi. 

INDIGENOUSITAS PESANTREN 

Pesantren merupakan dunia tradisional islam yang mampu mewarisi dan memelihara kesinambungan tradisi islam yang dikembangkan ulama dari masa ke masa, tidak terbatas pada periode tertentu. Sebagai lembaga yang murni berkarakter keIndonesiaan (indigenous), pesantren muncul dan berkembang dari pengalaman sosiologis masyarakat lingkungannya, sehingga antara pesantren dengan komunitas lingkungannya memilki keterkaitan erat yang tidak bisa terpisahkan. Hal ini tidak hanya terlihat dari hubungan latar belakang pendirian pesantren dengan lingkungan tertentu , tetapi juga dalam pemeliharaan eksistensi pesantren itu sendiri melalui pemberian shadaqah, waqaf, hibah, dan sebagainya. Pesantren dengan kiainya memainkan peran yang disebut Clifford Geertz sebagai cultural brokers (pialang budaya) dalam pengertian seluas-luasnya. 

PESANTREN DAN PERUBAHAN SOSIAL 

Disamping karakter dasariah diatas, pesantren juga memilki karakter plural, tidak seragam. Pluralitas pesantren ini diantaranya ditunjukkan oleh tiadanya sebuah aturan apapun –baik menyangkut manajerialm, administrasi, birokrasi, struktur, budaya, kurikulum apalagi pemihakan politik –yang dapat mendefinisikan pesantren menjadi tunggal. Watak dasariah pesantren diidentikkan dengan penolakan terhadap isu-isu pemusatan (sentrakisasi) merupakan potensi luar biasa bagi pesantren dalam memainkan tranformasi sosial secara efektif. Karena itu, pesantren adalah kekuatan masyarakat dan sangat diperhitungkan oleh negara. Dengan kemampuan feksibilitasnya, pesantren dapat mengambil peran secara signifikan, bukan saja dalam wacana keagamaan, tetapi juga dalam setting sosial-budaya, bahkan politik dan ideologi negara sekalipun. 

CATATAN AKHIR 

Dalam hal yang diuraikan diatas, bahwa pesantren memilki kekuatan internal dalam menghadapi gelombang modernisasi. Pada sisi kelembagaan pendidikan, pesantren tidak runtah oleh derasnya angin modern, berbeda dengan pengalaman lembaga pendidikan tradisional islam lainnya yang pada titik tertentu lenyap dari deretan sejarah modern. Dalam hal ini, banyak disebabkan oleh faktor dasariah yang dimiliki pesantren, diantaranya adalah kelembagaan indigenous keindonesiaan yang menyimpan kekuatan dan kemandirian dan nonsentralisme. Yang pada akhirnya menjadi potensi yang luar biasa dalam melakukan usaha pemberdayaan masyarakat. PENDIDIKAN ISLAM Sejarah Dan Tantangan Masa Depan AKHLAK DAN PENDIDIKAN Sebuah hipitesis yang menytakan bahwa diantara faktor terpenting yang memberi sumbangan terhadap merosotnya ekonomi dan peradaban umat dengan segala pranata sejarahnya adalah mundurnya etika dan nilai-nilai yang dijunjung oleh masyarakat, atau dalam ‘bahasa’ agama adalah akhlak. Hipotesis ini dapat dibuktikan prof. Gunar Mirdal, peraih nobel di bidang ekonomi yang berasal dari swiss, mengadakan penelitian disebelas negara tentang faktor-faktor yang menjadi penyebab keterbelakangan bangsa di bidang ekonomi. Pada akhir kesimpulan, ia menyatakan bahwa faktor akhlaklah yang menjadi penyebab utama keterbelakangan tersebut. Dalam islam, tujuan pendidikan yang dikembangkan adalah mendidik budi pekerti; oleh karenanya, pendidikan budi pekerti dan akhlah merupakan jiwa dari pendidikan islam. Untuk itu sebagaiman diungkapkan oleh Dr. Fadhil Al-Djamaly, umat islam harus mampu menciptakan sistem pendidikan yang didasari atas keimanan kepada Allah, karena hanya iman yang benarlah menjadi dasar pendidikan yang benar dan membimbing umat kepada usaha mendalami hakikat menurut ilmu yang benar; dan ilmu yang benar membimbing umat ke arah amal saleh. 

PENDIDIKAN ISLAM DALAM LINTASAN SEJARAH 

Umat islam dalam sejarahnya yang panjang sesungguhnya telah memperlihatkan pada pentingnya pendidikan islam. Hal ini dapat ditelusuri sejak masa Rasulullah Saw hingga dewasa ini. Adapun materi pengajaran yang diajarkan Rasulullah di Makkah adalah: “pendidikan keagamaan dan akhlak; serta menganjurkan kepada menusia, supaya mempergunakan akal pikirannya memperhatikan kejadian manusia, hewan, tumbuhan, dan alam semesta, sebagai anjuran kepada pendidikan ‘aqliyah dan ilmiah. Sedangkan kurikulum pengajaran di Madinah adalah keimanan dan ibadah, pendidikan akhlak, pendidikan jasmani, dan syari’at yang berhubungan dengan masyarakat. Kondisi aktivitas belajar baru mengalami perubahan yang berarti ketika islam lahir. Bagi bangsa Arab, mesjid merupakan lembaga pendidikan pertama yang bersifat umum dan sistematis. Perkembangan dunia pendidikan ini menghantarkan umat islam pada kemajuan yang sangat berarti. Berkembanhnya pusat-pusat peradaban yang dipenuhi denagn berbagai kegiatan ilmiah da scientific menjadikan posisi umat islam ketika itu sangat diperhitungkan oleh dunia Barat. Dalam proses penyebaran islam, pendidikan islam dikembangkan melalui mesjid, langgar, atau surau-surau yang tidak memakai kelas, tidak memakai bangku, meja dan papan tulis sampai menjadi madrasah. Pada awalnya, baik madrasah maupun pondok pesantren dibangun bukan untuk kepentingan politik praktis, akan tetapi adalah untuk mempelajari agama islam, terutama aqidah, ibadah mahdlah dan bahasa arab; juga mengembangkan potensi masyarakat agar menjadi manusia yang baik dan benar, mampu menjalankan syari’at agamanya serat menumbuhkan rasa memilki terhadap bangsanya (nasionalism). Oleh karena tumbuhnya kesadaran terhadap beberapa hal demikian, tidak aneh kemudian jiwa perlawanan terhadap ketertindasan dan kebodohan dalam diri pelajar itu menjadi sikap perlawanan terhadap kaum penjajah. 

PENDIDIKAN ISLAM DEWASA INI 

Dunia pendidikan Indonesia dewasa ini memperlihatkan fenomena yang kurang membanggakan. Sering terjadi tawuran di kalangan pelajar, perbuatan asusila yang dilakukan kaum terpelajar dan cendikiawan itu pada gilirannya meningkatkan pada penilaian yang kurang baik terhadap pendidikan. Fenomena demikian, memang agaknya tidak terlepas dari sekat-sekat sosial-masyarakat. Dalam segala fenomena yang berkembang dewasa ini, oleh para sarjana pendidikan dijadikan bahan dalam merumuskan beberpa identifikasi krisis pendidikan islam yang sedang dan akan terjadi. Krisis pendidikan islam tersebut adalah: a. Krisis nilai yang bekaitan dengan sikap menilai suatu perbuatan tentang baik dan buruk. b. Krisis konsep tentang kesepakatan arti hidup yang baik. c. Adanya kesenjangan kredibilitas. d. Beban institusi sekolah terlalu besar, melebihi kemampuannya. e. Kurangnya relevansi program pendidikan di sekolah dengan kebutuhan pembangunan. f. Kurangnya idealisme dan citra remaja tentang peranannya di masa depan. g. Semakin membesarnya kesenjangan si miskin dan si kaya. Untuk mengikis beberapa krisis tersebut, kiranya diadakan usaha ilmiah-sistematis yang mampu merumuskan epistemilogi dan aksiologi dunia pendidikan islam dan memberikan ‘penekanan’ terhadapkependidikan secara nasional. Kenyataan ini mengindikasikan perlunya pengkajian ulang dan kemauan masyarakat –pemerintah dalam memberikan kebijakan yang lebih menjanjikan terhadap perkembangan pendidikan islam. Sebagai usulan dalam usaha di atas, dapat dikedepankan beberapa bahan perbincangan berikut. Pertama, mengadakan rumusan ulang terhadap arah ‘kiblat’ pendidikan agama. Kedua, merevitalisasi pendidikan agama di Indonesia. Ketiga, mendirikan lembaga pendidikan tinggi (universitas) islam internasional. Keempat, mengembangkan buku-buku Dars yang memilki kesamaan visi dan misi, Artinya, buku-buku pelajaran keagamaan yang digunakan oleh seluruh siswa Indonesia mengacu pada platform yang sama. 

PENUTUP 

Pentingnya pendidikan islam ini telah dibuktikan olehsejarah. Namun, dalam perkembangannya dewasa ini, dunia pendidikan islam dihadapkan dengan tantangan yang sangat hebat. Untuk itu, perlu ada usaha ilmiah- sistematis untuk merumuskan dunia pendidikan islam, khususnya untuk konteks islam –kemudian mampu memberikan ‘penekanan’dlam memutuskan kebijakan nasional. 

PENGEMBANGAN LEMBAGA KEPENDIDIKAN DALAM ERA GLOBAL 

Kecenderungan dunia pendidikan di Indonesia, termasuk di Jakarta, belakangan ini menunjukkan “kekurangsemangatan” dalam menjalankan fungsi-fungsi sosialnya. Kejadian yang seringkali terlihat kasat mata, seperti tawuran dan tindakan asusila lainnya, menunjukkan masih dipertanyakannya tingkat keberhasilan institusi pendidikan yang ada sementara ini. Kenyataan ini sesungguhnya tidak harus dijadikan sebagai penghambat untuk melakukan kreativitas dan pembaharuan-pembaharuan pendidikan, tetapi justru dianggap sebagai tantangan untuk tidak berhenti melakukan rekayasa dan ijtihad secara kritis dan cerdas. KECENDERUNGAN BARU Bangsa Indonesia sebagai bagian dari masyarakat global, sudah pasti akan memasuki abad yang penuh dengan persaingan bebas itu. Arus informasi yang akan kita hadapi sangat besar dan pengetahuan baru yang diciptakan oleh para ilmuwan jga akan besar jumlahnya. Sebagai konsekuen logisnya adalah bahwa keberadaan sumberdaya manusia Indonesia yang unggul dan memadai di masa yang akan datang menduduki posisi yang sangat penting dan strategis. Dengan adanya sumber daya manusia yang unggul dalam penguasaan berbagai ilmu pengetahuan dan teknologi bangsa Indonesia akan dapat menggerakkan sektor-sektor industri secara lebih efesien dan produktif serta mampu bersaing di pasar dunia. Rekayasa kependidikan diusahakan untuk mewujudkan tujuan pendidikan yang dicita-citakan, sebagaimana yang diajarkan oleh agama. Dalam konteks islam, pendidikan hendaknya mampu melahirkan peserta didik yang memilki kekuatan pada dua dimensi: rasa taqwa kepada Allah Swt dan pengembangan rasa kemanusiaan kepada sesama. Dengan demikian, pendidikan itu harus mampu menciptakan manusia-manusia yang tidak hanya seleh secara personal kepada tuhannya, tetapi juga memilki kesalehan sosial. 
TRANSFORMASI PENDIDIKAN Sebagai tuntutan atas menguatnya ledakan informasi dan pengetahuan yang menandai masyarakat modern, lembaga pendidikan di masa global dalam penyelenggaraan fungsinya harus mampu mengajarkan bagaimana dapat memperoleh informasi dan mengolah informasi kepada peserta didik. Dalam kaitannya, setidaknya ada dua masalah yang harus mendapatkan perhatian serius, yaitu masalah metode pengajaran dan masalah sistem pendidikan. Tentang metode pengajaran, hingga kini sumber informasi utama bagi murid –mahasiswa ialah guru –dosen. Informasi yang diolah dengan baik akan menghasilkan pengetahuan (knowledge), dan hanya pengetahuan yang diolah dengan baik akan menghasilkan kearifan atau kebijakan (wisdom). Tanpa kepandaian mengolah, segenap informasi yang ada akan menggunduk menjadi hutan informasi yang tidak ada artinya. Mengenai sistem pendidikan, masalah yang dihadapi ialah bahwa sistem pendidikan yang dimiliki sekarang ini pada dasarnya tidak dapat menjangkau golongan papa pada masyarakat kita. Disamping melakukan upaya pembenahan pada persoalan metode dan sistem pendidikan, lembaga persekolahan juga berusaha melakukan proses transformasi pendidikan secara keseluruhan. Oleh karena itu, ada lima perubahan pokok yang harus terjadi untuk mewujudkan transformasi ini. Kelima perubahan ini ialah : 1. Penyusutan jumlah murid per kelas sehingga dalam batas rasio (guru;murid) yang produktif. 2. Adanya perpustakaan sekolah. 3. Adanya pusat bimbingan yang bukan berupa ‘polisi sekolah’ tetapi pusat bimbingan yang membantu semua siswa mencapai perkembangan optimal dari segenap potensi yang ada dalam diri mereka. 4. Improvisasi kurikulum yang rasional dan produktif. 5. Perbaikan penghasilan guru –dosen sehingga setiap guru –dosen dapat dengan tenang melakukan tiga hal yang harus dilakukan dalam profesinya: mengajar, membaca dan merenung (kontemplasi). Tranformasi sekolah (perguruan tinggi) membutuhkan biaya. Sekolah atau lembaga pendidikan harus mampu menjadi milik publik. Oleh karena itu, sekolah (perguruan tinggi) harus memahami aspirasi masyarakat setempat, dan harus berusaha untuk menampung aspirasi tersebut. Konsekuensi dari ini semua ialah bahwa guru –dosen di masa depan tidak hanya pandai mengajar, belajar dan berkontemplasi, tetapi ia juga harus pandai merebut simpati masyarakat. Guru –dosen di masa depan bukan pegawai pemerintah atau yayasan, tetapi ia juga kepercayaan masyarakat dan tumpuan harapan masyarakat. Perubahan yang terjadi di Dunia Global telah melahirkan sejumlah tantangan, terrmasuk dalam dunia pendidikan. Tantangan tersebut perlu diapresiasi dengan penuh kearifan dan kedewasaan. Oleh karena itu, penyatuan nilai-nilai idealitas dengan mempertimbangkan kenyataan-kenyataan objektif di lapangan menjadi sebuah keniscayaan, di samping adanya kerja sama dan komitmen sosial di kalanga sekolah (perguruan tinggi) itu sendiri.

Wednesday 29 August 2012

Subhallah, Saudaraku. Inilah Kejayaan Sunnah Rasulullah SAW Yang Diamalkan Negeri Mayoritas Non Muslim

TAIPEH, (Koran Pikiran Rakyat, Jabar)

Menteri Lingkungan Taiwan memicu silang pendapat karena mengusulkan agar pria harus jongkok dan bukan berdiri saat buang air kecil. Badan Perlindungan Lingkungan Taiwan (EPA) mengatakan Menteri Stephen Shen selalu jongkok bila buang air kecil, baik di rumah ataupun di toilet umum. Badan itu mengatakan kebiasaan kencing dengan jongkok seperti yang dilakukan perempuan akan menciptakan lingkungan yang lebih bersih. Para pejabat mengatakan akan meminta pemerintah daerah untuk memasang tanda di toilet-toilet umum berisi anjuran agar pria jongkok bila buang air kecil. Anjuran ini adalah bagian dari kampanye Taiwan untuk menjaga kebersihan di toilet-toilet. Toilet umum di Taiwan yang berjumlah sekitar 100.000 saat ini jauh lebih bersih dibandingkan keadaan sebelumnya. Toilet-toilet ini diperiksa dan dinilai oleh para inspektur dan banyak diantaranya mendapatkan nilai tertinggi. "Namun sejumlah kakus masih bau pesing dan sebagian besar karena cipratan air seni pria," kata EPA. Anjuran pria buang air kecil sambil jongkok ini akan dipasang di toilet umum di sekolah-sekolah, bandara, stasiun kereta dan bus. Anjuran ini menyebabkan silang pendapat di internet. Banyak wanita yang mendukung gagasan ini di jejaring sosial namun sebagian pria mengatakan akan sulit mengubah kebiasaan sejak kecil.(bbc/A-147)   

ADAB BUANG AIR DI DALAM ISLAM 

Berikut ini tata cara buang air yang diajarkan Nabi Muhammad SAW 
  1. Buang Air Dengan Jongkok Dianjurkan buang air dalam keadaan jongkok. Aisyah RA berkata, “Barangsiapa yang menceritakan kepada kalian bahwa Nabi SAW buang air kecil sambil berdiri, maka janganlah kalian percaya. Beliau tidak pernah buang air kecil kecuali sambil duduk.” (HR. Tirmidzi). “Sambil Duduk,” maksudnya yaitu dengan jongkok. Jongkoknya nabi ketika buang air kecil ini, tidak terlepas dari kondisi zaman itu dan dari pakaian yang beliau pakai. Pada zaman nabi, WC terletak di dalam tanah yang ditutup dengan besi berlubang. Meskipun buang air kecil dengan jongkok lebih baik, namun pada prinsipnya adalah bagaimana cara agar tidak terkena najis.Kita diperbolehkan kencing sambil berdiri dengan syarat badan dan pakaiannya aman dari percikan air kencing dan aman dari pandangan orang lain kepada. Terutama kalau hal tersebut (berdiri) sangat dibutuhkan karena sempitnya pakaian atau karena ada penyakit di tubuh kita, namun hukumnya makruh kalau tidak ada kebutuhan. 
  2. Manfaat Buang Air Besar Sambil Jongkok Secara medis, buang air besar (BAB) dengan posisi jongkok dapat mencegah terjadinya kanker usus besar. Saat posisi duduk, usus bagian bawah akan tertekuk sehingga proses pembuangan tidak dapat berlangsung efektif tanpa bantuan mengejan. Padahal, mengejan sambil menahan napas akan meningkatkan tekanan dalam usus bagian bawah serta menyebabkan regangan dan pembengkakan pembuluh darah balik membentuk wasir, terutama jika kebiasaan ini dilakukan secara kontinyu dalam jangka lama. 
  3. Tidak Menghadap Kiblat Dari Abu Ayyub Al-Anshari dia berkata: Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda: "Jika kalian mendatangi tempat buang air maka janganlah kalian menghadap ke arah kiblat dan jangan pula membelakanginya. Akan tetapi menghadaplah ke timurnya atau ke baratnya.“  Abu Ayyub berkata, “Ketika kami datang ke Syam, kami dapati WC rumah-rumah di sana dibangun menghadap kiblat. Maka kami beralih darinya (kiblat) dan kami memohon ampun kepada Allah Ta’ala.” (HR. Al-Bukhari no. 245 dan Muslim no. 264) Sabda Nabi, “Akan tetapi menghadaplah ke timurnya atau ke baratnya,” berlaku bagi negara-negara yang kiblatnya di utara atau di selatan. Sedangkan bagi yang kiblatnya di timur atau di barat (seperti Indonesia) maka dianjurkan menghadap ke utara atau ke selatan. 4. Tidak Berbicara Saat Buang Air Makruh berbicara di saat buang hajat kecuali darurat. Berdasarkan hadits yang bersumber dari Ibnu Umar diriwayatkan: “Bahwa sesungguhnya ada seorang lelaki lewat, sedangkan Rasulullah SAW sedang buang air kecil. Lalu orang itu memberi salam (kepada Nabi), namun beliau tidak menjawabnya.” (HR. Muslim) 5. Masuk Dengan Kaki Kiri, Keluar Dengan Kaki Kanan Disunnahkan masuk ke WC dengan mendahulukan kaki kiri dan keluar dengan kaki kanan berbarengan dengan doanya masing-masing. Dari Anas bin Malik Radhiallaahu ‘anhu diriwayatkan bahwa ia berkata: “Adalah Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa salam apabila masuk ke WC mengucapkan :

  (اَللَّهُمَّ إنِّي أعُوذُ بِكَ مِنَ الْخُبُثِ وَالْخَبَائِثِ (متفق عبيه 

“Allaahumma inni a’udzubika minal khubusi wal khabaaits” Artinya: “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari pada syetan jantan dan setan betina“. Dan apabila keluar, mendahulukan kaki kanan sambil mengucapkan: غُفْرَانَكَ “Gufraanaka” Artinya: “Ampunan-Mu ya Allah“.