Produk Unggulan Kami

Donut 1
Donut 2
Donut 3
Showing posts with label Kajian Islam. Show all posts
Showing posts with label Kajian Islam. Show all posts

Thursday, 5 September 2024

Materi BPI : Ukhuwah Islamiyah (Resume)

 

Ukhuwah merupakan kekuatan atas karunia Allah Swt., sehingga muncul rasa sayang, persaudaraan, dan saling menumbuhkan kepercayaan tanpa memperhatikan aspek-aspek kekhususan, seperti ras, suku, bahasa, asal daerah, dan lain-lain. Akan tetapi, lebih pada atas dasar aqidah dan iman. Jika cinta tanah air pun adalah wujud dari iman, karena berdasarkan atas jiwa persaudaraan yang dibangun atas kebangsaan atau nasionalisme. Namun, Islam mengajarkan persaudaraan tidak dibatasi hanya sekedar geografis saja, melainkan lebih luas lagi. Inilah yang kemudian menjadi dasar ukhuwah kita. Sebagaimana firman Allah Swt. dalam surah al-Hujurat ayat 10 berikut.

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

Artinya:

"Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah Swt. supaya kamu mendapat rahmat."

Secara makna, ukhuwah islamiah dimaknai terikatnya hati dan ruh dengan ikatan aqidah. Kekuatan umat Islam tergantung kekuatan ukhuwah atau persatuan umat. Tingkatan ukhuwah paling tinggi adalah itsar dan paling rendah adalah lapang dada. Tingkatan tersebut dirangkum dalam sebuah tangga ukuwah islamiah. Di antara tangga ukhuwah islamiyah, yaitu sebagai berikut.

1. Saling Mengenal (Ta'aruf)

Selain mengenal secara fisiknya, juga perlu mengenal nama, alamat, emosi, tingkah laku, lahir, asal, pendidikan, pekerjaan, serta latar belakang.

2. Saling Memahami (Tafahum)

Saling memahami karakter, kesukaan, kejiwaan, selera, pemikiran, kebiasaan, kelebihan, dan kelemahan merupakan cara agar lebih memahami saudara kita.

3. Saling Membantu (Ta'awun)

Membantu adalah rela memberikan yang dibutuhkan saudara tanpa menuntut apapun darinya, itulah ukhuwah yang sebenarnya.

4. Saling Menanggung (Tafakul)

Ingatlah bahwa Allah Swt. akan melapangkan urusan seorang mukmin, jika ia meringankan beban saudaranya. Rasulullah saw. bersabda,

"Barangsiapa yang melapangkan satu kesusahan dunia dari seorang mukmin, maka Allah Swt. melapangkan darinya satu kesusahan di hari kiamat. Barangsiapa memudahkan urusan orang yang kesulitan, maka Allah Swt. memudahkan baginya di dunia dan akhirat.

 (H.R. Muslim)


Manfaat ukuwah islamiah, di antaranya adalah sebagai berikut.

1. Mengeratkan şillaturrahmi.

2. Menciptakan kerukunan, persatuan dan kesatuan berbangsa, sehingga hidup menjadi tenteram.

3. Menumbuhkan sikap peduli sesama dan tolong menolong sehingga hidup menjadi tenang dan bahagia

4. Mendatangkan kebaikan dan keberkahan dari Allah Swt..

5. Menjadi mukmin yang mendapat naungan dari Allah Swt. di akhirat kelak.

6. Menjauhkan permusuhan dan iri dengki.

Begitu indahnya ukhuwah dalam dekapan Islam. Saling menguatkan ketika yang lain lemah, saling menasihati ketika yang lain khilaf, saling menjaga agar selalu dalam kebaikan, dan saling berbagi. Kita belajar untuk saling berlemah lembut, mencintai, mengasihi, menghormati, mengokohkan, memaafkan, dan saling mempercayai. Ukhuwah yang sesuai tarbiyah, yaitu ketika ruh-ruh saling akrab oleh iman mereka bagaikan cahaya di atas cahaya.

Persaudaraan adalah mukjizat, wadah yang saling berikatan. Oleh karena itu, Allah Swt. persatukan hati-hati yang berserakan. Allah Swt. berfirman dalam surah az- Zukhrüf ayat 67 berikut.

 

الْأَخِلَّاءُ يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلَّا الْمُتَّقِينَ

Artinya:

"Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang bertakwa."

Sumber: Nur Attika Lutfianah (Bina Pribadi Islami)
JSIT Publishing Indonesia

Editor: admin

Wednesday, 7 August 2024

Hadis 1 (Hadits Arba'in) tentang Ikhlas

 

Dari Amirul Mukminin, Abu Hafsh ‘Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إنَّمَا الأعمَال بالنِّيَّاتِ وإِنَّما لِكُلِّ امريءٍ ما نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورَسُولِهِ فهِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورَسُوْلِهِ ومَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُها أو امرأةٍ يَنْكِحُهَا فهِجْرَتُهُ إلى ما هَاجَرَ إليهِ

“Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Siapa yang hijrahnya karena mencari dunia atau karena wanita yang dinikahinya, maka hijrahnya kepada yang ia tuju.” (HR. Bukhari dan Muslim) [HR. Bukhari, no. 1 dan Muslim, no. 1907]

 

Penjelasan

Hadits ini menjelaskan bahwa setiap amalan benar-benar tergantung pada niat. Dan setiap orang akan mendapatkan balasan dari apa yang ia niatkan. Balasannya sangat mulia ketika seseorang berniat ikhlas karena Allah, berbeda dengan seseorang yang berniat beramal hanya karena mengejar dunia seperti karena mengejar wanita. Dalam hadits disebutkan contoh amalannya yaitu hijrah, ada yang berhijrah karena Allah dan ada yang berhijrah karena mengejar dunia.

Niat secara bahasa berarti al-qashd (keinginan). Sedangkan niat secara istilah syar’i, yang dimaksud adalah berazam (bertedak) mengerjakan suatu ibadah ikhlas karena Allah, letak niat dalam batin (hati).

Kalimat “Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya”, ini dilihat dari sudut pandang al-manwi, yaitu amalan. Sedangkan kalimat “Setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan”, ini dilihat dari sudut pandang al-manwi lahu, yaitu kepada siapakah amalan tersebut ditujukan, ikhlas lillah ataukah ditujukan kepada selainnya.

 

Faedah Hadits

1- Dalam Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam (1:61) Hadits ini dikatakan oleh Imam Ahmad sebagai salah satu hadits pokok dalam agama kita (disebut ushul al-islam). Imam Ibnu Daqiq Al-‘Ied dalam syarhnya (hlm. 27) menyatakan bahwa Imam Syafi’i mengatakan kalau hadits ini bisa masuk dalam 70 bab fikih. Ulama lainnya menyatakan bahwa hadits ini sebagai tsulutsul Islam (sepertiganya Islam).

2- Tidak mungkin suatu amalan itu ada kecuali sudah didahului niat. Adapun jika ada amalan yang tanpa niat, maka tidak disebut amalan seperti amalan dari orang yang tertidur dan gila. Sedangkan orang yang berakal tidaklah demikian, setiap beramal pasti sudah memiliki niat. Para ulama mengatakan, “Seandainya Allah membebani suatu amalan tanpa niat, maka itu sama halnya membebani sesuatu yang tidak dimampui.”

3- “Setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan”, maksud hadits ini adalah setiap orang akan memperoleh pahala yang ia niatkan.

Coba perhatikan dua hadits berikut ini.

Dari Abu Yazid Ma’an bin Yazid bin Al Akhnas radhiyallahu ‘anhum, -ia, ayah dan kakeknya termasuk sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam-, di mana Ma’an berkata bahwa ayahnya yaitu Yazid pernah mengeluarkan beberapa dinar untuk niatan sedekah. Ayahnya meletakkan uang tersebut di sisi seseorang yang ada di masjid (maksudnya: ayahnya mewakilkan sedekah tadi para orang yang ada di masjid, -pen). Lantas Ma’an pun mengambil uang tadi, lalu ia menemui ayahnya dengan membawa uang dinar tersebut. Kemudian ayah Ma’an (Yazid) berkata, “Sedekah itu sebenarnya bukan kutujukan padamu.” Ma’an pun mengadukan masalah tersebut kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَكَ مَا نَوَيْتَ يَا يَزِيدُ ، وَلَكَ مَا أَخَذْتَ يَا مَعْنُ

“Engkau dapati apa yang engkau niatkan wahai Yazid. Sedangkan, wahai Ma’an, engkau boleh mengambil apa yang engkau dapati.” (HR. Bukhari, no. 1422).

Hadits di atas menunjukkan bahwa Setiap orang akan diganjar sesuai yang ia niatkan walaupun realita yang terjadi ternyata menyelisihi yang ia maksudkan. Termasuk dalam sedekah, meskipun yang menerima sedekah adalah bukan orang yang berhak.

Hadits kedua, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

« يَغْزُو جَيْشٌ الْكَعْبَةَ ، فَإِذَا كَانُوا بِبَيْدَاءَ مِنَ الأَرْضِ يُخْسَفُ بِأَوَّلِهِمْ وَآخِرِهِمْ » . قَالَتْ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ يُخْسَفُ بِأَوَّلِهِمْ وَآخِرِهِمْ ، وَفِيهِمْ أَسْوَاقُهُمْ وَمَنْ لَيْسَ مِنْهُمْ . قَالَ « يُخْسَفُ بِأَوَّلِهِمْ وَآخِرِهِمْ ، ثُمَّ يُبْعَثُونَ عَلَى نِيَّاتِهِمْ »

“Akan ada satu kelompok pasukan yang hendak menyerang Ka’bah, kemudian setelah mereka berada di suatu tanah lapang, mereka semuanya dibenamkan ke dalam perut bumi dari orang yang pertama hingga orang yang terakhir.” ‘Aisyah berkata, saya pun bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimanakah semuanya dibenamkan dari yang pertama sampai yang terakhir, sedangkan di tengah-tengah mereka terdapat para pedagang serta orang-orang yang bukan termasuk golongan mereka (yakni tidak berniat ikut menyerang Ka’bah)?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Mereka semuanya akan dibenamkan dari yang pertama sampai yang terakhir, kemudian nantinya mereka akan dibangkitkan sesuai dengan niat mereka.” (HR. Bukhari, no. 2118 dan Muslim, no. 2884, dengan lafal dari Bukhari).

4- Niat itu berarti bermaksud dan berkehendak. Letak niat adalah di dalam hati. Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan,

وَالنِّيَّةُ مَحَلُّهَا الْقَلْبُ بِاتِّفَاقِ الْعُلَمَاءِ ؛ فَإِنْ نَوَى بِقَلْبِهِ وَلَمْ يَتَكَلَّمْ بِلِسَانِهِ أَجْزَأَتْهُ النِّيَّةُ بِاتِّفَاقِهِمْ

“Niat itu letaknya di hati berdasarkan kesepakatan ulama. Jika seseorang berniat di hatinya tanpa ia lafazhkan dengan lisannya, maka niatnya sudah dianggap sah berdasarkan kesepakatan para ulama.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 18:262)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan, “Siapa saja yang menginginkan melakukan sesuatu, maka secara pasti ia telah berniat. Semisal di hadapannya disodorkan makanan, lalu ia punya keinginan untuk menyantapnya, maka ketika itu pasti ia telah berniat. Demikian ketika ia ingin berkendaraan atau melakukan perbuatan lainnya. Bahkan jika seseorang dibebani suatu amalan lantas dikatakan tidak berniat, maka sungguh ini adalah pembebanan yang mustahil dilakukan. Karena setiap orang yang hendak melakukan suatu amalan yang disyariatkan atau tidak disyariatkan pasti ilmunya telah mendahuluinya dalam hatinya, inilah yang namanya niat.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 18:262)

5- Niat ada dua macam: (1) niat pada siapakah ditujukan amalan tersebut (al-ma’mul lahu), (2) niat amalan.

Niat jenis pertama adalah niat yang ditujukan untuk mengharap wajah Allah dan kehidupan akhirat. Inilah yang dimaksud dengan niat yang ikhlas.

Sedangkan niat amalan itu ada dua fungsi:

Fungsi pertama adalah untuk membedakan manakah adat (kebiasaan), manakah ibadah. Misalnya adalah puasa. Puasa berarti meninggalkan makan, minum dan pembatal lainnya. Namun terkadang seseorang meninggalkan makan dan minum karena kebiasaan, tanpa ada niat mendekatkan diri pada Allah. Terkadang pula maksudnya adalah ibadah. Oleh karena itu, kedua hal ini perlu dibedakan dengan niat.

Fungsi kedua adalah untuk membedakan satu ibadah dan ibadah lainnya. Ada ibadah yang hukumnya fardhu ‘ain, ada yang fardhu kifayah, ada yang termasuk rawatib, ada yang niatnya witir, ada yang niatnya sekedar shalat sunnah saja (shalat sunnah mutlak). Semuanya ini dibedakan dengan niat.

6- Hijrah itu berarti meninggalkan. Secara istilah, hijrah adalah berpindah dari negeri kafir ke negeri Islam. Hijrah itu hukumnya wajib bagi muslim ketika ia tidak mampu menampakkan lagi syiar agamanya di negeri kafir. Hijrah juga bisa berarti berpindah dari maksiat kepada ketaatan.

7- Dalam beramal butuh niat ikhlas. Karena dalam hadits disebutkan amalan hijrah yang ikhlas dan amalan hijrah yang tujuannya untuk mengejar dunia. Hijrah pertama terpuji, hijrah kedua tercela.

Ibnu Mas’ud menceritakan bahwa ada seseorang yang ingin melamar seorang wanita. Wanita itu bernama Ummu Qais. Wanita itu enggan untuk menikah dengan pria tersebut, sampai laki-laki itu berhijrah dan akhirnya menikahi Ummu Qais. Maka orang-orang pun menyebutnya Muhajir Ummu Qais. Lantas Ibnu Mas’ud mengatakan, “Siapa yang berhijrah karena sesuatu, fahuwa lahu (maka ia akan mendapatkannya, pen.).” (Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 1:74-75. Perawinya tsiqah sebagaimana disebutkan dalam Tharh At-Tatsrib, 2:25. Namun Ibnu Rajab tidak menyetujui kalau cerita Ummu Qais jadi landasan asal cerita dari hadits innamal a’malu bin niyyat yang dibahas). Namun tentu hijrah bukan karena lillah, cari ridha-Nya, maka tidak dibalas oleh Allah.

Amalan lainnya sama dengan hijrah, benar dan rusaknya amal tersebut tergantung pada niat. Demikian kata Ibnu Rajab dalam Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 1:75.

Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata,

مَنْ طَلَبَ الْعِلْمَ لِيُجَارِىَ بِهِ الْعُلَمَاءَ أَوْ لِيُمَارِىَ بِهِ السُّفَهَاءَ أَوْ يَصْرِفَ بِهِ وُجُوهَ النَّاسِ إِلَيْهِ أَدْخَلَهُ اللَّهُ النَّارَ

“Barangsiapa menuntut ilmu hanya ingin digelari ulama, untuk berdebat dengan orang bodoh, supaya dipandang manusia, Allah akan memasukkannya dalam neraka.” (HR. Tirmidzi, no. 2654 dan Ibnu Majah, no. 253. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan.)

Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, di mana ia berkata,

خَرَجَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَنَحْنُ نَتَذَاكَرُ الْمَسِيحَ الدَّجَّالَ فَقَالَ « أَلاَ أُخْبِرُكُمْ بِمَا هُوَ أَخْوَفُ عَلَيْكُمْ عِنْدِى مِنَ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ ». قَالَ قُلْنَا بَلَى. فَقَالَ « الشِّرْكُ الْخَفِىُّ أَنْ يَقُومَ الرَّجُلُ يُصَلِّى فَيُزَيِّنُ صَلاَتَهُ لِمَا يَرَى مِنْ نَظَرِ رَجُلٍ »

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar menemui kami dan kami sedang mengingatkan akan (bahaya) Al-Masih Ad Dajjal. Lantas beliau bersabda, “Maukah kukabarkan pada kalian apa yang lebih samar bagi kalian menurutku dibanding dari fitnah Al-Masih Ad-Dajjal?” “Iya”, para sahabat berujar demikian kata Abu Sa’id l- Khudri. Beliau pun bersabda, “Syirik khafi (syirik yang samar) di mana seseorang shalat lalu ia perbagus shalatnya agar dilihat orang lain.” (HR. Ibnu Majah, no. 4204. Al-Hafiz Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini hasan.)

Because children are a gift

 The largest digital maze collection for children! With over 5000 maze designs ranging from beginner to expert, it provides endless fun tha...